© Attention :
“ Demi Kenyamanan Pengunjung kami rekomendasikan menggunakan
Browser ChromeTerima Kasih . . . . .”

MAKALAH PENDIDIKAN AKHLAK DI PESANTREN



A.    PESANTREN
Pesantren merupakan warisan sekaligus kekayaan kebudayaan intelektual bangsa Indonesia dalam rentangan sejarah masa lalu dan sekarang, dapat kita lihat besar peranannya dalam proses perkembangan sistem pendidikan nasional, di samping eksistensinya dalam melestarikan dan mempertahankan serta melestarikan ajaran-ajaran agama Islam.
Perjalanan dan liku-liku yang panjang, pesantren dengan berbagai keunikannya telah menyebabkan makin eksis, bahkan diramalkan oleh segenap akademisi dan pengamat pendidikan sebagai lembaga pendidikan alternatif yang mampu menjawab tantangan global, variasi tata nilai yang dimiliki penuh dengan kedinamisan akan tumbuh dan berkembang menurut situasi dan kondisi.
1.      Pengertian Pesantren
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yang mendapat imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik.[1]
 
Lebih jelas dan sangat terinci sekali Nurkholis Madjid mengupas asal usul perkataan santri, ia berpendapat ”Santri itu berasal dari perkataan ”sastri” sebuah kata dari Sansekerta, yang artinya melek huruf, dkonotasikan dengan kelas literary bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab. Kemudian diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur'an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama. Juga perkataan santri berasal dari bahasa Jawa ”cantrik” yang berarti orang yang selalu mengikuti guru kemana guru pergi menetap (ingat dalam istilah pewayangan) tentunya dengan tujuan agar dapat belajar darinya mengenai keahlian tertentu.[2]
 
Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalam arti kata bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan menekankan kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasa Arab ”Funduq” yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu.[3]
Sehingga pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kyai atau guru ngaji, biasannya komplek itu berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya.
Dalam pengertian istilah pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[4]
Lebih luas lagi H.M. Arifin mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.[5]
Sehingga Zamakhsyari Dhofier mengungkapkan bahwa lembaga lembaga pendidikan pesantren memiliki beberapa elemen dasar yang merupakan ciri khas dari pesantren itu sendiri, elemen itu adalah:
a.       Pondok atau asrama
b.      Tempat belajar mengajar, biasanya berupa Masjid dan bisa berbentuk lain.
c.       Santri
d.      Pengajaran kitab-kitab agama, bentuknya adalah kitab-kitab yang berbahasa arab dan klasik atau lebih dikenal dengan istilah kitab kuning.
e.       Kyai dan ustadz.[6]
Untuk lebih jelasnya akan penulis berikan penjelasan tentang elemen-elemen pesantren tersebut di atas sebagai berikut :
a.       Pondok atau asrama
Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan unsur penting yang harus ada dalam pesantren. Pondok merupakan asrama di mana para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kyai. Pada umumnya pondok ini berupa komplek yang dikelilingi oleh pagar sebagai pembatas yang memisahkan dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Namun ada pula yang tidak terbatas bahkan kadang berbaur dengan lingkungan masyarakat.[7]
Bangunan pondok pada tiap pesantren berbeda-beda,berapa jumlah unit bangunan secara keseluruhan yang ada pada setiap pesantren ini tidak bisa ditentukan, tergantung pada perkembangan dari pesantren tersebut. Pada umumnya pesantren membangaun pondok secara tahap demi tahap, seiring dengan jumlah santri yang masuk dan menuntut ilmu di situ.
Pembiayaanya pun berbeda-beda, ada yang didirikan atas biaya kyainya, atas kegotong royongan para santri, dari sumbangan masyarakat, atau bahkan sumbangan dari pemerintah.
Walapun berbeda dalam hal bentuk, dan pembiayaan pembangunan pondok pada masing-masing pesantren tetapi terdapat kesamaan umum, yaitu kewenangan dan kekuasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolaan pondok di pegang oleh kyai yang memimpin pesantren tersebut.
Dengan kondisi sebagaimana tersebut di atas, maka menyebabkan ditemuinya bentuk,kondisi atau suasana pesantren tidak teratur, kelihatan tidak direncanakan secara matang seperti layaknya bangunan-bangunan modern yang bermunculan di zaman sekarang. Hal inilah yang menunjukkan ciri khas dari pesantren itu sendiri, bahwa pesantren penuh dengan nuansa kesederhanaan, apa adanya. Namun akhir-akhir ini banyak pesantren yang mencoba untuk menata tata ruang bangunan pondoknya disesuaikan dengan perkembangan zaman.
b.      Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren, masjid adalah bangunan sentral sebuah pesantren, dibanding bangunan lain, masjidlah tempat serbaguna yang selalu ramai atau paling banyak menjadi pusat kegiatan warga pesantren.
Masjid yang mempunyai fungsi utama untuk tempat melaksanakan sholat berjamaah, melakukan wirid dan do’a, i’tikaf dan tadarus al-Qur'an atau yang sejenisnya.[8]Namun bagi pesantren dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah dan pengajaran kitab-kitab agama klasik.
Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan Masjid di dekat rumahnya. Hal ini dilakukan karena kedudukan masjid sebagai sebuah pusat pendidikan dalam tradisi Islam merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada Masjid al-Quba yang didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW, dan juga dianut pada zaman setelahnya, tetap terpancar dalam sistem pendidikan pesantren sehingga lembaga-lembaga pesantren terus menjaga tradisi ini.[9]
Bahkan bagi pesantren yang menjadi pusat kegiatan thariqah masjid memiliki fungsi tambahan, yaitu digunakan untuk tempat amaliyah ke-tasawuf-an seperti dzikir, wirid, bai’ah, tawajuhan dan lain sebagainya.
c.       Santri
Istilah ”santri” mempunyai dua  konotasi atau pengertian, yang pertama; di konotasikan dengan orang-orang yang taat menjalankan dan melaksanakan perintah agama Islam, atau dalam terminologi lain sering disebut sebagai ”muslim orotodks”. Yang dibedakan secara kontras dengan kelompok abangan, yakni orang-orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa pra Islam, khususnya nilai-nilai yang berasal dari mistisisme Hindu dan Budha.[10]Yang kedua; dikonotasikan dengan orang-orang yang tengah menuntut ilmu di lembaga pendidikan pesantren. Keduanya jelas berbeda, tetapi jelas pula kesamaannya, yakni sama-sama taat dalam menjalankan syariat Islam.[11]
Dalam dunia pesantren santri dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :
1.      Santri mukim
Adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal di dalam pondok yang disediakan pesantren, biasanya mereka tinggal dalam satu kompleks yang berwujud kamar-kamar. Satu kamar biasanya di isi lebih dari tiga orang, bahkan terkadang sampai 10 orang lebih.
2.      Santri kalong


Adalah santri yang tinggal di luar komplek pesantren, baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah penduduk di sekitar lokasi pesantren, biasanya mereka datang ke pesantren pada waktu ada pengajian atau kegiatan-kegiatan pesantren yang lain.[12]

Para santri yang belajar dalam satu pondok biasanya memiliki rasa solidaritas dan kekeluargaan yang kuat baik antara santri dengan santri maupun antara santri dengan kyai. Situasi sosial yang berkembang di antara para santri menumbuhkan sistem sosial tersendiri, di dalam pesantren mereka belajar untuk hidup bermasyarakat, berorganisasi, memimpin dan dipimpin, dan juga dituntut untuk dapat mentaati dan meneladani kehidupan kyai, di samping bersedia menjalankan tugas apapun yang diberikan oleh kyai, hal ini sangat dimungkinkan karena mereka hidup dan tinggal di dalam satu komplek.
Dalam kehidupan kesehariannya mereka hidup dalam nuansa religius, karena penuh dengan amaliah keagamaan, seperti puasa, sholat malam dan sejenisnya, nuansa kemandirian karena harus mencuci, memasak makanan sendiri, nuansa kesederhanaan karena harus berpakaian dan tidur dengan apa adanya. Serta nuansa kedisiplinan yang tinggi, karena adanya pengetrapan peraturan-peraturan yang harus dipegang teguh setiap saat, bila ada yang melannggarnya akan dikenai hukuman, atau lebih dikenal dengan istilah ta’zirat seperti di gundul, membersihkan kamar mandi dan lain sebagainya.
d.      Pengajaran kitab-kitab agama klasik
Salah satu ciri khusus yang membedakan pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain adalah adanya pengajaran kitab-kitab agama klasik yang berbahasa arab, atau yang lebih tren disebut dengan ”kitab kuning”.
Meskipun kini, dengan adanya berbagai pembaharuan yang dilakukan di pesantren dengan memasukkan pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham syafi’iyah tetap diberikan di pesantren sebagai usaha untuk meneruskan tujuan utama pesantren, yaitu mendidik calon-calon ulama, yang setia kepada faham Islam tradisional.
Spesifikasi kitab dilihat dari format (lay-out) nya terdiri dari dua bagian : materi, teks asal (inti) dan syarh (komentar, teks penjelas atas materi). Dalam pembagian semacam ini, materi selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarah - karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang - diletakkan di bagian tengah kitab kuning.[13]
 
Dan bila dilihat dari segi cabang keilmuwannya dapat dikelompokkan menjadi 8 kelompok, yaitu; a Nahwu (syintaq) dan sharaf (morfologi); b. Fiqih; c. Ushul Fiqh; d. Hadits; e. Tafsir; f. Tauhid; g. Tasawuf dan etika; h. Cabang-cabang lain seperti tariekh dan balaghah.[14]
Ciri khas lain dalam kitab kuning adalah kitab tersebut tidak dilengkapi dengan sandangan (syakal) sehingga kerapkali di kalangan pesantren disebut dengan istilah ”kitab gundul”. Hal ini kemudian berakibat pada metode pengajarannya yang bersifat tekstual dengan metode, sorogan dan bandongan.
e.       Kyai atau ustadz
Keberadaan kyai dalam lingkungan pesantren merupakan elemen yang cukup esensial. Laksana jantung bagi kehidupan manusia begitu urgen dan pentingnya kedudukan kyai, karena dialah yang merintis, mendirikan, mengelola, mengasuh, memimpin dan terkadang pula sebagai pemilik tunggal dari sebuah pesantren.
Oleh karena itu, pertumbuhan suatu pesantren sangat bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya, sehingga menjadi wajar bila kita melihat adanya banyak pesantren yang bubar, lantaran ditinggal wafat kyainya, sementara dia tidak memiliki keturunan yang dapat meneruskan kepemimpinannya.
Gelar kyai, sebagaimana diungkapkan Mukti Ali yang dikutip Imam Bawani, biasanya diperoleh seseorang berkat kedalaman ilmu keagamaannya, kesungguhan perjuangannya di tengah umat, kekhusyu’annya dalam beribadah, dan kewibawaannya sebagai pemimpin. Sehingga semata hanya karena faktor pendidikan tidak dapat menjamin bagi seseorang untuk memperoleh predikat kyai, melainkan faktor bakat dan seleksi alamiah yang lebih menentukannya.[15]
 
