A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua unsur pokok, yaitu jasmani/ lahiriyah yang bersifat material, dan ruhani atau batiniyah yang bersifat immaterial. Bagian pokok dari unsur ruhani adalah jiwa. Jiwa telah diciptakan oleh Allah secara sempurna, tetapi kesempuraannya perlu dijaga agar tidak berbalik menjadi makhluk yang rendah atau hina. Perubahan arah jiwa ini dimungkinkan oleh adanya kedua kecenderungan jiwa, yaitu kecenderungan kearah kebaikan (taqwa) dan kecenderungan kepada keburukan (fujur) sebagaimana dalam kandungan qur’an surat Al-Syams ayat 7-8. Yang artinya:
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Petubahan-perubahan kualitas jiwa itu berpengaruh pada pola dan bentuk tingkah laku, sebab jiwa memiliki fungsi sebagai penggerak tingkah laku. Jika kualitas jiwa itu baik maka kecenderungan akan menggerakkan perbuatan baik, dan sebaliknya. Hal ini berarti baik buruknya suatu perbuatan ditentukan oleh jiwa. Oleh karena itu jiwa menduduki posisi utama dan menentukan corak kehidupan manusia.
Fenomena yang tampak pada masyarakat modern terutama di kota-kota besar dan sekarang merambah ke pedesaan, justru sangat menonjolkan kepentingan-kepentingan pribadi dan cenderung bersifat individualistis. Kontak manusia menjadi longgar serta kurang memiliki kaitan emosional, kehidupan menjadi terburu-buru, selalu berpacu dengan orang lain, dan disertai dengan persaingan yang keras.dalam masyarakat yang sedemikian itu orang merasa terasing, kurang aman, cemas, takut, dan selalu dipenuhi ketegangan batin. Pada situasi ini orang sering menggunakan cara-cara dan pola tingkah laku yang tidak wajar, dengan kata lain “jalan pintas”. Pada akhirnya, banyak terdapat mekanisme pemecahan masalah hidup yang tidak wajar atu tidak sehat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka pemakalah menemukan beberapa permasalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep insan kamil seabagai karakter umat muslim?
2. Bagaimana peran pendidikan Islam dalam membentuk karakter insan kamil?
C. Pembahasan
1. Konsep Insan kamil Sebagai Karakter Umat Muslim
a. Pengertian Manusia
Kata “manusia” dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan al-basyar, al-insan (an-nas) dan al-Ins. Ketiganya dianggap sinonim, meskipun jika dipahami lebih dalam terdapat perbedaan makna.
Dalam pembahasan ini, pengertian manusia difokuskan pada al-insan. Manusia dalam definisi “al-insan” adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki kemampuan berpikir, pandai berbicara dan memiliki ilmu dan cara penerapannya dalam menghadapi ujian untuk memilih antara yang baik dan yang buruk.[1]
Tidak sedikit ayat Al Qur’an yang berbicara tentang manusia. Setidaknya ada dua kata kunci dalam Al Qur’an yang semuanya mengacu pada makna pokok manusia yaitu Basyar dan Insan
1) Basyar
Menurut Ali Syari’ati, al-basyar adalah manusia yang esensi kemanusiaannya tidak nampak, aktifitasnya serupa dengan binatang. Ia hanyalah wujud (being) ia memang makhluk Allah SWT. Tetapi bukan hamba dan khalifahnya, karena esensi kemanusiaan tidak tampak adanya.[2]Selanjutnya kata al basyar, dalam al Qur’an disebut sebanya 27 kali, memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis. Adapun acuan pendapat ini adalah surat Ali Imron : 47, al Kahfi :110; Al Fushilat : 6; Al-Furqon : 7 dan Yusuf: 31. Salah satu dari surat-surat tersebut adalah berbunyi :
ôMs9$s%Éb>u 4¯Tr& ãbqä3t Í< Ó$s!ur óOs9ur ÓÍ_ó¡|¡ôJt ×|³o0 ( tA$s% Å7Ï9ºx2 ª!$# ß,è=÷t $tB âä!$t±o 4 #sÎ) #Ó|Ós% #\øBr& $yJ¯RÎ*sù ãAqà)t ¼çms9 `ä. ãbqä3usù ÇÍÐÈ
Artinya : “Maryam berkata : “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun…” ( QS. Ali Imran : 47 ).
