© Attention :
“ Demi Kenyamanan Pengunjung kami rekomendasikan menggunakan
Browser ChromeTerima Kasih . . . . .”

PENGETAHUAN IBADAH MAHDHAH DAN PENGAMALANNYA

BAB II

PENGETAHUAN IBADAH MAHDHAH DAN PENGAMALANNYA


A.   Pengertian Pengetahuan Ibadah Mahdhah
Pengetahuan menurut bahasa artinya segala sesuatu yang diketahui.[1] Sedangkan ibadah mahdhah menurut istilah yaitu ibadah yang berhubungan langsung antara manusia dengan allah yang telah dipastikan atau ditentukan cara serta syarat-syarat oleh syariat dalam rangka pengabdian diri kepada Allah.[2] Yang di maksud dalam skripsi ini adalah persepsi tentang suatu obyek yang disebabkan oleh adanya rangsangan / stimulus yang mengenai alat indera, baik melalui penglihatan, pendengaran, peraba, ataupun perasa tentang ibadah mahdhah sehingga seseorang menjadi kenal, tahu, mengerti, sadar dan insyaf tentang ibadah mahdhah.
Di sini di dalam penelitian ini peneliti hanya membatasi pada shalat dan puasa, sebab macam-macam ibadah mahdhah banyak sekali.
B.   Dasar dan Tujuan Pengetahuan Ibadah Mahdhah
1.    Dasar Pengetahuan Ibadah Mahdhah
Kita sebagai umat Islam di wajibkan untuk menuntut ilmu, baik itu ilmu pengetahuan dunia maupun ilmu pengetahuan akhirat, sebab untuk meraih kebahagiaan dunia akhirat.
Demikian juga Allah akan mengangkat derajat bagi orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan, dalam beberapa derajat. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Mujadalah ayat 11 :
... يرفع الله الذين امنوامنكم والذين اوتواالعلم درجت ط
Artinya : “…………. Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu semua dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat.[3]

Adapun Hadist yang berkenaan keutamaan ilmu pengetahuan dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda berbunyi :

فضل العالم على العابدكفضل القمرليلة البدرعلى ساءرالكواكب

Artinya : “ Keutamaan orang yang berilmu di atas orang yang beriman itu seperti keutamaan bulan purnama di atas seluruh bintang-bintang lainnya.[4]
2.    Tujuan Pengetahuan Ibadah Mahdhah
Di samping manusia belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan maka ia juga berkewajiban untuk menyampaikan pelajaran dan petunjuk ke jalan yang baik kepada manusia yang lain, sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah surat At Taubah ayat 122 dan surat An Nahl ayat 125 yang berbunyi sebagai berikut :

.... ولينذرواقومهم اذارجعوااليهم لعلهم يحذرون


Artinya : “ …….. hendaklah mereka itu memberi peringatan kepada kaumnya (setelah belajar ilmu keagamaan yakni di waktu mereka telah kembali ke tempat kaumnya tadi. Barangkali kaumnya itu menjadi hati-hati karenanya.[5]
ادع الىسبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة
Artinya : “ Ajaklah mereka itu ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik”.[6]

Hadits yang menerangkan perihal di atas, sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam suatu Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi yang berbunyi sebagai berikut :
الدال على الخير كفاعله
Artinya : “ memberi petunjuk kepada kebaikan adalah sama dengan yang mengerjakannya (pahalanya)”.[7]