Di masyarakat, kyai merupakan bagian dari kelompok elite dalam struktur sosial, politik dan ekonomi, yang memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat, biasanya mereka memiliki suatu posisi atau kedudukan yang menonjol baik pada tingkat lokal maupun nasional. Dengan demikian merupakan pembuat keputusan yang efektif dalam sistem kehidupan sosial, tidak hanya dalam kehidupan keagamaan tetapi juga dalam soal-soal politik.
Dengan kelebihan pengetahuannya dalam bidang agama, para kyai seringkali dianggap sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam sehingga mereka dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau oleh kebudayaan orang awam, atau dalam istilah trendnya disebut ”kyai khos” sehingga dalam beberapa hal mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk pakaian seperti kopiah dan surban serta jubah sebagai simbol kealiman.
Di lingkungan pesantren, seorang kyai adalah hirarki kekuasaan satu-satunya yang ditegakkan di atas kewibawaan moral sebagai penyelamat para santri dari kemungkingan melangkah ke arah kesesatan, kekuasaan ini memiliki perwatakan absolut sehingga santri senantiasa terikat dengan kyainya seumur hidupnya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moral dalam kehidupan pribadinya.[16]
Dari uraian tersebut, perlu diingat bahwa yang digambarkan adalah pesantren yang masih dalam bentuknya yang murni, atau dalam studi kepesantrenan disebut dengan istilah pesantren tradisional, sehingga kalau kita menongok perkembangan pesantren saat sekarang tentunya akan dapat kita lihat usaha-usaha untuk mendorong terjadinya perubahan pada unsur-unsur pesantren, disesuaikan dengan dinamika dan kemajuan zaman.
2.      Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren
Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang asal usul pesantren, tentang kapan awal berdirinya bagaimana proses berdirinya dan bahkan istilah-istilah yang ada dalam dunia pesantren pun seperti istilah kyai, santri yang menjadi unsurnya masih diperselisihkan.
Mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di Indonesia menurut Ensiklopedi Islam ada dua versi pendapat. Pertama; Pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Karena pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini didasarkan bahwa dalam awal penyiaran Agama Islam di Indonesia lebih dikenal dengan kegiatan tarekat, yang ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini disebut kyai, yang dalam melaksanakan suluk dilakukan selama 40 hari tinggal bersama kyai di sebuah Masjid untuk dibimbing dalam melakukan ibadah-ibadah tertentu. Di samping itu kyai juga biasanya menyediakan kamar-kamar kecil yang letaknya di kiri kanan Masjid untuk tempat penginapan dan memasak. Sehingga dalam kesehariannya juga diajarkan kitab-kitab agama, yang kemudian aktifitas ini dinamakan pengajian. Dan dalam perkembangannya lembaga pengajian tarekat ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.
Kedua, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren yang kita kenal sekarang merupakan pengambilalihan sistem pendidikan yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Pendapat ini didasarkan dengan adanya fakta bahwa sebelum Islam datang ke Indonesia telah dijumpai lembaga pendidikan yang sama dengan pesantren, Lembaga itu digunakan untuk mengajarkan ajaran agama Hindu dan tempat untuk membina kader-kader penyebar Hindu. Fakta lain, adalah bahwa sistem pendidikan semacan pesantren ini, tidak kita jumpai di negara-negara Islam, sementara justru lembaga yang hampir sama dengan pesantren, dapat kita jumpai di negara-negara Hindu dan Budha, seperti India, Thailand dan Myanmar.[17]
Dalam kaitannya dengan perkembangan pesantren ini, tidak akan dilepaskan dengan penyebaran dan penyiaran Agama Islam di bumi Indonesia ini, sehingga dalam mengkaji perkembangan pesantren ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase, yaitu :
a.       Fase datangnya Islam ke Indonesia
b.      Fase kedatangan penjajah barat (Belanda)
c.       Fase penjelajahan Jepang
d.      Fase Indonesia merdeka[18]
Untuk lebih mengetahui perkembangan pesantren, akan penulis jelaskan keadaan dan kondisi pesantren pada masing-masing fase tersebut.
a.       Fase datangnya Islam ke Indonesia
Berdirinya dan perkembangan pesantren, tidak dapat dipisahkan dengan zaman walisongo, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan pondok pesantren yang pertama kali adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim. Ini karena Syekh Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada 12 Robiul Awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419 M dan dikenal juga sebagai Sunan Gresik. Adalah orang yang pertama dari walisongo yang menyebarkan Agama Islam di Jawa,[19]sehingga dapat disimpulkan bahwa lembaga pesantren itu sudah ada sejak abad ke-15.
Dalam perkembangan pesantren, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangankan pesantren dalam arti yaang sesungguhnya adalah Raden Rahmat ( Sunan Ampel ) yang telah mendirikan pesantren di Kembang Kuning, kemudian pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan mendirikan pesantren di sana, dan di sana misi keagamaan dan pendidikan mencapai sukses, sehingga setelahnya banyak bermunculan pesantren-pesantren yang didirikan oleh para santrinya, di antaranya adalah pondok pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Fatah, pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.[20]
Keadaan dan kondisi pesantren pada masa awal masuknya Islam tidak seperti yang kita lihat sekarang, fungsi dan kedudukannya pun tidak sekomplek sekarang, pada saat itu pesantren hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni ibadah untuk menanamkan iman, tablig untuk menyebarkan ilmu dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.[21]
b.      Fase kedatangan penjajah barat (Belanda)
Penaklukan bangsa barat (Belanda) atas bangsa Indonesia, telah menyebabkan adanya proses westernisasi di berbagai bidang, termasuk pula dalam bidang pendidikan, dengan berdalih pembaharuan mereka menyelinapkan misi kristenisasi untuk kepentingan barat dan agama nasrani.
Dengan adanya tujuan itulah yang kemudian memunculkan kebijakan-kebijakan yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan pesantren, dengan peraturan-peraturan yang dibuat, mereka berusaha untuk menyudutkan dan meminggirkan lembaga-lembaga pendidikan yang ada, khususnya pesantren.
Pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja diwajibkan sebagai sekolah pemerintah dan tiap-tiap daerah karisedenan minimal harus ada satu sekolah yang mengajarkan Agama Kristen, agar penduduk pribumi lebih mudah untuk mentaati undang-undang dan hukum negara.[22]
Pendidikan gereja ini didirikan oleh pemerintah Belanda dengan tujuan selain mempunyai misi kristenisasi juga untuk menandingi lembaga pendidikan yang sudah ada, seperti pesantren, madrasah-madrasah dan pengajian yang sangat melekat di hati rakyat, karena pemerintah Belanda menganggap pendidikan yang telah ada sudah tidak relevan dan tidak membantu pemerintah Belanda dalam misi kolonialisme.[23]
Untuk menyudutkan lembaga pendidikan Islam, pemerintah Belanda juga membuat kebijakan-kebijakan yang isinya adalah larangan kepada kyai untuk memberikan pengajaran agama kecuali ada ijin dari pemerintah dan dilanjutkan dengan penutupan dan pemberantasan madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren yang tidak memiliki ijin dari pemerintah, kebijakan ini ditekankan karena pemerintah Belanda melihat adanya kekhawatiran dengan menguatnya gerakan nasionalisme-islamisme dengan munculnya persatuan pondok-pondok pesantren dan lembaga organisasi pendidikan Islam. Dan juga perkembangan Agama Kristen yang selalu mendapat reaksi keras dari rakyat.[24]
Dengan adanya kebijakan-kebijakan kolonial yang senantiasa berusaha untuk menghambat dan bahkan menghancurkan pendidikan Islam, telah menyebabkan kekhawatiran, kemarahan, kebencian dan pemberontakan kepada pemerintah Belanda yang oleh kalangan pesantren dimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi, yaitu :
1.      Uzlah, pengasingan diri, menyingkir ke desa-desa terpencil yang jauh dari jangkauan suasana kolonial. Hal ini dimaksudkan selain untuk menghindarkan dari kebijakan-kebijakan kolonial Belanda, juga untuk menjaga diri dari pengaruh moral dan kebudayaan yang destruktif.
2.      Bersikap non kooperatif dan mengadakan perlawanan secara diam-diam, hal ini dilakukan oleh para kyai yang mengajarkan pendidikan keagamaan dengan menumbuhkan semangat jihad para santri-santrinya. Untuk membela Islam dan menentang penjajah. Dengan fatwa-fatwanya semacam membela negara dari ancaman penjajah, lebih lagi kafir adalah bagian dari iman, bahkan sampai fatwa yang mengharamkan segala sesuatu yang berasal dan berbau barat seperti, memakai celana, dasi, sepatu dan lain sebagainya.
3.      Berontak dan mengadakan perlawanan fisik terhadap Belanda, dengan silih berganti selama berabad-abad kalangan pesantren senantiasa berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara ini sehingga lahirlah nama-nama pejuang besar yang berlatar belakang santri seperti Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Sultan Agung, Ahmad Lucy (Pattimura) dan lain sebagainya.[25]
Dengan demikian, keadaan pesantren pada masa penjajahan Belanda banyak mengalami kemunduran, yang diakibatkan adanya tekanan yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap pesantren. Sehingga pesantren menjadi terpinggirkan, dan pesantren tidak bisa konsentrasi penuh dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah dan lembaga sosial, karena pesantren harus ikut berjuang dalam rangka memerangi kolonialisme belanda dari bumi nusantara ini. Namun di sisi lain, hal ini menunjukkan daya tahan pesantren. Walau pemerintah Belanda secara maksimal berusaha untuk membatasi gerak pesantren melalui tekanan, ancaman, dan kebijakan yang sangat merugikan pesantren ternyata pesantren masih tetap eksis di tengah-tengah gelora perjuangan melepaskan diri dari kekangan penjajah barat (Belanda)
Bahkan dalam akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, lahir kegairahan dan semangat baru dari kalangan muslim, pesantren berusaha keluar dari ketertinggalannya, dipelopori oleh para kyai muda yang baru menyelesaikan studinya di Mekah, berusaha membuka sistem pendidikan yang sebanding dengan sistem sekolah, yaitu sistem madrasah. Dengan sistem ini pesantren dapat berkembang kembali dengan baik dan cepat, dan mampu menyaingi sekolah-sekolah Belanda seperti contoh pesantren Tebu Ireng yang memiliki lebih dari 1500 santri.[26]
Selain itu, kaum santri juga mengalami tumbuhnya kesadaran untuk bersatu dan mengatur dirinya secara baik, sehingga bermunculan organisasi-organisasi Islam, seperti SI (Serikat Islam), Muhammadiyah dan NU. Organisasi-organisasi itu bertujuan untuk membela dan meningkatkan kualitas beragama, bermasyarakat dan bernegara.
c.       Fase Penjajahan Jepang
Jepang menjajah Indonesia setelah menguasai pemerintah Hindia Belanda dalam perang dunia II, mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan Asia Timur raya untuk asia dan semboyan Asia Baru.
Masa awalnya sikap pemerintahan Jepang menampakkan sikap yang sangat menguntungkan Islam, seakan-akan membela kepentingan Islam, yang ternyata hanyalah siasat Jepang untuk memanfaatkan kekuatan Islam dan nasionalis untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang, sehingga Jepang berusaha menarik simpati dari kalangan Islam dengan kebijakan-kebijakannya, di antaranya adalah:
1.      Kantor urusan Agama yang pada Zaman Belanda disebut kantor Voor Islamistiche Saken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri, yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan di daerah juga dibentuk Sumuka yang juga dipegang oleh kalangan Islam.
2.      Pondok pesantren yang besar seringkali mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang
3.      Sekolah negeri diberi pelajaran Budi Pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama
4.      Umat Islam diijinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.[27]
Dengan adanya kebijakan-kebijakan Jepang sebagaimana tersebut di atas, sedikit memberikan ruang gerak bagi pertumbuhan pesantren dan pendidikan madrasah, Namun, itu tidak berlangsung lama, karena setelah mendapat tekanan dari pihak sekutu, pemerintah Jepang bertindak sewenang-wenang dan bahkan lebih kasar dan kejam dari pada pemerintah Hindia Belanda. Kegiatan sekolah diberhentikan diganti dengan kegiatan baris-berbaris dan latihan perang untuk membantu Jepang, sehinngga para kyai banyak yang ditangkap akibat melakukan pembangkangan dan pemberontakan.
Demikian juga, pondok pesantren tidak boleh banyak bergerak meskipun pengawasan yang dilakukan bersifat wajar. Masa-masa ini tidak berlangsung lama karena pemerintah Jepang semakin terjepit, dengan adanya akibat kalah perang dengan sekutu. Hingga akhirnya Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya. 
d.      Fase Kemerdekaan Indonesia

Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, pemimpin bangsa Indonesia memulihkan kembali dan berusaha mengembangkan pendidikan di Indonesia sesuai dengan kebudayaan asli bangsa Indonesia. Pondok-pondok pesantren yang pada masa penjajahan kurang mendapatkan kebebasan dan mengembangkan misinya, mulai bermunculan dan berusaha untuk senantiasa eksis dan berbenah diri untuk meningkatkan daya saingnya bersama lembaga-lembaga lain.