Pemakaian kata “basyar” untuk menyebut pada semua makhluk, mempunyai pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok. Ciri pokok itu adalah kenyataan lahiriahnya yang menempati ruang dan waktu, serta terikat oleh hukum-hukum alamiahnya. Serta disebutkan di atas bahwa manusia dalam pengertian ini adalah manusia seperti tampak pada lahirnya, mempunyai kerangka tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama, yang ada di alam ini dan sering waktu mereka akan tua dan akhirnya mati.
Sedangkan dalam Al Qur’an, seperti tersebut di atas kata “basyar” disebut kurang lebih 27 kali, kesemuanya dipakai untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriahnya. Jadi bila manusia (basyar) ini, dikatakan sebagai subyek kebudayaan memang benar, sebab segala aksinya adalah kodrat alamiah.
2) Insan
Dalam mengenal manusia secara komprehansif selain satu istilah yang telah disebutkan di atas yakni Basyar, ada istilah lain yang dinyatakan dapat menghantar pengenalan terhadap siapa manusia itu sebenarnya, yaitu istilah yang lebih banyak disebut dalam Al Qur’an melebihi Basyar yaitu Al-Insan.
Kata Insan yang bentuk jamaknya Al-Naas dari segi semantik atau ilmu akar kata, dapat dilihat dari asal kata al-naas yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Atas dasar ini, kata itu mempunyai petunjuk adanya kaitan subtansial antara manusia dengan kemampuan penalaran, yakni dengan penalaran itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya. Ia dapat pula mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, dan terdorong untuk minta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. [3]
Dengan informasi ini dapat dikatakan bahwa manusia dalam kategori yang kedua ini adalah manusia yang diberi pelajaran, sehingga dengan pelajaran yang diterima tersebut, manusia dapat mengembangkan dirinya menuju kesempurnaan.
b. Karakteristik Insan Kamil
Ditinjau dari hakekat wujud manusia, Al-Qur’an mengawalinya dengan menjelaskan proses dan asas penciptaan manusia. Dalam hal ini manusia mengungkapkan bahwa manusia itu telah diciptakan dari sejenis tanah liat kering yang diberi bentuk (Q.S. Al-Hijr : 26). Dan telah disempurnakan dalam bentuk manusia maka ditiupkan roh Tuhan ke dalamnya (Q.S. Al-Hijr : 29).
Dari dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa makhluk yang bernama manusia itu mempunyai dimensi-dimensi dalam kesempurnaannya. Yang paling tampak adalah : sempurnanya manusia itu menyangkut tiga hal, yakni : sempurna fisiknya, sempurna akalnya dan yang terakhir adalah dengan ditiupkan roh Tuhan di dalam jasadnya.
1) Fisik (Phisycally)
Bertumpu pada Q.S. Al-Hijr : 26 dan 29 seperti tersebut di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa, hakekat wujud manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani. Dari aspek jasmani (fisik), Allah telah memberi keunggulan dan keistimewaan dibanding makhluk lainnya, hal terlihat dari penciptaan fisik yang bagus dan seimbang. Firman Allah SWT :
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ
Artinyta : “sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (Q.S. Al Tiin : 4).
Dari ayat di atas adapat diambil pengertian bahwa Allah SWT telah memulai terlebih dahulu dengan sumpah yaitu, bahwa antara makhluk Allah di atas muka bumi ini, manusialah yang diciptakan oleh Allah dalam keadaan sempurna atau sebaik-baik bentuk. Bentuk tubuhnya melebihi bentuk tubuh hewan yang lainnya, tentang ukuran dirinya, tentang manis air mukanya, sehinnga dinamai dengan Basyar, artinya wajah yang mengandung gembira, sangat beda dengan binatang lainnya. Dan manusia diberi akal bukan semata nafasnya yang turun naik. Maka dengan keseimbangan sebaik-baik tubuhnya dan pedoman pada akalnya itu dapatlah ia hidup dipermukaan bumi ini sebagai pengatur. Kemudian Allahpun mengutus Rasul-rasul, membawa petunjuk bagaimana caranya menjalani hidup ini supaya selamat.