Dari ayat-ayat Al Qur’an dan hadits nabi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk bertauhid kepada Allah secara benar, untuk mengetahui dzat serta sifat-sifat-Nya, untuk mengetahui bagaimana cara beribadah yang sebenar-benarnya, juga untuk mengetahui bagaimana bermuamalat.
C.   Pengertian Pengamalan Ibadah Mahdhah
Pengamalan adalah “perbuatan mengamalkan, juga berarti pelaksanaan.”[8] Adapun yang dimaksud dengan mahdhah adalah “ibadah yang berhubungan langsung antara manusia dengan Allah yang telah dipastikan cara serta syarat-syaratnya oleh syariat dalam rangka pengabdian diri kepada Allah.”[9] dalam pemahaman ibadah di sini hanya dibatasi pada bidang shalat dan puasa.
Ibadah shalat dan puasa merupakan manifestasi awal dari keimanan seorang muslim, sehingga apabila seseorang telah mengerjakan shalat berarti telah menegakkan agama islam.
1.    Dasar dan tujuan pengamalan ibadah mahdhah
a)    Dasar pengamalan ibadah mahdhah
Pengamalan ilmu agama islam yang telah diyakini dalam hati, diucapkan dalam lisan serta diperbuat anggota badan itu sangat penting, Karena tanpa adanya pengamalan dalam kehidupan sehari-hari mustahil pengetahuan agama dapat meresap dalam diri pribadi. Dr Zakiah Darajat mengatakan : “ Syariat islam akan dihayati dan diamalkan bila diajarkan dan dididik melalui proses pendidikan.[10]
Allah SWT juga telah berfirman dalam Al Qur’an surat An-Nur ayat 55 sebagai berikut :
وعدالله الذين امنوا منكم وعملواالصلحات ليستخلفنهم فى الارض كمااستخلف الذين من قبلهم
Artinya :   “ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang beramal soleh bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa.”[11]

Dan diperkuat lagi oleh sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Dailami yang berbunyi sebagai berikut :
ليس الا يمان بالتمن ولا فى التحلى ولكن ماقرفى القلب وصدق العمل
Artinya : “ Bukanlah iman dengan berangan-angan dan berbicara, tetapi apa yang menetap dalam hati dan dibuktikan oleh amal.”[12]

b)    Tujuan pengamalan ibadah mahdhah
Pengamalan ibadah mahdhah bertujuan untuk memantapkan pengetahuan mahdhah yang telah dimiliki siswa sehingga ajaran agama islam benar-benar dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Siswa mempunyai akhlak yang mulia sesuai dengan ajaran agama islam. Lebih jauh lagi “ pembentukan moralitas yang tinggi adalah tujuan utama dari pendidikan islam.”.[13]
D.   Macam – Macam Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah atau ibadah khusus, meliputi “taharah, salat, puasa, dan haji”.[14] Telah ditentukan syariat cara dan syaratnya.
1.    Taharah
Secara etimologi taharah itu berarti “ bersih”.[15] Arti taharah secara istilah seperti yang dikemukakan oleh Hasbi Ash-shiddiqie :
Bersih dari hadast atau najis, dengan cara yang telah ditentukan oleh syariat, atau menghilangkan najis, berwudlu, mandi dan tayamum yang digunakan untuk menghilangkan hadas, hakikat taharah itu memakai air atau tanah atau salah satu dari keduanya menurut sifat yang disyariatkan buat menghilangkan najis dan hadas.[16]
Kedudukan thoharah dalam ibadah
Thoharah merupakan masalah yang sangat penting dalam agama dan merupakan pangkal pokok  dari ibadah yang menjadi penyongsong bagi manusia dalam menghubungkan diri dengan Tuhan[17].
Shalat tiada sah bila tidak dengan thaharah, hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw
لايقبل الله صلاة بغير طهور ( رواه مسلم )
Artinya : “Allah tidak menerima shalat yang tidak bersuci “ (H.R. Muslim)

Dalam hukum islam soal taharah dan seluk-beluknya termasuk ilmu dan amalan yang penting, karena syarat sahnya salat salah satunya adalah suci dari hadas dan suci pula badan dari najis. Di dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 222 Allah berfirman :
ان الله يحب التوابين ويحب المتطهرين
Artinya : “ …sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan ia mencintai orang-orang yang suci (bersih, baik dari kotoran jasmani maupun kotoran rohani.[18]