Pondok pesantren pada masa ini yang merupakan lembaga pendidikan yang bersifat non formal mulai mengadakan perubahan-perubahan guna menghasilkan generasi-generasi yang tangguh, yang berpengalaman luas, di antaranya dengan memasukkan mata pelajaran non agama ke dalam kurikulum pesantren, sebagian juga ada yang memasukkan pelajaran bahasa asing ke dalam kurikulum wajib di pondok pesantren.
Demikian pula pesantren mulai mengembangkan sayapnya dengan memperbaharui sistem klasikal dalam pengajarannya, mendirikan madrasah-madrasah, sekolah umum dan bahkan ada sebagian pondok pesantren yang memiliki perguruan tinggi. Pondok pesantren mulai membuka diri dari berbagai masukan dan kritikan yang bersifat membangun dan tidak menyimpang dari Agama Islam, sehingga pembaharuan di sana sini terus dilakukan oleh pesantren.
Hal ini akan merubah penafsiran bahwa pesantren itu identik dengan kekolotan, tradisional, bangunannya yang sempit, kumuh dan terisolasi di pedesaan kepada pandangan yang menilai bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang unggul dan dapat dibanggakan, yang bisa menjadi alternatif sistem pendidikan modern.
Dan kalau kita lihat alumni-alumni pondok pesantren saat sekarang ini sudah banyak yang sukses berkecimpung di berbagai bidang, mulai dari kalangan elite sampai di bawah. Ini menunjukkan besarnya peranan pesantren dalam ikut andil menyukseskan pembangunan bangsa Indonesia.
Di masa orde baru pesantren mendapat perhatian yang besar dari pemerintah yang senantiasa mendorong agar pesantren dapat menjadi salah satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan ini tidak lain bertujuan agar pesantren dalam masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman. Di samping itu, juga diarahkan untuk fungsionalisasi pesantren sebagai salah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai pusat penyuluhan, pusat kesehatan, pusat pengembangan tehnologi tepat guna, pusat pemberdayaan ekonomi dan lain sebagainya.
Oleh karena itu pesantren untuk masa sekarang dan yang akan datang harus dapat dijadikan wahana dalam melanjutkan perjuangan, yakni berjuang melalui pembangunan jasmani dan rohani, terutama di pedesaan yang merupakan  tempat tinggal sebagian besar rakyat Indonesia.
3.      Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pesantren.
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa dalam komponen pesantren salah satunya adalah berupa pondok atau tempat tinggal, sehingga dapat dipahami bahwa sistem pendidikan yang digunakan adalah sistem asrama, di mana santri tinggal satu komplek bersama kyai, dan juga adanya pengajaran kitab-kitab klasik, yang berbahasa Arab yang tentunya dalam memahaminya di perlukan adanya metode-metode khusus yang menjadi ciri khas dari pondok pesantren.
Pesantren sebagaimana kita ketahui, biasanya didirikan oleh perseorangan (kyai) sebagai figur sentral yang berdaulat dalam mengelola dan mengaturnya. Hal ini, menyebabkan sistem yang digunakan di pondok pesantren, berbeda antara satu dan yang lainnya. Mulai dari tujuan, kitab-kitab (atau materi) yang diajarkan, dan metode pengajarannya pun berbeda. Namun secara garis besar terdapat kesamaan.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren pada umumnya  tidak memiliki rumusan tujuan pendidikan secara rinci, dijabarkan dalam sebuah sistem pendidikan yang lengkap dan konsisten direncanakan dengan baik. Namun secara garis besar, tujuan pendidikan pesantren dapat diasumsikan sebagai berikut :
a.       Tujuan Umum, yaitu untuk membimbing anak didik (santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian islami yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
b.      Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.[28]
Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, pesantren menyelenggarakan proses pembelajaran kitab yang dikenal dengan kitab kuning (kitab-kitab agama Islam klasik). Dalam penggunaan kitab kuning di pesantren tidak ada ketentuan yang harus mewajibkan kitab-kitab tertentu, biasanya hal ini disesuaikan dengan sistem pendidikan yang digunakan, ada yang hanya menggunakan sistem pengajian, tanpa sistem madrasah, ada yang sudah menggunakan sistem madrasah klasikal. Ada pula pesantren yang menggabungkan sistem pengajian dan sistem madrasah secara non klasikal.[29]
Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren yang dijadikan kurikulumnya meliputi kitab yang kecil dan pendek sampai kitab yang berjilid-jilid, sehingga menurut Zamaksyari dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1. Kitab-kitab dasar; 2. Kitab-kitab tingkat menengah; 3. Kitab-kitab besar.[30]
Diantara kitab-kitab tersebut yang populer digunakan, yang termasuk kitab dasar antara lain; Bina (sorf), Awamil (nahwu), Aqidat al- Awam (akidah), Washoya (akhlak).
Kitab-kitab menengah meliputi amsilat al-Tasrifiyah (sorf Tsanawiyah), Kailani, Maqshud (Sorf / Aliyah), Jurumiyah, Imrithi, Muthomimah (nahwu/Tsanawiyah), Alfiyah, Ibnu Aqil (nahwu/Aliyah), Taqrib, Safinah, Sullam al-Taufiq (fiqh/Tsanawiyah), Bayan (Ushul Fiqh/Tsanawiyah-Aliyah), Fathul Mu’in, Fathul Qorib, Kifayatu al- Akhyar, Fath al-Wahab, Mahalli, Tahrir (fiqh/Aliyah), Waraqot, Luma’ (Ushul fiqh/Aliyah-Khawas), sanusi, Kifayat al-awam, Jauhar al-Tauhid, al-Husum al-Hamidiyah (akidah/Tsanawiyah), Jalalain, Tafsir Munir, Ibnu Katsir, al-Itqon (Tafsir-Ulum al-Tafsir/Aliyah) Bulugh al-Marom, Shahih Muslim, Arbain Nawawi, Baiquniyah (Hadits, Ulum al-Hadits/Tsanawiyah), Riyadh al-Shalihin, Durrot al-Nasihin, Minhaj al-Mughits (Hadits ulum Hadits /Aliyah) Ta’lim al-Muta’alim, Bidayatul al-Hidayah (Akhlak/Tsanawiyah), Ihya’Ulum al-Din, Risalat al-Munawanah (Akhlak /Aliyah), khulashah Nur al-Yaqin (tarikh).
Kitab khawas (tinggi) meliputi, Jam’u al-Jawawi, Al-Asybah wa-Nadhoir (Ushul fiqh), Tafhu al Majid (akidah), Jami’ al-Bayan, al-Manar, Shahih Bukhori (Hadits).
Di samping kitab-kitab di atas, di pesantren juga biasanya terdapat amalan-amalan yang dilakukan dengan menggunakan kitab-kitab tertentu, di antaranya kitab manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani, kitab Dalaiil al-Khoirrot, kitab Mujarobat yang biasanya dibaca sebagai wirid lelakon puasa dan lain sebagainya.
Pelaksanaan pengajaran kitab ini dilakukan secara bertahap, dari kitab-kitab yang dasar yang merupakan kitab-kitab pendek dan sederhana, kemudian ketingkat lanjutan menengah dan baru setelah selesai menginjak kepada kitab-kitab takhasus, dan dalam pengajarannya dipergunakan metode-metode seperti, sorogan, bandongan, hafalan, mudzakaroh dan majlis ta’lim.
Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan masing-masing metode tersebut sebagaimana berikut :
a.       Metode Hafalan
Metode hafalan adalah metode pengajaran dengan mengharuskan santri membaca dan menghafalkan teks-teks kitab yang berbahasa arab secara individual, biasanya digunakan untuk teks kitab nadhom, seperti aqidat al-awam, awamil, imrithi, alfiyah dan lain-lain.
Dan untuk memahami maksud dari kitab itu guru menjelaskan arti kata demi kata dan baru dijelaskan maksud dari bait-bait dalam kitab nadhom. Dan untuk hafalan, biasanya digunakan istilah setor, yang mana ditentukan jumlahnya, bahkan kadang lama waktunya.
b.      Metode Weton / Bandongan
Metode ini disebut weton, karena pengajiannya atas inisiatif kyai sendiri, baik dalam menentukan kitab, tempat, waktunya, dan disebut bandongan, karena pengajian diberikan secara berkelompok yang diikuti oleh seluruh santri.[31]
Proses metode pengajaran ini adalah santri berbondong-bondong datang ke tempat yang sudah ditentukan oleh kyai, kyai membaca suatu kitab alam waktu tertentu, dan santri membawa kitab yang sama sambil mendengarkan dan menyimak bacaan kyai, mencatat terjemahan dan keterangan kyai pada kitab itu yang disebut dengan istilah maknani, ngasahi atau njenggoti. Pengajian seperti ini dilakukan secara bebas, tidak terikat pada absensi, dan lama belajarnya, hingga tamatnya kitab yang di baca, tidak ada ujian, sehingga tidak bisa diketahui apakah santri sudah memahami atau belum tentang apa yang di baca oleh kyai.
c.       Metode Sorogan
Metode ini, adalah metode pengajaran dengan sistem individual, prosesnya adalah santri dan biasanya yang sudah pandai, menyodorkan sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca di depan kyai, dan kalau ada salahnya, kesalahan itu langsung dibetulkan oleh kyai.[32]
Di pondok pesantren, metode ini  dilakukan hanya oleh beberapa santri saja, yang biasanya terdiri dari keluarga kyai atau santri-santri tertentu yang sudah dekat dengan kyai atau yang sudah dianggap pandai oleh kyai dan diharapkan di kemudian hari menjadi orang alim.
Dari segi teori pendidikan, metode ini sebenarnya metode modern, karena kalau kita pahami prosesnya, ada beberapa kelebihan di antaranya, antara kyai-santri saling kenal mengenal, kyai memperhatikan perkembangan belajar santri, dan santri juga berusaha untuk belajar aktif dan selalu mempersiapkan diri. Di samping kyai mengetahui materi dan metode yang sesuai untuk santrinya. Dan  dalam belajar dengan metode ini tidak ada unsur paksaan, karena timbul dari kebutuhan santri sendiri. 
d.      Metode Mudzakaroh / Musyawarah.
Metode mudzakaroh atau musyawarah adalah sistem pengajaran dengan bentuk seminar untuk membahas setiap masalah keagamaan atau berhubungan dengan pelajaran santri, biasanya hanya untuk santri tingkat tinggi.[33]
Metode ini menuntut keaktifan santri, prosesnya santri di sodori masalah keagamaan tertentu atau kitab tertentu, kemudian santri diperintahkan untuk mengkajinya sendiri secara berkelompok, peran kyai hanya menyerahkan dan memberi bimbingan sepenuhnya.
e.       Metode Majlis ta’lim
Metode ini biasanya bersifat umum, sebagai suatu media untuk menyampaikan ajaran Islam secara terbuka, diikuti oleh jamaah yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, juga berlatar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia atau perbedaan kelamin. Pengajian ini dilakukan secara rutin atau waktu-waktu tertentu.
4.      Tradisi dan Pola Pergaulan Pesantren
Membahas tentang tradisi dan pola pergaulan di pesantren, berarti membicarakan unsur-unsur dan komponen yang ada dalam pesantren, dan hubungan antara komponen-komponen itu sendiri. Dalam dunia pesantren terdapat lima unsur pokok yang antara satu dan lainnya saling terkait dan yang menjadi titik tolak adalah santri yang kemudian membentuk sebuah tradisi yang unik yang berbeda dengan tatanan yang ada di masyarakat pada umumnya.
Kyai sebagai komponen yang utama dalam pesantren adalah sosok figur orang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan agama, kyai adalah sebagian pemimpin dan sekaligus pemilik pesantren, kedudukan kyai adalah sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and autorithy) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren, hal ini menyebabkan tidak ada seorangpun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrenya) kecuali kyai yang lebih besar pengaruhnya.
Sehingga bagi santri selalu berharap dan berfikir bahwa kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri, baik dalam soal pengetahuan agama, maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren. Dengan adanya pandangan santri yang demikian akan menimbulkan ketaatan dan rasa patuh santri. Bahkan sampai penyerahkan  diri kepada kyai yang pada ujungnya akan dapat membentuk jalinan geneologi intelektual bahkan kekerabatan.[34]
Pola hubungan yang semacam ini, akan dapat mempererat hubungan antara kyai dan santri, biasanya alumni dari pondok pesantren tertentu yang telah berhasil menjadi tokoh di daerah asalnya akan berperan sebagai perantara aktif antara masyarakat yang dipimpinnya dengan pesantren tempat dahulu ia belajar ini akan menjadi pendukung yang tangguh bagi kelanjutan hidup pesantren tersebut, sebagai contoh adalah bila santri bersilaturahmi kepada kyai yang mendewasakan ilmunya seringkali bekas santri tersebut membawa serta calon santri yang baru atau mungkin memberikan sumbangan untuk pesantrennya.
Dalam hubungan keseharian santri selalu memandang kyai atau gurunya dalam pengajian adalah sebagai orang yang mutlak harus dihormati, malahan dianggap memiliki kekuatan ghaib yang bisa membawa keberuntungan (berkah) dan celaka (malati, mendatangkan madharat). Yang paling ditakuti santri adalah kecelakaan bila ilmunya tidak manfaat. Sehingga mewujudkan sebuah tradisi untuk senantiasa menghindarkan perbuatan-perbuatan yang dapat mengundang kebencian kyai. Dan juga mewujudkan sebuah kebiasaan bila santri menghadap kyai, sering kali mendoakan kepada santrinya agar diberikan ilmu yang bermanfaat.[35]Dan juga membuat santri senantiasa berusaha untuk senantiasa hormat dan tunduk kepada kyai dengan memanifestasikan dengan tindakan-tindakan seperti, tidak berani berjalan di depannya, mencium tangan, dan lain sebagainya.
Demikian pula hubungan santri dengan santri, pesantren adalah tempat tinggal para santri, maka santri tidak akan terlepas dari interaksi dengan sesamanya, dengan kehidupan yang senantiasa bersama dalam satu komplek, akan menuntut santri untuk memiliki sikap kebersamaan, dan merasa senasib seperjuagan. Sehingga akan menumbuhkan sikap saling tolong menolong, saling hormat menghormati, yang terefleksikan dalam perilaku sehari-hari, seperti memasak bersama, belajar dan diskusi bersama dan lain sebagainya.
Dan ada pula bentuk lain dalam tradisi  pesantren, biasanya santri yang sudah dewasa dan telah lama tinggal di pesantren akan ikut membantu dalam proses belajar mengajar, dengan menjadi ustadz, mengajarkan kitab-kitab yang ia kuasai dan mampu untuk diajarkan kepada yang lain. Hal ini juga akan semakin menguatkan hubungan dan sikap saling hormat menghormati antar sesama santri, sehingga menyebabkan adanya suatu tradisi dalam pesantren adalah penggunaan panggilan “kang” atau “mbah” bagi santri yang telah lama menjadi santri di pesantren, sebagai penghormatan kedewasaanya dan juga karena tingkat pengetahuannya.
Selain itu, juga adanya pandangan santri terhadap kitab-kitab yang dipelajari bahwa sesuatu yang aji (penting) harus dipelajari dengan sungguh-sungguh, dan dihormati, juga adanya metode hafalan dalam mempelajari sebuah kitab, akan menumbuhkan budaya mentashihkan hasil hafalannya kepada gurunya dan yang berhasil melakukannya merupakan prestasi tersendiri, sehingga di pesantren sering kali kita temui santri yang sedang menyepi sendiri sambil menghafalkan bait-bait kitab yang dipelajari, atau secara dinadhomkan bersama-sama dan yang aneh terkadang ditemui pula santri yang menghafal kitab-kitab nadhom dengan sistem “sungsang”, yakni menghafal bolak-balik dari awal sampai akhir, dan ada pula  yang nadhar, apabila ia telah berhasil menghafalkan kitab yang dipelajari dan lain sebagainya.
Kondisi pesantren yang sederhana, lingkungan yang terkesan kurang tertata dan biasanya terletak di pedesaan menjadikan santri juga hidup dalam kesederhanaan dengan penuh memegang dan menjaga hal-hal yang sudah menjadi ciri khasnya, seperti berpakaian sarung, kopiah dan juga menjalani kehidupannya secara mandiri seperti memasak, memenuhi bahkan kadang ada yang mencari kehidupan sendiri, dengan mencari pekerjaan di masyarakat sekitarnya.
Pengetahuan agama yang dimiliki dan ditekuninya akan menjadikan menjadikannya hidup dalam ke-religius-an disiplin dalam menjalankan ibadah dan semua perilakunya dilandaskan pada ke-ikhlas-an untuk mendapat ridho Allah SWT, hal ini terefleksi dalam tradisi dalam perilaku kesehariannya seperti menjalankan sholat sunnah, membaca al-Qur'an dan puasa dan lain sebagainya.