Ayat lain yang menerangkan bahwa manusia sempurna dari segi fisiknya adalah Q.S. Al-Munafiqun : 4, yaitu :
#sÎ)ur öNßgtF÷r&u y7ç7Éf÷èè? öNßgãB$|¡ô_r&(bÎ)ur(#qä9qà)t ôìyJó¡n@ öNÏlÎ;öqs)Ï9 ( öNåk¨Xr(x. Ò=à±äz ×oy¨Z|¡B ( tbqç7|¡øts ¨@ä. >pysø|¹ öNÍkön=tã 4 ç/èf rßyèø9$# ÷Lèeöx÷n$$sù 4 ÞOßgn=tG»s% ª!$# ( 4¯Tr& tbqä3sù÷sã ÇÍÈ
Artinya : “ …dan apabila kamu melihat mereka, tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Jika mereka berbicara, kamu mendengarkan (pembicaraan) mereka (karena indahnya terdengar) mereka seakan kayu tersandar (sifat mereka sangat jelek walau fisiknya bagus)”.( Q.S. Al-Munafiqun).
Dari dua ayat di atas, Allah telah menegaskan bahwa manusia itu adalah mempunyai fisik yang paling sempurna dibanding dengan makhluk lainnya. Kesempurnaan fisik bisa dilihat dari kelengkapan organ-organ tubuhnya, sehingga membuat manusia bersifat lebih aktif dan dinamis untuk beradaptasi dengan alam dibanding dengan makhluk lain.
Sedangkan kesempurnaan pada mental manusia karena manusia dikaruniai akal pikiran yang mampu untuk berfikir dan bernalar secara kritis dan analisis.
2) Akal (Intelektual)
Selain makhluk jasmani, manusia juga makhluk rohani, yaitu makhluk yang tidak terdiri dari unsur materi semata akan tetapi mereka mempunyai akal pikiran, perasaan dan hawa nafsu. Dengan penggunaan akal dan perasaan ini akan dapat membentuk dirinya dalam lingkungan sosialnya dapat membuat ia senang dan marah. Kemampuan berfikir dan merasa ini adalah suatu nikmat, anugrah Allah yang paling besar dan inilah yang membuat manusia istimewa dibanding dengan makhluk yang lain.[4]
Akal dikatakan sebagai satu dimensi kesempurnaan manusia, karena dengan adanya akal pada dirinya itulah manusia mampu berfikir. Dengan berfikir manusia dapat memenuhi hasrat dalam memperoleh pengetahuan sekaligus untuk mencapai kebenaran dan kenyataan.
3) Ruh (Religionsity)
Selain makhluk jasmani rohani, Al Qur’an juga menjelaskan bahwa manusia itu makhluk yang baik dan suci dari segi fitrah semenjak semula. Hal dapat dilihat dari dua aspek yaitu : bahwa ruh manusia berasal dari zat yang maha suci (QS. Al-Hajr : 29 ), dan anak lahir tidak membawa dosa turunan atau tidak mewarisi dosa Adam karena keluar dari surga.
Ruh dikatakan sebagai salah satu dimensi kesempurnaan manusia, karena ruh manusia berasal dari nur Allah, hal ini tidak ada pada semua makhluk kecuali manusia.
Ruh berasal dari alam arwah, yang diturunkan ke dalam jasad manusia, yang memiliki kemampuan untuk mengetahui dan berkehendak atas tubuh yang didiaminya. Ketika ruh ditiupkan ke dalam badan, badan menjadi hidup, dan ketika meninggalkan badan, badanpun menjadi mati dan karena ruh dari Allah, maka selamanya dia akan merindukannya.
