© Attention :
“ Demi Kenyamanan Pengunjung kami rekomendasikan menggunakan
Browser ChromeTerima Kasih . . . . .”

KARAKTERISTIK BERPIKIR ILMIAH

 I.        PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang dilengkapi Allah sarana berpikir. Dengan berpikir manusia dapat memenuhi kehidupannya dengan mudah. Namun sayang, kebanyakan mereka tidak menggunakan sarana yang teramat penting ini sebagaimana mestinya. Bahkan pada kenyataannya sebagian manusia hampir tidak pernah berpikir.
Sebenarnya, setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali ia sendiri tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak mampu diketahuinya, lambat-laun mulai terbuka di hadapannya. Semakin dalam ia berpikir, semakin bertambahlah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin untuk menghasilkan suatu ilmu.
Berpikir untuk mendapatkan ilmu diperlukan metode-metode  dan pola-pola tertentu. Karena itulah berpikir agar memperoleh ilmu tidak segampang yang kita kira, seperti melamun atau berangan-angan. Dan Dibutuhkan kesabaran, ketekunan maupun ketelitian.
   II.        PERMASALAHAN
Dari uraian masalah yang telah dijelaskan di atas kami menemukan  beberapa permasalahan yang dapat di pilah-pilah sebagai berikut :
1)    Apa hakikat berpikir?
2)    Apa hakikat ilmu?
3)    Bagaimana karakter berpikir  secara ilmiah?


  III.        PEMBAHASAN
1.    Hakikat Berpikir
Manusia pada hakikatnya memiliki kemampuan tahu atau yang disebut potensi berpengetahuan, namun kemampuan tahu bersifat statis. Untuk menghasilkan sebuah pengetahuan yang dinamis terdapat tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang. Yang pertama, terdapat rasa keinginan pada sesuatu. Keinginan inilah yang mendorong akal untuk mengetahui sesuatu.
Yang kedua adalah berpikir. Berpikir inilah yang menjadi sebuah alat agar mampu tahu. Berpikir berarti mengamati dengan sadar[1]. Jadi berpikir diartikan sebagai sebuah kegiatan akal yang disengaja agar mendapat suatu pengetahuan sehingga pengetahuan tersebut menjadi sebuah pengetahuan yang konkrit. Proses berpikir relatif singkat. Gerak pikiran sedemikian rupa sehingga tampak berlangsung sangat singkat. Setiap proses berpikir berakhir dengan pengambilan keputusan (kesimpulan). Hasil pemikiran ini disebut pengetahuan. Pengetahuan adalah hal yang diupayakan, bukan muncul dengan sendirinya. Hal ini jelas pada definisi pengetahuan yang telah diungkapkan oleh DR. M.J. Langveld, yakni  tahu atau mengetahui adalah mencamkan objek ke dalam jiwa.[2] Karena itu berpikir memliki tiga unsur, yaitu pengamatan, sasaran, dan kesadaran.
Berpikir disebut tepat, sehingga memiliki nilai apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut:[3]
1)    Alasan yang diajukan padat dan kuat.
2)    Kenyataan yang dikemukakan benar.
3)    Jalan yang dilewati tepat.
2.    Hakikat Ilmu
Manusia memiliki pengetahuan jika ia mau berpikir, berpikir mengenai sesuatu, sebab-sebab, dan asal muasalnya. Dengan demikian manusia tidak hanya mengerti melainkan juga mengerti seluk-beluk suatu objek, sehingga dia dapat mempertanggung jawabkan apa yang ia ketahui.
Demikian manusia memiliki pengetahuan, yakni pengertian yang disertai sebab-sebab, pengertian yang dipertanggung jawabkan dengan dasar-dasar. Akan tetapi pengetahuan belum dapat menjadi sebuah ilmu sebelum memenuhi beberapa tahap sebagai berikut:
1)    Diambil dari berbagai pengetahuan atau disebut dengan data.
2)    Dianalisis dan dicari unsur-unsur, sebab-akibatnya, dan dipastikan sifat umumnya.
3)    Kemudian disintesis kembali, sehingga menjadi sebuah pandangan yang kritis, menjadi satu kesatuan yang logis dan teratur.[4]
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan berbagai pengetahuan hasil dari penyelidikan pandangan yang logis, teratur, kritis, dan sistematis terhadap suatu objek.
3.    Karakter Berpikir Secara Ilmiah
Dalam koridor ilmu, objek pemikiran merupakan suatu masalah yang ingin diketahui oleh seseorang di mana masalah tersebut bersifat ilmiah.  Suatu masalah dikatakan bersifat ilmiah jika:
a.    Communicability, yaitu suatu masalah untuk dikomunikasikan.
b.    The Scientific Attitude (sikap ilmiah), meliputi:
1)    Curiosity, adanya rasa ingin tahu tentang bagaiman sesuatu itu ada, bagaimana sifatnya, fingsinya, dan bagaimana sesuatu dihubungkan dengan sesuatu yang lain.
2)    Speculativeness, seorang peneliti harus memiliki usaha dan hasrat untuk memecahkan masalah, melalui hipotesis-hipotesis yang diusulkan.
3)    Willingness to be objective, seorang peneliti harus memiliki hasrat dan usaha untuk bersikap dan bertindak objektif.
4)    Willingness to suspend judgement, seorang peneliti dituntut bertindak sabar dalam mengadakan observasi, dan bijaksana berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan karena apa yang ditemukan masih bersifat tentatif.
c.    The scientific metode, berarti masalah harus dapat diuji (testable)[5].
 IV.        KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan:
1     berpikir memliki tiga unsur, yaitu pengamatan, sasaran, dan kesadaran
2     ilmu adalah suatu kumpulan berbagai pengetahuan hasil dari penyelidikan pandangan yang logis, teratur, kritis, dan sistematis terhadap suatu objek.
3     Berpikir secara ilmiah atau berpikir mengenai objek yang bersifat ilmiah memiliki 3 karakter: Communicability, The Scientific Attitude (sikap ilmiah), The scientific metode.


  V.        DAFTAR PUSTAKA
  Mudlor Ahmad, Ilmu dan Keinginan Tahu (Epistemologi Dalam Filsafat), PT. Trigenda Karya, Bandung, 1994
  W. Poespropodjo, Logika Scientifika Pengantar Dialektika dan Ilmu, Pustaka Grafika, Bandung, 1999, Hal. 28
  Hamdani, Filsafat Sains, Pustaka Setia, Bandung, 2011


[1] Mudlor Ahmad, Ilmu dan Keinginan Tahu (Epistemologi Dalam Filsafat), PT. Trigenda Karya, Bandung, 1994, Hal. 34
[2] Ibid, Hal. 19
[3] Ibid,  Hal. 17
[4] W. Poespropodjo, Logika Scientifika Pengantar Dialektika dan Ilmu, Pustaka Grafika, Bandung, 1999, Hal. 28
[5] Hamdani, Filsafat Sains, Pustaka Setia, Bandung, 2011, Hal. 195

Tiada ulasan:

Catat Ulasan