B.     PENDIDIKAN AKHLAK
Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk Allah yang paling istimewa, dibanding dengan yang lainnya, karena manusia dijadikan dengan sebaik-baik bentuk dan juga dibekali dengan akal pikiran agar dapat menjadi khalifah di bumi ini, sebagaimana firman Allah SWT :


Artinya: ”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, sesungguhnya aku hendak menjadikan seoerang khalifah di muka bumi”.(QS. Al-Baqoroh ayat 30).[36]
Dengan berbekal akal pikiran yang dimiliki manusia, manusia akan dapat mendudukkan dirinya sesuai dengan status yang semestinya sebagai makhluk Allah. Dan juga agar dapat memanfaatkan segala apa yang ada di muka bumi ini untuk memenuhi kebutuhannya.
Untuk menjadikan semua itu, dan agar manusia tidak akan hanya mengikuti keinginan hawa nafsunya, maka Allah memberikan tuntutan melalui ajaran-ajaran yang diwahyukan kepada para Rosul-Nya, untuk mengatur berbagai tata kehidupan manusia. Di antaranya adalah tingkah laku, atau dikenal dengan istilah akhlak.
Dengan itu, manusia akan dapat memelihara dirinya dari perbuatan-perbuatan yang akan dapat merusaknya, karena dalam ajaran-ajaran tentang akhlak manusia akan dapat mengetahui bagaimana harus berhubungan dengan khaliqnya dengan sesama manusia, dan dengan makhluk-Nya yang lain.
1.      Pengertian Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak merupakan rangkaian dua kata yang memiliki arti satu kesatuan dan untuk dapat dipahami sebagai kesatuan arti harus dimengerti lebih dahulu arti dari masing-masing kata. Pendidikan akhlak diambil dari kata ”Pendidikan” dan  ”Akhlak”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, perbuatan, cara mendidik.[37]
Khurshid Ahmad mendefinisikan pendidikan “ Education is a mental, physical and moral tarining and its objektive is to produce higlhy cultured men and women fit to dischange their duties as good human being and as worthy citizens of a state”.[38]
Artinya: ”Pendidikan adalah latihan mental, fisik dan moral dan tujuannya adalah untuk menghasilkan manusia yang berbudaya tinggi laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan tugas-tugasnya sebagai makhluk yang baikdan sebagai warga yang berguna”.

Menurut Martimer J. Adler sebagaimana dikutip oleh Prof. H.M. Arifin, M.Ed., pendidikan adalah proses dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik.[39]
Lebih jauh lagi Drs. A.D. Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani si pendidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[40]
Pengertian yang hampir sama juga diungkapkan oleh Syeh Muhammad al-Ghalayiny dalam kitabnya Idhatu al-Nasyi’in :




Artinya: ”Pendidikan adalah penanaman akhlak yang mulia ke dalam jiwa anak yang sedang timbul dan menyiraminya dengan siraman petunjuk dan nasehat sehingga menjadi watak yang melekat ke dalam jiwa, sehingga hasilnya berupa keutamaan dan kebaikan, suka beramal demi kemanfaatan bagi bangsa.
Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh beberapa ahli tersebut di atas, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan secara sistematis untuk mengembangkan potensi manusia untuk dibimbing dan diarahkan kepada pembentukan sikap, tata laku, dan kepribadian yang baik melalui pengajaran, pelatihan, pembiasaan dan pemberian petunjuk dan nasehat dan lain sebagainya agar menjadi manusia yang utama dan baik, berguna bagi bangsa dan negara.
Sedangkan akhlak menurut pengertian etimologi berasal dari bahasa arab, jamak dari         yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[42]
Kata akhlak di sini juga mengandung persesuaian dengan kata         artinya kejadian yang juga erat hubungannya dengan   yang berarti pencipta, demikian juga dengan kata                yang berarti yang diciptakan. Perumusan ini dapat diambil pengertian bahwa akhlak sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.[43]
Menurut pengertian terminologi, akhlak didefinisikan oleh Ahmad Amin sebagai kebiasaan kehendak, yang berarti bila kehendak itu dibiasakan, maka kebiasaan itu akan disebut sebagai akhlak.[44]
Pengertian di atas, perlu dijelaskan yang dimaksud kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Sedang untuk mengerjakannya mempunyai dua syarat : Pertama ; ada kecenderungan hati kepadanya ; Kedua, ada pengulangan yang cukup banyak ; sehingga mudah mengerjakannya tanpa memerlukan fikiran lagi. Sedangkan yang dimaksud dengan kehendak adalah menangnya keinginan manusia setelah dia bimbing. Proses terjadinya melalui ; Pertama, timbul keinginan setelah adanya stimulan-stimulan melalui indra-indranya, Kedua ; timbul kebimbangan mana yang harus dipilih di antara keinginan-keinginan yang banyak itu ; Ketiga; mengambil keputusan, menentukan keinginan yang dipilih di atara keinginan-keinginan tersebut.[45]
Imam al-Ghazali mengemukakan dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din bahwa :


Artinya: ”Akhlak adalah suatu keterangan kesediaan jiwa yang (relatif) tetapi yang dari padanya muncul perbuatan-perbuatan yang mudah dan gampang tanpa disertai pikir dan pertumbuhan”.
Dari pengertian yang diberikan oleh al-Ghazali dapat diketahui bahwa hakekat akhlak itu harus memenuhi dua syarat :
a.       Perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulangkali, kontinu, dalam bentuk sama sehingga dapat menjadi kebiasaan (habit forming).
b.      Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan-tekanan, paksaan dari orang lain atau pengaruh-pengaruh dan bujukan-bujukan yang indah dan sebagainya.[47]
Sedangkan Elizabeth B. Hurlock memberikan batasan tentang akhlak dalam bukunya Child Development sebagai berikut :
Behaviour which may be called “Have Morality” not only conforms to social standards but also Is carried out varuntarily, Is comes whith the transition from external to internal outority and consists of conduct regulated from writhin.[48]
Artinya: ”Tingkah laku yang boleh dikatakan sebagai moral yang sebenarnya itu buka hanya sesuai dengan standar masyarakat tetapi juga harus dilaksanakan dengan sukarela. Tingkah laku itu terjadi melalui transisi dari kekuatan yang ada di luar (diri) ke dalam (diri) dan ada ketetapan hal dalam bertindak yang diatur dari dalam (diri)”.
Jadi, pengertian akhlak dapat disimpulkan sebagai kehendak jiwa manusia, (tanpa adanya paksaan dan tekanan maupun bujukan) yang dapat menimbulkan perbuatan dengan mudah dan gampang karena sudah dibiasakan dan dilakukan berulang-ulang, sehingga sewaktu-waktu perbuatan itu akan muncul tanpa memerlukan pertumbuhan dan pemikiran terlebih dahulu.
Dari pengertian pendidikan dan akhlak yang sudah diungkapkan di atas, maka yang di maksud dengan pendidikan akhlak adalah suatu usaha mengenai proses yang secara sistematis dilakukan untuk mengembangkan potensi manusia dan kehendak jiwa manusia, agar dapat menjadi manusia yang memiliki kepribadian mulia yang sesuai dengan tatanan nilai yang ada sehingga terbentuk manusia yang berakhlak karimah, dan proses itu dapat dilakukan melalui pengajaran, pelatihan, pembiasaan dan pemberian petunjuk dan nasehat dan lain-lain.
Dalam pembahasan akhlak, juga ada beberapa istilah yang sering digunakan sebagai persamaan dengan istilah akhlak, istilah-istilah itu adalah :
a.         Etika 
Etika adalah berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu dari kata ”Ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan adat, akhlak, wata’, perasaan, sikap, cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak ”ta etha” mempunyai arti adat kebiasaan.[49]
Dalam Ensiklopedia Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk, kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia juga merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.[50]
Menurut Frans Magnis Suseno, etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.[51]
Sedangkan Hamzah Ya’kub mendefinisikan etika sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran.[52]
Dengan demikian, etika dapat diartikan sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari dan menyelidiki tingkah laku manusia untuk menentukan nilai dari perbuatan tersebut, baik atau buruk menurut ukuran akal, atau dengan kata lain akal manusia yang dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan, baik karena akal menganggap dan menentukannya baik dan jelek karena akal menilainya jelek.
b.        Moral
Kata moral berasal dari bahasa latin ”Mores” kata jamak dari kata mos yang berarti adat istiadat.[53]Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan atau kelakuan.[54]
Salah satu pengertian moral sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Pendidikan bahwa moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menentukan baik atau buruk.[55]
Pengertian yang hampir sama, juga diberikan oleh K. Bertens, bahwa etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku.[56]
Lebih jelas lagi definisi yang diungkapkan oleh Frans Magnis Suseno bahwa norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap atau tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.[57]
Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan moral adalah dasar, nilai yang dapat dijadikan pedoman, tolak ukur untuk menentukan baik buruknya, betul salahnya suatu perbuatan manusia dalam satu lingkup masyarakat, sehingga persesuaiannya adalah dengan adat istiadat yang diterima oleh masyarakat yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
c.       Kesusilaan
Untuk membicarakan mengenai tingkah laku manusia, juga bisa digunakan istilah kesusilaan, kata kesusilaan berasal dari kata “susila” yang termasuk dalam kosa kata Bahasa Sansekerta, kata susila ini berasal dari penggabungan kata ”su” yang berarti baik, bagus dan kata ”sila” yang berarti dasar, prinsip, peraturan hidup, norma.[58]
Jadi, yang dimaksud dengan kesusilaan adalah dasar atau prinsip tentang baik dan bagusnya tingkah laku manusia. Di sisi lain, pengertian ini dapat memberikan bimbingan agar manusia dapat hidup sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam tata kehidupan manusia.
d.        Budi Pekerti
Budi pekerti dalam Bahasa Indonesia merupakan kata majemuk dari kata ”budi” dan ”pekerti”. Budi berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti sadar, menyadarkan atau alat kesadaran. Sedangkan pekerti berasal dari bahasa Indonesia yang berarti kelakuan.
Menurut istilah, budi dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, ratio yang disebut dengan karakter. Dan pekerti diartikan sebagai apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut dengan behaviour. Jadi yang dimaksud dengan budi pekerti adalah perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanivestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.[59]
Dari penjelasan mengenai istilah-istilah di atas, maka bila dikaitkan dengan akhlak, ada beberapa perasamaan dan perbeaan. Persamaannya adalah kesemua istilah sama-sama membahas perilaku manusia dan menilai dan menentukan tentang baik buruknya perbuatan tersebut. Perbedaannya adalah terletak pada sumber titik pangkal tata aturannya. Akhlak dalam menilai perilaku manusia didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadits sehingga memiliki manivestasi yang lebih mendalam, yaitu untuk mencapai kedamaian dunia akherat. Sedangkan etika, moral kesusilaan, budi pekerti memandang tingkah laku manusia memakai tolak ukur dan pertimbangan akal fikiran, adat istiadat atau segala apa yang menjadi tatanan nilai yang dihasilkan di suatu masyarakat.[60]
 