Hal tersebut, banyak terbukti melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa, manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubarinya. Segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan sesungguhnya muncul ketika manusia menyimpang dari jati diri (fitrah) mereka sendiri (lihat QS. Al-A’raf : 172 dan Ar-Ruum: 43).[5]
Selanjutnya diperjelas bahwa ruh itu merupakan unsur pembeda manusia dengan hewan. Dalam Al-Qur’an surat al Sajadah :7-9 dijelaskan: “manusia dalam fitrahnya memilki sekumpulan unsur surgawi nan luhur, berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada hewan, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa, antara rasa dan non rasa (materi) antara jiwa dan raga”.[6]
Hal ini jelas bahwa semua makhluk tidak mampu bertindak seperti yang dilakukan manusia, Musa Asy’ari menegaskan, hakekat ruh adalah bimbingan dan pimpinan Tuhan yang diberikan pada manusia yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan yang lain. Ruh tidak lain adalah daya yang bekerja secara spiritual untuk memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan.[7]
Dari kenyataan di atas dapat difahami bahwa Allah memberikan ruh kepada manusia tidak lain untuk memahami sekaligus menjalani kebenaran di atas dunia. Sehingga khalifah Allah itu hanya diberikan kepada manusia tidak pada makhluk lain.
Dengan demikian jelas, dengan manusia memiliki tiga dimensi di atas yaitu jasad yang bagus, akal yang lengkap dan ruh ilahi membuat manusia itu sempurna dan mampu mengemban mandat yang diberikan Allah kepadanya (Khalifah fil ardl), dan hal ini diyakini sebagai konsekuensi dari ketiga dimensi yang terdapat pada diri manusia sebagai landasan dari kesempurnaannya.
c. Pembentukan Insan Kamil
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa manusia yang dinyatakan sebagai insan kamil itu karena dia mempunyai tiga dimensi yakni dimensi fisik, dimensi akal dan dimensi ruh, yang ketiganya merupakan unsur yang terdapat pada semua diri manusia di dunia, namun tidak semua manusia mampu mengoptimalkan fungsinya di dalam realitas kehidupan baik sebagai khalifah maupun sebagai ‘abd allah SWT.
Jadi insan kamil itu adalah sebuah konsep istilah yang memang mungkin diwujudkan dalam kehidupan serta diupayaklan pencapaiannya, misalnya melalui melalui upaya pendidikan dalam arti luas terhadap ketiga dimensi yang dimiliki manusia tersebut.
Sebagai sebuah konsep yang diupayakan pencapaiannya dilam kehidupan insan kamil bukanlah manusia sempurna yang hanya bisa dikhayal kemunculannya, akan tetapi manusia-manusia tersebut memang dapat diupayakan perwujudannya melalui upaya-upaya konseptual sekaligus merealisasikan dalam kehidupan di dunia.
Pertama, kesempurnaan manusia itu karena fisiknya yang sehat dan kuat hingga mampu menjalani seala aktivitas kehidupan yang perlu dan harus dilakukan.
Dalam Al Qur’an (Q.S. al-Abiya’:8) dijelaskan bahwa fisik atau jasad manusia memerlukan makanan. Dengan demikian agar manusia mempunyai fisik yang baik, sehat dan kuat ia harus makan. Dengan makan fisik manusia akan mengalami pertumbuhan, walaupun pertumbuan itu dibatasi oleh usia manusia itu sendiri. Di sisi lain al-Qur’an menjelaskan bahwa makanan itu juga dapat mengakibatkan baik dan buruknya terhadap kesehatan, salah satu ayat yang menerangkan bahwa madu itu merupakan obat dan baik untuk manusia yaitu :
§NèO Í?ä.`ÏBÈe@ä.ÏNºtyJ¨W9$#Å5è=ó$$sù@ç7ßÅ7În/u Wxä9è4 ßlãøs.`ÏB $ygÏRqäÜç/ Ò>#u° ì#Î=tFøC ¼çmçRºuqø9r&ÏmÏùÖä!$xÿϩĨ$¨Z=Ïj93 ¨bÎ) Îûy7Ï9ºs ZptUy5Qöqs)Ïj9tbrã©3xÿtGt ÇÏÒÈ
Artinya : “dari perut lebah itu keluar minuman yang beraneka warna, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia” ( Q.S. an Nahl : 69).