Taharah itu bersuci dari hadas dan bersuci dari najis.[19] Bersuci dari hadas itu meliputi mandi, tayamum dan wudu. Bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat. Bersuci dari najis caranya yaitu :
Untuk najis mugholazoh (tebal) seperti anjing cara mencucinya dibasuh tujuh kali, satu kali dari padanya hendaklah di campuri dengan tanah, sedangkan najis mukhaffafah (ringan) cukup mempercikkan air di atasnya, dan najis mutawasitoh (sedang) dengan cara menghilangkan zat, rasa, warna dan baunya.[20]
2.    Salat
Secara etimologi salat berarti “doa memohon kebajikan”.[21] Sedangkan arti menurut istilah syara’ salat itu
“ Menghadapkan jiwa / menghadirkan hajat kepada Allah dengan khusu’ dan khudu’ ikhlas dan yakin dengan beberapa pekerjaan dan perkataan yang telah ditentukan oleh syara’ (agama) dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.”
Ayat Al Qur’an yang mewajibkan shalat antara lain :
ياايهالذين امنوااركعواواسجدواواعبدواربكم وافعلواالخيرلعلكم تفلحون (الحج : ٧٧ )
Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu dan sembahlah olehmu akan Tuhanmu serta berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan. (QS. Al-haj : 77)
Salat wajib dalam sehari ada lima waktu, salat wajib lainnya yaitu salat Jum’at. Salat wajib dianjurkan (sunnah muakad) secara bersama-sama atau berjamaah.
Salat sunah meliputi :
a.    Salat hari raya Idul Fitri dan salat hari raya Idul Adha
b.    Salat sunah rawatib
c.    Salat tarawih pada bulan ramadhan
d.    Salat tahajud
e.    Salat istisqo
f.     Salat takhiyatul masjid dan sebagainya.[22]
Ibadah salat memerlukan syarat-syarat dan rukun syahnya salat. Syarat salat terdiri dari syarat wajib dan syarat syahnya salat. Syarat wajib salat fardu meliputi : 
a.    Islam
b.    Suci dari haid dan nifas
c.    Balig
d.    Berakal telah sampai dakwah
e.    Melihat dan mendengar dan dalam keadaan bangun.
Sedangkan syarat-syarat syahnya salat meliputi :
a.    Suci badan pakaian dan tempat dari najis
b.    Suci dari hadas besar dan kecil
c.    Menutup aurat bagi laki-laki antara pusar dan lutut dan bagi wanita seluruh badannya kecuali muka dan dua telapak tangan
d.    Mengetahui waktu salat
e.    Menghadap kiblat.[23]
Bagian – bagian yang termasuk rukun salat yaitu :
a.    Niat
b.    Takbiratulihram
c.    Berdiri bagi yang kuasa
d.    Membaca surat Fatihah setiap rekaat
e.    Ruku’ dan tumakninah
f.     I’tidal dengan tumakninah 
g.    Sujud dua kali dengan tumakninah
h.    Duduk antara dua sujud dengan tumakninah
i.     Duduk untuk tasyahud pertama
j.     Membaca tasyahud akhir
k.    Membaca sholawat atas nabi
l.     Mengucapkan salam
m.  Tertib artinya berturut-turut menurut peraturan yang telah ditentukan.[24]
Beberapa hal yang disunnahkan dalam mengerjakan salat ada dua sunnah : yaitu sunnah ab’ad dan sunnah hai’at.
1.    Sunnah ab’ad
Yaitu perkara yang sunnah, tetapi jika tertinggal karena kelupaan, harus diganti dengan sujud syahwi pada penghabisan atau akhir sholat.
Yang termasuk sunnah ab’ad ialah :
a.    Membaca tasyahhud awal
b.    Membaca salawat pada tasyahhud awal
c.    Membaca salawat atas keluarga nabi pada tasyahud akhir
d.    Membaca doa qunut pada sholat subuh dan sholat witir pada pertengahan hingga akhir bulan ramadhan
2.    Sunnah hai’at