2.      Dasar Pendidikan Akhlak
Akhlak dalam pandangan Islam merupakan sistem tata nilai tentang perilaku manusia yang didasarkan pada ajaran-ajaran agama Islam. Yakni, segala perilaku manusia haruslah bersumber dan bertolak serta berpedoman pada ajaran agama Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber inti dari syari’at yang disebarluaskan oleh Rosul Muhammad SAW sebagai sinar penerang bagi kehidupan manusia.
Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama dari ajaran Islam tentunya berisi tentang ajaran-ajaran yang dapat dijadikan panutan dan tuntunan dalam manusia berperilaku dan berakhlak, keduanya memberikan bimbingan dan penjelasan yang jelas dan terarah demi untuk keselamatan umat manusia dan demi kebahagiaan baik di dunia dan di akherat serta menghindarkan dan menjauhkan manusia dari kerusakan, kesesatan yang akan menjerumuskannya ke lembah kehinaan yang tidak diridhai oleh Allah SWT. Firman Allah :




Artinya: ”…, sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaannya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinnya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.[61]
Ayat tersebut di atas, menjelaskan tentang tujuan diwahyukannya al-Qur'an adalah untuk membawa manusia dari kegelapan, dalam arti menjauhkan dari perilaku yang dapat merusak harkat martabatnya sebagai manusia (khalifah di bumi) sebagaimana perbuatan kemaksiatan dan lain-lainnya, dan menunjukkan perilaku-perilaku yang dapat meningkatkan harkat dan derajatnya, yaitu jalan yang lurus yang diridhai Allah SWT.
Sehingga, al-Qur'an dengan jelas memberikan tuntunan mana perbuatan baik yang harus dilakukan oleh manusia dan mana perbuatan buruk yang harus dijauhinya.
Demikian halnya dengan al-hadits yang merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur'an juga sebagai pedoman tingkah laku oleh manusia, karena seluruh ucapan, perbuatan, tingkah laku dan iqrar nabi adalah suri tauladan bagi tatanan kehidupan manusia yang ideal. Dijelaskan dalam firman Allah SWT :



Artinya: ”Sesunggunya telah ada pada (diri) Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(QS.al-Ahzab.21)[62]
Juga firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 7  menjelaskan adanya perintah Allah untuk menerima dan mengikuti segala yang diperintahkan Rosulullah dan menjauhi serta meninggalkan yang diperintahkannya. Firman Allah :


Artinya: ”Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.(QS.al-Hasyr :7 )[63]
Keabsahan al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang berarti juga sebagai dasar dan sumber akhlak adalah merupakan satu kesatuan dengan al-Qur'an. Al-Qur'an sebagai sumber pokok yang mencakup misi dan sari pati dari ajaran Islam, sedangkan al-Hadits merupakan penjelas dan penegas dan keterangan praktis dari isi yang terkandung di dalamnya.
Oleh sebab itu akhlak yang melekat pada nabi merupakan al-Qur'an itu sendiri dan merupakan contoh kongkrit tentang bagaimana kita menjalani hidup ini yang sesuai dengan ajaran yang tertera dalam al-Qur'an al-karim. Sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah r.a dijelaskan bahwa :
Artinya: ”Adalah akhlaknya Rosulullah adalah al-Qur'an”.
Dan juga firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Qalam ayat 4:

Artinya: ”Dan sesungguhnya kamu benar-benar budi pekerti yang agung”.(QS.al-Qalam : 4) [65]
Jadi, segala ucapan, perbuatan, iqrar dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW adalah merupakan teladan dan contoh sebagai manusia yang sempurna sebagai hamba Allah. Sehingga tak dapat diragukan lagi tentang keabsahan kehidupan nabi yang didasarkan pada al-Qur'an karim dan juga bersifat ma’sum (dijaga dari kesalahan) yang tentunya kesemuanya itu merupakan akhlak yang agung sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut di atas.
Nabi Muhammad SAW merupakan satu sosok manusia yang akhlaknya sangat mulia yang patut dan harus dijadikan panutan dan teladan bagi sekalian umat manusia, hal ini cukup jelas, karena sebagaimana tujuan diutusnya Nabi Muhammad adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak manusia. Sabda Nabi SAW :
Artinya: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan budi pekerti”.
Dari berbagai dalil di atas, maka jelas bahwa segala perilaku manusia yang merupakan manivestasi dari akhlak, kesemuanya itu harus didasarkan pada syari’at ajaran Islam. Yang dalam hal ini, bersumber kepada al-Qur'an karim yang merupakan sumber pokok dari ajaran Islam, dan juga al-Hadits yang merupakan landasan penjelas secara kongkrit yang diberikan Rosulullah tentang kehidupan yang berjalan sesuai dengan tata kehidupan yang termaktub dalam al-Qur'an yang diridhai oleh Allah SWT.
Di samping itu pula, kita diperintahkan untuk senantiasa berakhlak dan berperilaku yang mulia yaitu tatanan kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama Islam dan sesuai dengan ketauladanan Nabi Muhammad, sebagai contoh adalah firman Allah SWT :



Artinya: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, dia memberi pengajaran kepadamu agara kamu dapat mengambil pelajaran”.(QS. An-Nahl : 60)[67]
Dan firman Allah dalam al-A’raf ayat 199 disebutkan :

Artinya: ”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.(QS.al-A’raf : 199)[68]
Kita juga diperintahkan oleh Allah untuk memelihara diri sendiri dan keluarga dari jurang kesesatan yang berujung pada kesengsaraan Neraka sebagaimana firman Allah SWT :




Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjagannya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.(QS.al-Tahrim : 66)[69]
Dari ketiga ayat tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kita harus memiliki akhlak yang sesuai dengan tatanan yang telah ditentukan oleh Allah, yang tentunya adalah berperilaku dengan perilaku-perilaku yang baik, seperti senantiasa berbuat baik, adil, pemurah, pemaaf dan sebagainya. Di samping itu pula, secara kontekstual apabila kita memahami ayat tersebut di atas, sebagai suatu perintah untuk memberikan pengajaran dan pendidikan tentang perbuatan-perbuatan yang baik itu kepada orang lain, sebagimana tertera dalam perintah untuk mengajak orang lain untuk senantiasa berbuat baik dan menjaga kerabatnya dari jurang kesesatan (Neraka) dalam QS. Al-A’raf 197 dan at-Tahrim ayat 6 tersebut di atas. Pengajaran akhlak ini juga dilakukan oleh Allah SWT kepada kita supaya kita dapat mengambil pelajaran darinya, sebagaimana tertera dalam QS. an-Nahl ayat 60.
Sehingga jelas, bahwa pendidikan akhlak adalah merupakan hal yang sangat penting dalam mengarahkan dan mendidik generasi penerus, dengan dibekali akhlak yang baik dan dididik untuk bisa membedakan antara yang baik dan yang jelek, diharapkan dapat senantiasa berada dalam rel yang sesuai dengan tatanan moral, tidak mudah terombang-ambing oleh perubahan zaman sehingga dapat menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dan berakhlak karimah.  
3.      Macam-macam Akhlak
Apabila kita memperhatikan kehidupan umat manusia akan dapat dijumpai tingkah laku manusia yang bermacam-macam. Yang satu berbeda dengan yang lain, bahkan dalam penilaian tingkah laku inipun berbeda, tergantung pada batasan pengertian baik dan buruk suatu masyarakat.
Pembagian akhlak dilihat dari segi asal muasalnya dapat dibagi dua, sebagaimana diungkapkan Moh. Ibnu Qoyyim yang dikutip oleh Jasuri dalam Metodologi Pengajaran Agama dapat dibagi dua, yaitu :
a.         Akhlak Dharury
Akhlak dharury adalah akhlak yang murni dan secara otomatis diberikan oleh Allah secara langsung oleh makhluknya, tanpa melalui latihan dan kebiasaan dan pendidikan. Akhlak ini hanya dimiliki oleh manusia pilihan yang segala perilakunya terjaga dari kemaksiatan dan larangan Allah. Yaitu para nabi dan rosul-Nya. Dan tidak menutup kemungkinan orang-orang mukmin yang shaleh yang sejak lahir sudah berperilaku baik dan berbudi pekerti yang luhur.
b. Akhlak Mukhtasabah          
Adalah akhlak yang dihasilkan karena jalan latihan, pendidikan pembiasaan yang baik dan berfikir secara tepat. Tanpa melalui hal itu, akhlak ini tidak akan terwujud. Akhlak inilah yang banyak dimiliki umumnya manusia.[70]
Oleh karena itu, adanya pembiasaan-pembiasaan dalam rangka penanaman akidah dan keimanan serta akhlak yang terpuji merupakan hal yang sangat penting dilakukan dan diusahakan atas anak sejak dini, sehingga akan menjadi kuat dan tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan yang buruk dan menyesatkan di kala sudah dewasa.
Adapun akhlak ditinjau dari aspek kepada siapa harus berakhlak, dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :
a.         Akhlak Kepada Pencipta (Allah)
b.        Akhlak Kepada Ciptaan alah (sesama ciptaan Allah).
Pembagian ini dapat dipahami dengan menilik pengertian akhlak dari segi bahasa yang berasal dari kata     yang erat hubungannya dengan kata              yang berarti pencipta dan kata            yang mempunyai arti diciptakan.[71]
Dari pembagian di atas, dapat dijabarkan menjadi delapan macam, yaitu :
a.         Akhlak Kepada Allah SWT.
b.        Akhlak kepada Rosulullah SAW.
c.         Akhlak kepada diri sendiri.
d.        Akhlak kepada sesama manusia
e.         Akhlak kepada binatang
f.         Akhlak kepada tumbuh-tumbuhan
g.        Akhlak kepada alam benda mati
h.        Akhlak kepada makhluk Allah yang lain.[72]
Adapun pembagian akhlak dilihat dari aspek wujud pengalaman serta bentuk-bentuknya dapat dikelompokkan menjadi dua :