Dalam kaitanya untuk membentuk fisik manusia supaya sehat maka manusia mengkonsumsi madu, niscaya fisiknya akan sehat sekaligus dapat menjadi obat bagi penyakitnya. Dan dalam membentuk fisik yang kuat dan memelihara kesehatan agar melakukan olah raga yang teratur makanan yang bergizi serta halal. Muhammad al Ghazali mengatakan bahwa makanan yang sehat adalah makanan yang halal. Mengandung semua zat yang diperlukan oleh tubuh manusia, serta dimakan dalam takaran yang cukup. Tidak terlalu banyak dan tidak kurang.[8]
Dari uraian di atas dapat difahami bahwa untuk membentuk fisik menjadi sehat, baik dan kuat, seseorang harus hidup teratur, makan makanan yang tepat, lingkungan sehat supaya terhindar dari berbagai penyakit yang berakibat melemahkan fisik tentunya makanan tersebut harus halal dan tayyib.
Kedua, manusia dikatakan makhluk yang sempurna karena manusia dikarunia akal. Akal adalah daya rokhani untuk memahami kebenaran yang bersifat mutlak maupun kemampuan yang bersifat relatip.[9]Oleh karena itu akal harus difungsikan apabila tidak, manusia akan sama dengan binatang. Akal yang tidak berfungsi menjadikan qalbu manusia tertutup. Hingga manusia kehilangan kemampuan untuk memahami kebenaran yang datangnya dari Allah SWT.
Akal adalah salah satu unsur dari pada ruh, dan merupakan alat tertinggi bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk memanfaatkan alam nyata. Sedangkan kecerdasan menggambarkan kemampuan seseorang memanfaatkan akalnya, kemampuan itu tumbuh dari pengalaman dan pelajaran, hal ini dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga usaha yakni :
1) Kesadaran kemampuan pribadi itu sendiri atau ketekunan (kemauan dan usaha pribadi).
2) Pendidikan pengajaran yang diterimanya (usaha luar).
3) Campuran : ketekunan dan pengajaran yang tepat.[10]
Ketiga, manusia dikatakan mahluk yang sempurna karena ia dikaruniai ruh, dimana ruh merupakan unsur yang condong kepada robb yang menciptakannya. Karena itu ia memiliki sifat ilahiyyahselalu tunduk kepada sang pencipta, kasih sayang kepada sesama, dan kecenderungan melakukan hal yang positif. Allah berfirman dalam surat QS. Al A’raf :
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah AkuIni Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al A’raf :172)
Namun sifat ruh ini terkadang terhalang oleh sifat hewani manusia, karenanya dalam hubungannya dengan pembentukan insan kamil, ruh berusaha untuk disucikan dari segala kotoran nafsu yang tak terkendali, salah satunya dengan intensitas kegiatan ibadah sehingga ruh mengenal dan tahu tentang siapa sebenarnya zat yang telah menciptakannya. Karena pada hakekatnya manusia itu mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan, dengan kata lain manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di sanubarinya.
Dalam kehidupan, agama menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya serta cara-cara beribadah dan berdo’a, melalui pengenalan agama dan berlatih menjalani niscaya ruh manusia akan selalu sadar dan rindu akan Tuhannya. Dengan demikian manusia akan berusaha menjadi khalifah di muka bumi sesuai dengan amanat Tuhan padanya penuh tanggung jawab baik di duniadan di akhirat, bila dia sudah dapat merealisasi hal tersebut dia telah menjadi sempurna, karena untuk menjadi khalifah yang sesungguhnya, manusia beraktifitas tidak dapat dilepaskan dari pikiran alam dan melalui qolbunya memahami tanda-tanda Tuhan dan Sunnah-Nya dalam kehidupan. Karenanya manusia dapat dikatakan sempurna sebab telah mengaktualisasikan semua dimensi darinya secara selaras dan seimbang baik bersifat fertikal maupun horisontal.