a.         Akhlak terpuji ( Akhlak Mahmudah )
Adalah akhlak yang sesuai dengan perintah Allah dan rosulnya. Yang kemudian melahirkan perbuatan yang baik.
b.         Akhlak tercela ( Akhlak madzmumah )
Adalah akhlak yang tidak sesuai dengan perintah Allah, sesuai dengan larangan-Nya dan Rosul-Nya dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang buruk.[73]
Akhlak terpuji atau akhlak mahmudah ini dapat berbentuk :
1.        Al-Amanah ( dapat dipercaya, jujur)
2.        Al-Alifah (lemah lembut)
3.        Al-Afwu (pemaaf)
4.        Aniesatun (manis muka)
5.        Al-Khairu (baik)
6.        Al-Khusyu’ (tekun sambil memudahkan diri)
7.        Adh-Dhiyaafah (menghormati tamu)
8.        Al-Ghufron (suka memberi maaf)
9.        Al-Hayaa’u (malu kalau diri tercela)
10.    Al-Hukmu bi al-adli (adil)
11.    Al-Ikhwan (menganggap bersaudara)
12.    Al-Hilmu (menahan diri dari ma’siat)
13.    Al-Ihsan (berbuat baik)
14.    Al-I faafah (memelihara kesucian diri)
15.    Al-Muru’ah (berbudi tinggi)
16.    An-Nadhafah (bersih)
17.    Ar-Rahman (belas asih)
18.    As-Sakha a’u (pemurah)
19.    As-Salaam (kesentosaan)
20.    Ash-Shaalihaat (beramal saleh)
21.    Ash-Shabru (sabar)
22.    Ash-Shidqatu (benar dan jujur)
23.    Asy-Syaja’ah (berani)
24.    At-Ta’aawun (tolong menolong)
25.    At-Tadharru’ (merendahkan diri kepada Allah SWT)
26.    At-Tawadhu’ (merendahkan diri terhadap sesama)
27.    Qona’ah (menerima apa adanya)
28.    Izzatu al-nafsi (berjiwa kuat)[74]
Dari berbagai bentuk akhlak terpuji sebagaimana tersebut di atas, menurut al-Ghazali  terdapat empat sendi yang menjadi dasar dan induk dari perbuatan-perbuatan tersebut, sebagaimana dikutip oleh Mas Ardani, yaitu : 
1.        Kekuatan ilmu, wujudnya adalah hikmah (kebijaksanaan), yaitu keadaan jiwa yang bisa menentukan hal-hal yang benar di antara yang salah dalam urusan ikhtiariah (perbuatan yang dilaksanakan dengan pilihan dan kemauan sendiri)
2.        Kekuatan marah, ini akan berwujud sifat saja’ah, yaitu keadaan kekuatan amarah yang tunduk kepada akal pada waktu dikekang atau dilahirkan.
3.        Kekuatan nafsu syahwat, akan berwujud sifat ’iffah (perwira), yaitu keadaan syahwat yang terdidik oleh akal dan syari’at agama.
4.        Kekuatan keseimbangan di antara kekuatan yang tiga di atas, ini akan berwujud sifat adil, yaitu kekuatan jiwa yang dapat menentukan amarah dan syahwat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hikmah. [75]
Dari keempat sendi akhlak yang tersebut di atas, akan melahirkan perbuatan-perbuatan yang baik, yang disebut akhlak karimah atau akhlak mahmudah.
Akhlakul madzmumah atau akhlak tercela yang harus kita jauhi dan hindari dapat terwujud, karena adanya hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan oleh seruan akal dan syara’ sehingga akan terlahir perbuatan-perbuatan sebagaimana berikut :
1.        Anaaniah (egoistis)
2.        Al-Baghyu (lacur)
3.        Al-bukhlu (kikir)
4.        Al-Buhtaan (berdusta)
5.        Al-Khamru (peminum khamar)
6.        Al-Khiyaanah (khianat)
7.        Adh-Dhulmu (aniyaya)
8.        Al-Jubun (pengecut)
9.        Al-Fawahisy (berdosa besar)
10.    Al-Ghadzab (pemarah)
11.    Al-Ghasysyu (penipu)
12.    Al-Ghibah (mengumpat)
13.    Al-Ghina (merasa tidak perlu orang lain)
14.    Al-Ghuruur (mengelabuhi)
15.    Al-Hayatu al-dunya (terlalu cinta dunia)
16.    Al-Hasad (dengki)
17.    Al-hidqu (dendam)
18.    Al-Ifsaad (berbuat kerusakan)
19.    Al-Intihar (bunuh diri)
20.    Al-Israaf (berlebih-lebihan atau boros)
21.    Al-Istikbar (takabbur)
22.    Al-Kazbu (dusta)
23.    Al-Kufran (mengingkari nikmat)
24.    Al-Liwaathah (homo sexual)
25.    Al-Makru (penipu)
26.    An-Namiimah (adu domba)
27.    Qotlu al-nafsi (membunuh)
28.    Ar-Riba (memakan riba)
29.    Ar-Riya (mencari muka)
30.    As-Sikhriyah (berolok-olok)
31.    As-Sirqoh (mencuri)
32.    As-Syahwat (mengumbar hawa nafsu)
33.    At-Tabdzir (berbuat sia-sia)
34.    At-Tanabuzu bil alqaab (membanggakan diri) dan lain sebagainya.[76]
Dengan adanya pembagian berbagai macam akhlak ini menunjukan betapa perhatiannya Islam terhadap permasalahan tingkah laku manusia, sehingga seolah-olah apa yang diajarkan dalam Islam hanya akhlak saja, sesuai dengan tujuan diutusnya Nabi Muhammad adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak umat manusia.
4.      Metode Pendidikan Akhlak
Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Demikian halnya dalam mendidik akhlak diperlukan metode yang tepat yang digunakan dalam rangka untuk mencapai tujuan, yaitu terbentuknya watak anak yang berakhlak karimah. Pentingnya metode ini digambarkan Allah dalam firman-Nya :


Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihad pada jalan-Nya. Supaya kamu mendapat keberuntungan”.( Q.S.Al-Maidah: 35 ) .[77]
Ayat tersebut menerangkan bahwa demi untuk mencapai tujuan keberuntungan harus mencari jalan, cara, metode sehingga apa yang diharapkan dapat terkabul dan mendapat ridho Allah SWT.
Metode-metode yang dapat digunakan dalam pendidikan akhlak antara lain, adalah :


a.       Metode Keteladanan
Akhlak adalah bentuk perilaku yang dapat diperoleh melalui pergaulan, pergaulan merupakan bentuk komunikasi manusia secara langsung, yang menyebabkan terjadinya saling mengambil contoh, meniru dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lain.
Sebagai guru,  yang kapasitasnya sebagai pendidik harus dapat memberikan contoh teladan (uswah hasanah), jika ingin anak didiknya memiliki akhlak yang baik, karena segala perilaku yang ada pada pendidik akan selalu direkam dan diperhatikan oleh anak didik, sehingga metode keteladanan ini merupakan metode yang trebaik dalam pendidikan akhlak, sebagaimana difirmankan Allah dalam al-Qur'an :


Artinya : ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (al-Akhzab : 21)[78]
Dalam metode keteladanan, juga dituntut untuk bersikap konsisten dan kontinyu dalam memberikan contoh perbuatan dan budi pekerti yang baik. Karena sekali saja, pendidik melakukan hal yang tidak baik, maka akan dapat mencoreng seluruh budi pekerti yang telah diteladankannya.[79]
 
b.      Metode Mujahadah dan Riyadhoh
Metode mujahadah dan riyadhoh ini merupakan metode praktek dengan melatih dan membiasakan anak didik untuk berbuat dan bertindak dengan sungguh-sungguh sesuai dengan yang diharapkan, seperti misal anak didik diarahkan agar memiliki sifat pemurah, maka diusahakan sesering mungkin anak didik diajak untuk seringkali bersedekah, sehingga lambat laun anak didik akan mudah untuk melakukan sedekah dan tidak merasa takut.
Anak didik yang dipraktekan dan dilatih untuk berbuat sesuatu, dan dibiasakan, akan terbentuklah sikap dan tabiat yang kuat dengan apa yang dilakukannya akhirnya tidak tergoyahkan lagi dan masuk menjadi bagian dari pribadinya.
c.       Metode Kisah dan Cerita
Dalam pendidikan Islam, kisah dan cerita mempunyai fungsi edukatif yang memiliki dampak psikologis yang cukup kuat terhadap anak didik. Kisah dan cerita akan dapat membekas pada diri seseorang apabila benar-benar dapat menyentuh hati nurani anak didik yang peka. Karena cerita atau kisah yang baik dapat merangsang, menggugah dan mendorong anak didik untuk bertindak sesuai dengan apa yang terkandung dalam isi cerita, sehingga anak didik akan melakukan apa yang sesuai dengan hatinya dan menyingkirkan apa yang tidak sesuai dengan dikehendaki, metode ini juga dikenal dengan metode historis.[80]
Metode ini juga digunakan al-Qur'an dalam mengarahkan manusia ke arah yang dikehendaki-Nya, al-Qur'an dalam mengemukakan kisah-kisah, seringkali dengan menonjolkan kelemahan dan kelebihan dari orang masa lalu, namun kisah tersebut juga disertai dengan digaris bawahi akibat dari kelemahan dan kelebihan tersebut.[81]Agar orang yang mendengarkan  tahu akan cerita itu dan dapat mengambil pelajaran dari isi kandungan cerita tersebut.
Sebagaimana firman Allah :




Artinya : ”Kami menceritakan kepadamu kisah kasih yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur'an ini kepadamu”.dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan-Nya) adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui”. (QS.Yusuf:3 )[82]
Dan juga :

Artinya : ”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.Yusuf : 111 )[83]
Ayat tersebut di atas, menjelaskan kepada kita bahwa dalam al-Qur'an banyak sekali kisah dan cerita yang dapat digunakan untuk mendidik anak dalam menanamkan akhlak yang baik, di samping cerita-cerita simbolik dan fiktif yang mengandung materi pendidikan yang baik.
d.      Metode Targhib dan Tahdzib
Metode targhib dan tahdzib adalah metode pendidikan akhlak dengan membuat anak senang dan takut. Untuk membuat senang ini adalah dengan memberikan penghargaan hadiah dan serupanya bagi anak didik yang melaksanakan perilaku baik, dan juga mengancam dan menghukum terhadap anak melakukan kesalahan atau berperilaku yang tidak baik.
Metode ini dapat dipraktekkan dengan membuat peraturan-peraturan dan tata tertib, yang berisi kewajiban dan larangan disertai aturan hukuman bagi yang melanggar. Peraturan dan tata tertib ini harus diterapkan kepada semua anak didik, atau kalau dalam keluarga, tentunya kepada seluruh anggota keluarga agar tidak ada diskriminasi antara satu dengan yang lainnya.
Selain keempat metode tersebut di atas, juga masih ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam pendidikan secara berkesinambungan dan terkait dengan metode-metode tersebut, di antaranya adalah metode pemberian nasehat dan dorongan, metode penilaian rasional, pengawasan dan lain sebagainya, kesemua metode tersebut adalah digunakan dalam rangka untuk mencapai tujuan pembentukan watak, pribadi yang karimah, sesuai dengan tatanan nilai-nilai agama Islam. 
C.     PENDIDIKAN AKHLAK DI PESANTREN
Masalah akhlak menjadi persoalan serius dalam kehidupan akhir-akhir ini, sering munculnya gejolak kerusuhan, perkelahian pelajar minuman keras, ganja dan sejenisnya adalah bukti bahwa masyarakat, terutama kalangan pelajar telah terkena persoalan moral yang sangat memprihatinkan.
Dunia pendidikan yang berhubungan erat dengan ini, adalah salah satu yang mendapat tantangan dengan merosotnya nilai-nilai moral, akhlak, dan budi pekerti ini, bukan tidak mungkin dunia pendidikan akan menjadi sasaran kesalahan. Walaupun sekiranya menurunnya nilai-nilai moral, akhlak dan budi pekerti memiliki banyak sebab dan latar belakang.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai spesialisasi dalam pendidikan agama, tentunya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam menanamkan nilai-nilai akhlak, karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki beberapa kelebihan bila dibanding dengan lembaga lain, kelebihan itu di antaranya adalah:
a.       Kemampuannya dalam menciptakan sebuah sikap yang universal dan merata, yang diikuti oleh semua warga pesantren, dan dilandasi oleh tata nilai yang khas, yaitu tata nilai yang berdiri di atas landasan pendekatan ukhrowi dan ditandai dengan ketundukkan ”mutlak” kepada ulama. Sikap hidup ini akan menyebabkan terlepas dari acuan-acuan struktural yang ada dalam susunan kehidupan masyarakat di luar lingkungan pesantren. Sepintas lalu, keterlepasan ini akan menyebabkan santri tidak dapat memahami tata pergaulan yang berkembang di luar pesantren, tetapi di satu sisi keterlepasan itu akan membuat santri mampu bersikap hidup sesuai dengan tata nilai yang ia tekuni di pesantren secara kuat, dan juga tidak menggantungkan diri kepada lembaga masyarakat manapun.
b.      Kemampuan dan ketahanan dalam memelihara sub kulturnya sendiri, cara hidup yang tampak berbeda sekali dengan cara hidup di luarnya, demikian pula ukuran-ukuran yang digunakan dalam menilai sesuatu juga tampak berbeda. pandangan hidup yang bersifat ukhrawi, dan dilandasi unsur keikhlasan sudah tentu menjadi alternatif cukup baik untuk mengatasi dan membentengi atas pandangan hidup yang bersifat duniawi dan materialistis di masyarakat umum. Lingkungan pergaulan yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan sosial yang umum, juga dapat dijadikan kaca pembanding bagi pergaulan yang kaku oleh ikatan-ikatan sosial di dalam masyarakat yang saling berbeda.[84]   
Dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pesantren ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah banyak mencetak kader pendidik masyarakat, pengembangan misi agama dan penetralisir budaya-budaya yang merusak. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketahanan keislaman masyarakat Indonesia selama 350 tahun dijajah dan diganggu akidahnya oleh Belanda dan kemudian dilanjutkan oleh Jepang. 
Selama penjajahan yang begitu panjang, pesantren sebagai basis pendidikan Islam dan akhlak, telah mampu menunjukkan peranannya dalam sejarah.
Di dunia pesantren, pendidikan akhlak diberikan secara komprehensif dan terpadu, pesantren memposisikan akhlak dalam posisi yang sangat tinggi dan penting, penggunaan kitab-kitab agama klasik dijadikan materi dalam pengajarannya dan juga metode pendidikan yang didukung kondisi lingkungan yang cukup kondusif untuk menanamkan nilai-nilai kepada santri.

1.      Kedudukan Akhlak di Pesantren
Akhlak di pesantren menempati posisi yang cukup tinggi, hal ini didasarkan kepada pandangan pesantren terhadap akhlak itu sendiri, ada tiga pandangan pesantren dalam menilai akhlak, yaitu : 1) akhlak sebagai amalan utama di banding yang lainnya; 2) akhlak sebagai media untuk menerima nur dan ilmu Allah; 3) akhlak sebagai sarana mencapai ilmu manfaat.[85]
a.       Akhlak sebagai amalan utama
Akhlak di dunia pesantren adalah dipandang sebagai sesuatu yang agung, karena pendidikan dan pengajaran di pesantren, seluruhnya diarahkan pada pencapaian perilaku yang karimah. Bila dipandang secara sepintas hanya berorientasi pada ke akheratan, akan tetapi justru mempunyai orientasi yang luas, karena semua ilmu yang dipelajari harus diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata di dunia ini, seperti contoh ilmu tauhid yang diajarkan di pesantren adalah ilmu yang  ”operasional” yang harus dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari yang tujuannya adalah memberi dasar pegangan keyakinan hidup supaya orang sadar dan mengetahui asal usul dan tujuan manusia hidup. Sikap tauhid ini harus dicerminkan dalam akhlak atau norma-notma tingkah laku serta budi pekerti dalam pergaulan sosial, begitu juga ilmu yang lain, ilmu fiqih, tafsir, hadits, banyak yang mengandung unsur-unsur materi pendidikan yang memiliki operasiona; tentang kehidupan duniawi. Hanya saja masih tercecer dalam ilmu-ilmu agama, belum mengalami proses diferensiasi dan spesifikasi dalam cabang-cabang ilmu seperti yang kita kenal dalam dunia modern.[86]
Pandangan yang menganggap akhlak adalah sesuatu hal yang agung ini dikarenakan adanya literatur yang diajarkan di pesantren tersebut menjelaskan tentang hal itu, seperti dalam kitab ta’lim al-Muta’limin disebutkan :


Artinya : ”Sebaik baik ilmu adalah ilmu tingkah laku dan sebaik-baik amal adalah menjaga tingkah laku, yakni akhlak (menjaga dari kesia-siaan dan kerusakan).”
Dengan adanya literatur yang menjelaskan sebagaimana di atas, akan mempengaruhi pola pikir dan cara pandang santri terhadap akhlak, yang tentunya akan dapat menjadikan pedoman dan semangat untuk mengaplikasikan apa yang didapatkan dari materi-materi akhlak dalam kehidupan keseharian.
b.      Akhlak di pandang sebagai media untuk menerima nur dan ilmu Allah.
Ada anggapan di lingkungan pesantren bahwa ilmu adalah nur dan nur Allah tidak akan bisa diterima kecuali oleh orang-orang yang suci, yaitu orang yang jauh dari perbuatan maksiat, hal ini didasarkan pada literatur kitab Tanwirul Qulub bahwa :



Artinya : ”Di antara pengaruh akibat maksiat yang dilakukan adalah penghalang dari tercapainya ilmu manfaat, karena ilmu pada dasarnya adalah nur (cahaya) yang dihujamkan Allah ke dalam hati, sedangkan maksiat justru mematikan nur tersebut.”
Sehingga untuk mendapatkan cahaya pengetahuan dari Tuhan dan demi untuk memiliki ilmu yang bermanfaat, santri harus memiliki akhlak yang baik dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat (tidak baik).
c.       Akhlak dipandang sebagai sarana untuk mencapai ilmu yang bermanfaat.
Yang disebut dengan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dapat memberikan kebaikan bagi orang yang mempelajarinya dan juga kepada orang lain.[89]Di sini, akhlak berperan penting dalam pencapaian ilmu yang bermanfaat, karena akhlak merupakan landasan utama bagi terbentuknya pribadi yang shaleh, setelah kesalehan diri telah terbentuk antara lain dengan mengendalikan diri dari perbuatan buruk (maksiat) maka ilmu yang bermanfaat akan diraihnya.   
2.      Materi Pendidikan Akhlak di Pesantren 
Dalam pembinaan akhlak di pesantren, diajarkan berbagai kitab-kitab yang berkaitan dengan materi-materi akhlak, baik secara langsung seperti kitab Ta’lim al-Muta’alim, Adab Alim wa al-Muta’alim, Akhlak wa al-Wajibat, Washaya, Ayyuh al-Walad dan lain-lain, dan kitab-kitab yang tidak secara langsung berkaitan dengan akhlak, dalam arti materi-materi akhlak tercecer dalam disiplin ilmu seperti fiqih, tafsir, hadits dan lain sebagainya.
Sebagian besar pesantren di pulau Jawa dalam pembinaan akhlak santri terutama akhlak selama dalam menuntut ilmu menggunakan literatur kitab seprti Ta’lim  al-Mutta’allim dan Adab Alim wa al-Muta’alim. Dalam kitab tersebut berisi dogma-dogma dan doktrin tentang perilaku seorang yang menuntut ilmu, baik yang berhubungan dengan pelajaran, terhadap dirinya sendiri, guru atau ustadz, dan sikap-sikap yang berkaitan dengan proses belajar mengajar dan lain sebagainya,[90]bahkan juga dijelaskan bagaimana akhlak yang harus dimiliki oleh seorang guru, baik terhadap dirinya dan santrinya.
Sebagai contoh akan penulis paparkan sedikit tentang isi materi dari pendidikan akhlak di pesantren berdasarkan literatur-litaratur yang ada di pesantren :
1.      Akhlak Santri terhadap dirinya.
Ada beberapa akhlak yang harus dimiliki santri dalam ia mencari ilmu, kaitannya dengan dirinya, antara lain adalah :
a.       Dalam mencari ilmu harus berniat ikhlas untuk mencapai ridho Allah, menghilangkan kebodohan, berjuang demi menegakkan Agama Islam.[91]
b.      Santri harus menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk seperti sombong, boros, kikir dan lain sebagainya serta senantiasa taqarrub kepada Allah,  untuk mendapatkan cahaya ilmu dan kemanfaatannya.[92]
c.       Dalam mencari ilmu harus berusaha semaksimal mungkin dan bersungguh-sungguh, agar cepat tercapai cita-citanya, hal itu harus didukung dengan sikap wira’i, tidak banyak tidur tidak banyak makan, dan qonaah dalam belajar.[93] Dan masih banyak akhlak yang harus dimiliki santri berkaitan dengan dirinya sendiri.
2.      Akhlak Santri kepada Ustadz
Ada beberapa akhlak yang karimah yaang harus dimiliki seorang santri kaitannya dengan hubungan dengan guru atau ustadz, antara lain adalah :
a.        Santri hendaknya mengikuti pemikiran dan nasehat-nasehatnya, serta senantiasa meminta ridhonya dalam setiap kegiatannya, menjunjung tinggi dan berkhidmat kepadanya.
b.       Memandang guru dengan penuh ketulusan dan keta’dziman, serta meyakini dalam diri ustadz terdapat derajat kesempurnaan, dan juga tidak memanggilnya kecuali disertai dengan sebutan ustadz atau sebutan lain yang mengagungkannya.
c.        Memperhatikan hak guru dan tidak melupakan kebaikan dan keutamaannya serta mendoakan untuk kebaikan ustadznya dan bergaul baik dengan sanak kerabatnya.
d.       Tidak berkunjung kecuali di tempat yang patut dan patut mendapatkan ijinnya, duduk dan bersikap sopan ketika berhadapan dengan ustadz, khususnya di saat kegiatan belajar mengajar.
e.        Berbicara dan menegurnya dengan baik, dan mendengarkan semua pelajaran dengan sungguh-sungguh, dan tidak menyela pembicaraan ustadz tanpa seijinnya.
f.        Membantu dan berbuat sebaik mungkin untuk keperluan ustadz-nya dan tidak berbuat sesuatu yang bisa merendahkan derajatnya.[94]
3.      Akhlak Santri terhadap Pelajaran
Di antara bentuk akhlak seorang santri terhadap pelajran di antaranya adalah :
a.       Hendaknya santri mengawali belajar dengan ilmu-ilmu yang penting yakni ilmu yang bersifat fardlu ain, dengan urutan ilmu dzat ketuhanan, ilmu sifat ketuhanan-Nya, fiqh dan ilmu hal, yang berhubungan dengan hati.
b.      Mengiringinya dengan mempelajari al-Qur'an dan berbagai cabang keilmuwannya, serta menghindarkan diri dari jebakan mempelajari perbedaan pendapat pada saat awal belajarnya.
c.       Mengujikan kebenaran keilmuwan dan hafalannya kepada ustadz atau orang yang dianggap mampu, sebelum memantapkan sebagai ilmu bagi dirinya.
d.      Dan masih banyak lagi sikap-sikap akhlak yang harus dimiliki santri terhadap pelaksanaanya.[95]
Di samping materi-materi di atas, di pondok pesantren juga diajarkan literatur-literatur yang sifatnya sebagai pendukung dari materi yang baku dalam kitab-kitab akhlak, seperti materi yang tercantum dalam kitab-kitab lain, karena memang segala literatur yang ada di pesantren adalah diarahkan untuk menanamkan nilai-nilai agama pada diri santri dan juga bersifat amaliah, dalam arti harus diamalkan dalam kehidupan ini.
3.      Metode Pendidikan Akhlak di Pesantren 
Pendidikan akhlak di pesantren, selain mengarahkan kepada santri agar memiliki pandangan bahwa akhlak itu penting dan dengan mengajarkan materi-materi akhlak melalui literatur-literatur yang ada di pesantren, juga didukung dengan adanya metode-metode yang digunakan pesantren dalam menanamkan nilai-nilai akhlak kepada santri, metode-metode tersebut antara lain, adalah : metode keteladanan, latihan dan pembiasaan, metode ibroh (mengambil pelajaran), pemberian nasehat, metode kedisiplinan, dan metode pujian dan hukuman (targhib wa tahdzib).[96]
1.      Metode Keteladanan
Dalam dunia pesantren pemberian contoh-contoh sangat mendapatkan perhatian, kyai dan ustadz senantiasa memberikan uswah atau teladan yang baik bagi santri, dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain. Karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang disampaikan, semakin konsisten seorang kyai atau ustadz menjaga tingkah lakunya, semakin didengar ajaran dan nasehatnya.
Dengan berbekal keteladanan kyai dan ustadz santri akan lebih bisa untuk mengembangkan sifat-sifat dan potensinya, karena dengan keteladanan itu santri mendapatkan dukungan secara psikologis.
 