2. Peran Pendidikan Islam Dalam Membentuk Karakter Insan kamil
Membentuk manusia hususnya anak didik agar memiliki karakter yang islami atau dengan kata lain insan kamil bukan segampang membalikkan telapak tangan, namun dibutuhkan kesabaran dan menggunakan metode yang terintegrasikan pada sistem pendidikan Islam. Metode-metode yang tertanam pada pendidikan Islam telah dijabarkan oleh ulama dan beberapa pemikir Islam, untuk itu pada pembahasan makalah ini akan dipaparkan beberapa metode dalam pendidikan Islam.
a. Metode Pembentukan Karakter dalam Pendidikan Islam
Kepercayaan akan adanya fitrah yang baik pada diri manusia akan mempengaruhi implikasi-implikasi penerapan metode-metode yang seharusnya diterapkan dalam proses belajar mengajar. Dalam pendidikan Islam banyak metode yang diterapkan dan digunakan dalam pembentukan karakter. Menurut An-nahlawy metode untuk pembentukan karakter dan menanamkan keimanan, yaitu:
1) Metode perumpamaan
Metode ini adalah penyajian bahan pembelajaran dengan mengangkat perumpamaan yang ada dalam al-Qur’an. Metode ini mempermudah peserta didik dalam memahami konsep yang abstrak, ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda konkrit seperti kelemahan orang kafir yang diumpamakan dengan sarang laba-laba, dimana sarang laba-laba itu memang lemah sekali disentuh dengan lidipun dapat rusak. Metode ini sama seperti yang disampaikan olehAbdurrahman Saleh Abdullah.
2) Metode keteladanan
Metode keteladanan, adalah memberikan teladan atau contoh yang baik kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini merupakan pedoman untuk bertindak dalam merealisasikan tujuan pendidik. Pelajar cenderung meneladani pendidiknya, ini hendaknya dilakukan oleh semua ahli pendidikan,. dasarnya karena secara psikologis pelajar memang senang meniru, tidak saja yang baik, tetapi yang tidak baik juga ditiru.
3) Metode ibrah dan mau`izah
Metode Ibrah dan Mau’izah. Metode Ibrah adalah penyajian bahan pembelajaran yang bertujuan melatih daya nalar pembelajar dalam menangkap makna terselubung dari suatu pernyataan atau suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi dengan menggunakan nalar. Sedangkan metode Mau’izah adalah pemberian motivasi dengan menggunakan keuntungan dan kerugian dalam melakukan perbuatan
4) Metode Hiwar Qurani/Kitabi
Hasbi Assidiqy seperti yang dikutip oleh Wawan Susetya mendefinisikan salat menjadi empat pengertian, pada definisi kedua ia memaknai salat sebagai hakikat salat (dalam perspektif batin) yaitu berhadapan hati (jiwa) kepada Allah secara yang mendatangkan takut padaNya, serta menumbuhkan di dalam hati jiwa rasa keagungan kebesaran-Nya dan kesempurnan kekuasaan-Nya. Makna lainya ialah: hakikat salat yaitu menzahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan.
Bila kita pahami dalam proses shalat terdapat dialog antara Allah dan hambaNya, seperti dalam surat Fatihah terjadi dialaog yang sangat dalam antar hamba dan Allah SWT. Di dalam surat ini manusia memohon perlindungan kepada Allah dari godaan sayithan, menyatakan Allah itu yang Maha Pengasih dan Penyayang, memuji Allah sebagai penguasa mutlak alam semesta, menyatakan bahwasanya Allah penguasa mutlak hari kiamat, manusia mengakui kelemahannya dengan penyataan kepada-Mu kami menyembah, hanya kepadaMulah kami meminta pertolongan, manusia memohon petunjuk kepada Allah dalam menjalani kehidupan sebagaimana orang-orang yang Allah telah beri nikmat, dan berlindung dari kesesatan.
Metode dialog ini begitu menyadarkan kita akan kelemahan dan kekurangan. Dalam pendidikan seorang guru perlu melakukan dialog untuk menegtahui perkembangan siswa dan mengidentifikasi masalah-masalah yang dapat menjadi factor penghambat belajar. Untuk itu seorang guru harus memiliki sikap bersahabat, kasih sayang kepada peserta didik.
5) Metode Pembiasaan
Metode pembiasaan atau dalam istilah psikologi pendidikan dikenal dengan istilah operan conditioning. Siswa diajarkan untuk membiasakan berprilaku terpuji, giat belajar, bekerja keras, berrtanggung jawab atas setiap tugas yang telah diberikan.Salat dilakukan 5 kali sehari semalam ialah membiasakan umat manusia untuk hidup bersih dengan symbol wudhu, disiplin waktu dengan ditandai azan disetiap waktu salat, bertanggung jawab dengan simbol pengakuan di dalam bacaan doa iftitah "sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah", doa ini memberikan isyarat berupa tanggung jawab atas anugrah yang Allah telah berikan. Pada saat ruku dan sujud umat muslim diajarkan untuk bersikap rendah hati. Sikap rendah hati inilah merupakan awal kemulian seseorang.
6) Metode Targib dan Tarhib
Metode ini dalam teori metode belajar modern dikenal dengan reward dan funisment. Yaitu suatu metode dimana hadiah dan hukuman menjadi konsekuensi dari aktivitas belajar siswa, bila siswa dapat mencerminkan sikap yang baik maka ia berhak mendapatkan hadiah dan sebaliknya mendapatkan hukuman ketika ia tidak dapat dengan baik menjalankan tugasnya sebagai siswa.
Begitu pula halnya salat, saat seorang melakukan salat dengan baik dan mampu ia implementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka ia mendapatkan kebaikan baik dari Allah dan masyarakat sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka hadis riwayat Muslim "surga firdaus untuk orang-orang yang dapat mengamalkan salat dengan baik dan benar". Sebaliknya bagi mereka yang melalaikan dan tidak melakasanakan salat neraka weil dan Saqor baginya.
Metode reward dan funishment ini menjadi motivasi eksternal bagi siswa dalam proses belajar. Sebab, khususnya anak-anak dan remaja awal ketika disuguhkan hadiah untuk yang dapat belajar dengan baik dan ancaman bagi mereka yang tidak disiplin, mayoritas siswa termotivasi belajar dan bersikap disiplin. Hal ini bisa terjadi karena secara psikologi manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan mendapatkan balasan dari perbuatan baiknya.[11]
D. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan :
1. Insan kamilmerupakan konsep ideal dalam pembentukan kepribadian muslim yang memiliki baik fisik maupun jiwa yang kuat. Karena itu insan kamil merupakan karakter yang sempurna dalam kehidupan mahluk di dunia, sebab ia memiliki tiga aspek yang melebihi mahluk lainnya, yakni : Fisik yang sempurna, Akal, dan ruh.
2. Pendidikan Islam dalam rangka membentuk insan kamil memiliki beberapa metode yang telah dijabarkan oleh ulama muslim, yaitu : metode perumpamaan, keteladanan, ibrah dan mauzi’ah, pembiasaan, targih dan tarhib.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah Bintu Syathi, Manusia dalam Perspektif al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta,1999
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Penterjemah: Dr. Amin Rais, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Dr Zakiyah Darajat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta
Dr. H. Rifat Nawawi, MA., Konsep Manusia menururt al Qur’an, dalam: Metododogi Psikologi Islam, penyunting: Rendra K., Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2000
Muhammad Al Ghazali, Akhlak Seoarang Muslim,penterjemah: Drs. Much Rifa’I, Wicaksana semarang, 1993
Dr. H. Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al Qur’an, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta 1992
http://bdkbanjarmasin.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=%20mansur002, tanggal 25/9/2013
[1] Aisyah Bintu Syathi, Manusia dalam Perspektif al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta,1999, hlm. 7.
[2]Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Penterjemah: Dr. Amin Rais, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 52
[3]Dr. H. Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al Qur’an, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta 1992, hlm 19
[5]Dr. H. Rifat Nawawi, MA., Konsep Manusia menururt al Qur’an, dalam: Metododogi Psikologi Islam, penyunting: Rendra K., Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2000, hlm. 8
[7]Dr. H. Musa Asy’ari, Opcit, hlm. 77
[8]Muhammad Al Ghazali, Akhlak Seoarang Muslim, penterjemah: Drs. Much Rifa’I, Wicaksana semarang, 1993 hlm. 351
[9]Dr. H. Musa Asy’ari, Op. Cit., hlm, 122
[10] Ibid, halaman, 237
Tiada ulasan:
Catat Ulasan