2.      Metode Latihan dan Pembiasaan
Mendidik dengan metode latihan dan pembiasaan adalah mendidik dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap suatu norma kemudian membiasakan santri untuk melakukannya.[97]Metode ini  di pesantren, biasanya diterapkan pada hal-hal yang bersifat amaliah seperti sholat jama’ah, kesopanan terhadap kyai dan ustadz, pergaulan dengan sesama santri dan sejenisnya. Sehingga jangan dianggap asing bila kita menengok dunia pesantren dapat kita jumpai santri begitu rajin dalam berjamaah, begitu hormat dengan kyainya dan lain sebagainya, karena memang sudah dilatih dan dibiasakan dan dilatih secara terus menerus akhirnya tingkah laku tersebut menjadi tingkah laku yang melekat dalam diri santri dan bisa disebut sebagai akhlak.
3.      Mendidik Melalui Ibroh (mengambil pelajaran)
Metode pendidikan melalui ibroh adalah mendidik dengan cara membangkitkan kondisi psikis santri agar dapat merenungkan, memikirkan dan mengambil pelajaran dari peristiwa, dalam pesantren selain diajarkan materi-materi tentang akhlak juga di ajarkan cerita-cerita dari peristiwa-peristiwa yang telah lampau, baik itu fiktif maupun nyata, contohnya adalah dalam pesantren kita kenal dengan kitab Manaqib, Usfuriyah, dan kadang juga seorang guru juga menyelingi dengan cerita-cerita hikmah di dalam proses belajar mengajar.
4.      Mendidik Melalui Mauidhah (nasehat).
Rasyid Ridho dalam kitab tafsir al-Manar menjelaskan, yang dimaksud dengan mauidhah adalah :


                                 [98]
Artinya : ”Mauidhah adalah nasehat dan peringatan atas kebaikan dan kebenaran, dengan jalan apa saja yang dapat menyentuh hati dan membangkitkannya untuk mengamalkannya.”
Di dunia pesantren tidak diragukan lagi keberadaan adanya saling nasehat menasehati, kyai senantiasa menasehati santri, demikian juga antara santri dengan santri, biasanya dilakukan oleh santri yang sudah senior kepada yang masih baru, atau yunior.
Dalam melaksanakan mauidhah ini, harus memenuhi tiga unsur, yaitu : Pertama; Berupa uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dikerjakan. Kedua; Berupa motivasi untuk mendorong berbuat kebaikan. Ketiga; Berupa peringatan terhadap dosa dan bahaya yang bakal muncul dari mengerjakan larangan.[99]
5.      Metode Kedisiplinan
Penerapan metode kedisiplinan di pesantren adalah dalam bentuk hukuman dan sangsi bagi santri yang melanggar peraturan-peraturan pondok, atau lebih dikenal dengan istilah ta’zirat, biasanya dalam menegakkan hukuman ini pesantren menggunakan tahapan dan sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran, tahapan ini adalah :
a.       Penyadaran dengan diberi peringatan bagi santri yang melanggar peraturan yang pertama.
b.      Dihukum sesuai peraturan yang ada, bentuk hukumannya pun disesuaikan dengan besar kecilnya pelanggaran, seperti membersihkan kamar mandi, berjanji di depan umum, digundul dan lain-lainnya.
c.       Dikeluarkan dari pesantren atau dikembalikan kepada walinya, ini diterapkan kepada santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran dan tidak mengindahkan nasehat dan peringatan. 
6.      Metode Targhib wa Tahdzib
Metode targhib wa tahdzib adalah dua metode yang saling terkait, targhib adalah janji-janji agar seorang senang melakukan kebaikan, sedangkan tahdzib diartikan ancaman untuk menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar. Bentuk penggunaan metode ini, dalam pesantren biasanya digunakan untuk memberikan semangat untuk dalam belajar, terlebih dalam pelajaran yang dihafal. Seperti contoh untuk kenaikan kelas harus mencapai hafalan yang telah ditetapkan, bila tidak mencapai jumlah itu, maka dinyatakan tidak naik kelas dan lain sebagainya. Dan dalam penerapannya metode ini juga perlu dibarengi dengan metode lain seperti keteladanan, kedisiplinan, hadiah dan lainnya.
Selain apa yang sudah penulis jelaskan di atas mengenai pendidikan akhlak di  pesantren dalam menanamkan nilai-nilai moral,  ternyata juga didukung oleh kondisi lingkungan yang sangat baik dan kondusif untuk melaksanakan pembinaan perilaku secara komprehensif. Pesantren dengan sistem komplek akan lebih memudahkan dalam pengawasan dan juga akan dapat menghindarkan dan menjauhkan dari pengaruh buruk dari masyarakat sekitarnya. Inilah yang membedakan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain.
Dengan berbekal kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh pesantren diharapkan pesantren mampu mencetak manusia yang mampu menjawab tantangan zaman dan juga memiliki kepribadian yang utuh dan berakhlak karimah.


[1] Drs. H. Amal Fathullah Zarkasy, M.A., Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah ”dalam Adi Sasono… (et al.) Solusi Islam atas Problematika Umat : (Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah), Jakarta : Gema Risalah Press, 1998, hlm. 106
[2] Dr. Nurkholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Praktek Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997, hlm. 19-20
[3]  Drs. H. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A., op.cit., hlm.105-106
[4] Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994, hlm. 55
[5]Prof.H.M. Arifin, M. Ed., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta : Bumi Aksara, 1995, hlm. 240
[6]Zamaksyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta :  LP3S, 1982, hlm. 44
[7] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hove, 1993, hlm. 103
[8] Drs. Imam Bawani, M.A., Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya : Al-Ikhlas, 1993, hlm. 91-92
[9]Zamaksyari dhofir, op.cit., hlm.49
[10]Bakhtiar Efendy, ”Nilai-nilai Kaum Santri”  dalam Dawan Raharjo (ed), Pergulatan Dunia pesantren Membangun dari Bawah, Jakarata : LP3M, 1986. hlm. 37
[11] Drs. Imama Bawani, M.A., op.cit., hlm. 93
[12] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit., hlm.105
[13]Affandi Mochtar, ”Tradisi Kitab Kuning : Sebuah Observasi Umum”, dalam Marzuki Wahit, et.al. (penyunting), Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung : Pustaka Hidayah, 1999, hlm. 233  
[14]Zamaksyari Dhofier, op.cit., hlm. 50
[15] Drs. Imam Bawani, M.A., op.cit., hlm. 90
[16]Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, Yogyakarta : Lkis, 2001, hlm. 6-7
[17] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, op.cit., hlm. 100
[18] Drs.H. Amal Fathullah Zarkasyi, MA., op.cit, hlm. 106
[19] Dr. dr. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press, 1997, hlm. 70-71
[20] Ibid
[21] Ibid  
[22] Drs. H. Amal. Fatkhullah Zarkasyi, MA., op.cit, hlm. 110-111
[23] Ibid.
[24] Ibid
[25] Dr.dr. Wahjoetomo, op.cit., hlm. 77-78
[26] Ibid
[27] Dra. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana PT/IAIN, Dirjen Bimbaga Islam, 1986, hlm. 150.
[28] Drs. K.H.M. Arifin, M.Ed., Kapita Selekta Pendidikan (Umum dan Agama), Semarang: Toha Putra, 1991, hlm. 110-111
[29]Abdurrahman Wahid., Bungan Rampai Pesantren, Jakarta : Dharma Bakti, 1999, hlm. 147-148
[30]Zamakhsyari Dhofir, op.cit., hlm. 50-51
[31] Dr.dr. Wahjoetomo, op.cit., hlm. 83
[32] Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Jakarta : Rajawali, 1981, hlm. 19
[33] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, op.cit., hlm. 104
[34]Zamaksyari Dhofir, op.cit., hlm. 61-96
[35] Dr. Nurkholis Madjid, op.cit., hlm. 23-24
[36] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an Departemen Agama RI, 1985, hlm. 13
[37] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. II, Cet VIII, Jakarta : Balai Pustaka, 1996, hlm.204.
[38]Khurshid Ahmad, Principles Of Islamic Education, t.k.: Islamic Publication Limited,t.th., 1981, hlm. 415.
[39] Prof. H. M. Arifin, M.Ed., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1993, hlm. 12.
[40] Drs. A.D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : al-Maarif, 1987, hlm. 19.
[41] Syeh Muhammad al-Ghalayiny, Idhotu  al-Nasyi’in, Pekalongan : Raja Murah, t.th., hlm. 189.
[42] Drs. H. Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Bandung : Diponegoro, 1983, hlm.11
[43] Drs. Djasuri ”Pengajaran Akhlak” dalam Drs. Chabib Thoha, dkk., ( Tiem Perumus ),Metodologi Pengajaran Agama, Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo bekerjasama dengan pustaka Pelajar, 1999, hlm. 109-110.
[44] Prof. Dr. Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta : Bulan Bintang, 1991, hlm. 63.
[45] Prof. Dr. H. Rachmat Djatmiko, Sistem Etika Islam, Jakarta : Pustaka Paji Mas, 1992, hlm.27-28.
[46] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III, Beirut : Darul Fikr, 1979, hlm. 58.
[47] Drs. Zainuddin, dkk., Seluk-beluk Pendidikan dari al-Ghazali, Jakarta : Bumi Aksara, 1991, hlm.102.
[48]Elisabeth B. Hurlock, Child Development, Edisi VI, Tokyo: MC. GrowHill , 1978, hlm. 386.
[49] K. Bertens, Etika, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 4.
[50]Soeganda poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976, hlm. 98.
[51] Drs. Frans Mognis Suseno, Etika Jawa, Jakarta : Gramedia, 1985, hlm. 6.
[52] A.M. H. Hamzah Ya’kub, Op.Cit., hlm. 13.
[53] Ibid, hlm . 14.
[54] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1993, hlm. 592.
[55]Soeganda poerbakawatja, Op.Cit., hlm. 186.
[56] K. Bertens, Op.Cit., hlm. 7.
[57] Dr. Frans Magnis Suseno, Etika Dasar,Jakarta., Kanisius,1989, hlm.19.
[58] Drs. M. Said, Etik Masyarakat Indonesia, Jakarta : Pradya Paramita, 1976, hlm. 74.
[59] Prof. Dr. Rahmat Djatnika, Op.Cit., hlm. 26.
[60] Drs. Asmaran AS., M.A., Pengantar Studi Akhlak, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 9.
[61] Depag RI, Op.Cit., hlm.161
[62] Depag RI, Op.Cit., hlm. 670.
[63] Ibid., hlm.916
[64]Jalaluddin Abdurrahman As-Syuyuthi, Al-Jamius Shaghir, Bandung : Maktabah Dar Ihya Kutub al-Arobiyah, t.th, hlm. 111.
[65] Depag RI, Op.Cit., hlm. 960.
[66]Jalaluddin Abdurrahman As-Syuyuthi, Op.Cit, hlm. 103
[67] Depag RI, Op.Cit., hlm. 415.
[68] Ibid., hlm. 255
[69] Ibid., hlm. 951
[70] Drs. Djasuri, Op.Cit., hlm. 112 – 113.
[71] Ibid., hlm. 109 – 110 
           [72]Widodo Supriyono, “ Pendidikan Akhlak di Lingkungan Keluarga”, dalam  Jurnal Pendidikan Islami, Volume 9, No. 2, Semarang: Fak.Tarbiyah IAIN Walisongo, 2000, hlm. 152-153.
[73]Moh. Ardani, al-Qur'an dan Sufisme Mangkunagara IV (Study surat-surat piwulang,) Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995, hlm. 273-274. 
[74] Drs. Baruwanie Umarie, Materia Akhlak, t.tk; Ramadhani, t.th, hlm.43-56.
[75] Moh. Ardani, Op.Cit., hlm. 274.
[76] Drs. Barwanie Umarie, Op.Cit., hlm. 56-69.
           [77]Depag. RI., Op.Cit., hlm. 455.
[78] Depag RI, Op.Cit., hlm. 670.
[79] Khatib Ahmad Santhut, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual anak dalam Keluarga Muslim, (terj. Ibnu burdas), Jakarta : Mitra Pustaka, 1998, hlm. 85.
[80] Dr. Muhammad Fadhil al-Jamaly, Konsep Pendidikan Qur’ani, diterj Oleh Drs. Judi al-Falasani, M.A., Solo : Ramadhani, 1993, hlm. 132. 
[81] Dr.M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Bandung : Mizan, 1994, hlm .175.
[82] Depag RI, Op.Cit., hlm. 348.
[83] Depag RI, Op.Cit., hlm. 366.
[84]Abdurrahman Wahid, op.cit, hlm.74-75
[85] Tamyiz Burhanuddin, Akhlak di Pesantren Solusi bagi Kerusuhan Akhlak, Yogyakarta: ITTAQA Press, 2001, hlm. 42
[86] M. Dawan Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta : LP3S, 1985, hlm. 3 
[87] Syeikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alimin,Surabaya : Al-Hidayah, t.th., hlm.4
[88]Najmudin Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub, t.k.: Nur Asia, t.th., hlm. 404
[89] Tanyiz Burhanuddin, op.cit., hlm. 45
[90]Djunaidatul Munawaroh, Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren, Makalah Pasca Sarjana IAIN Syahid, Jakarta, 1999, hlm. 4 
[91]Al-Syeih al-Zarmuji, op.cit., hlm.10
[92] Tamyiz Burhanuddin, op.ccit., hlm. 107      
[93]Al-Syeih al-Zarmuji, op.cit., hlm. 20-23
[94]Al-Syeih Muhammad Hasyim Asyari, Adab al-Alim wa al-Mutaallim, Jombang, Maktabah Tsurats al-Islami, t.th., hlm.29-43
[95] Ibid., hlm.43-55
[96] Tamyiz Burhanuddin, op.cit., hlm. 54-55
[97] Ibid., hlm. 56
[98] Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar, Juz II, Beirut : Dar al-Ma’rifat, t.th. hlm. 404
[99] Tamyiz Burhanuddin, hlm. 57

Tiada ulasan:

Catat Ulasan