Adapun perkara-perkara yang termasuk sunnat haiat antara lain :
a.    Mengangkat kedua belah tangan sampai sejajar dengan daun telinga, waktu takbirotul ihram, hendak ruku’, bangkit dari ruku’, dan waktu bangkit dari tasyahud awal.
b.    Berdekap tangan, telapak tangan yang kanan di atas pergelangan tangan kiri
c.    Membaca doa ifititah sehabis takbiratulihram
d.    Membaca ta’awwudz ketika hendak membaca fatihah
e.    Membaca basmalah ketika hendak membaca fatihah
f.     Membaca surat-surat Al qur’an pada dua rakaat permulaan sehabis membaca fatihah
g.    Membaca amin sesudah membaca fatihah
h.    Mengeraskan bacaan suara fatihah dan surat pada rakaat pertama dan kedua pada sholat maghrib, isya dan subuh, kecuali dia kalau menjadi makmum
i.     Membaca takbir
j.     Membaca tasbih ketika ruku’ dan sujud
k.    Membaca “Sami’allahu liman hamidah” dan membaca “ Robbanaa lakalhamdu” ketika I’tidal.[25]
Apabila seseorang dalam salat ketinggalan sunat ab’ad (tasyahud awal), kelebihan rakaat, ruku atau sujud sebab lupa atau ragu-ragu maka orang itu dapat melakukan sujud sahwi sebelum salam, makmum wajib mengikuti imam, dan bila imam tidak melaksanakan sujud sahwi makmum tidak boleh sujud sendiri. Bacaan sujud sama dengan sujud rukun.[26]
Untuk seseorang yang dalam perjalanan jauh seperti haji, silaturrahmi dan niaga diperbolehkan mengqasar salatnya khusus salat yang 4 rakaat di qasar jadi 2 rakaat yaitu salat Isya’, Dhuhur dan Asar.[27]
Islam juga memberi kemudahan dalam melakukan ibadah salat saat dalam perjalanan dengan di jama’, yaitu dua salat fardhu dikerjakan dalam satu waktu diantara dua waktu itu, misalnya salat dhuhur dan asar dikerjakan dalam satu waktu dhuhur disebut jama’ taqdim. Sebaliknya bila salat dhuhur dan asar dikerjakan dalam satu waktu asar disebut jama’ ta’khir.[28]
3.    Zakat
a.    Pengertian zakat
Zakat menurut lughot artinya suci dan subur. Menurut istilah syara’ ialah mengeluarkan sebagian harta benda atas perintah Allah, sebagai sodaqoh wajib kepada mereka yang telah ditetapkan menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum islam. [29]
b.    Hukum Zakat
Hukum mengeluarkan zakat wajib bagi tiap-tiap muslim yang mempunyai harta benda menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum islam. Orang yang mengingkari wajibnya zakat dihukum kafir. [30]
Zakat merupakan perintah Allah bagi setiap muslim. Zakat ialah mengeluarkan sebagian harta tertentu kepada yang berhak menerimanya dalam Al Qur’an surah At Taubah ayat 60 Allah berfirman :
انماالصدقت للفقراء والمسكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفى الرقاب والغارمين وفى سبيل الله وابن السبيل قلى فريضة من الله والله عليم حكيم
Artinya : “ Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”.[31]

c.    Macam Zakat
Zakat dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu “ Zakat maal dan zakat fitrah”. [32] zakat maal ialah zakat untuk harta benda yang sudah senisab dan sudah setahun, sedangkan zakat fitrah adalah zakat diri untuk mensucikan diri yang diberikan selama dan atau akhir bulan ramadhan. Zakat fitrah dianjurkan pemberiannya menjelang salat Idul Fitri sesudah salat Subuh.
Zakat maal diwajibkan untuk harta-harta seperti binatang ternak, emas, perak, biji makanan yang mengenyangi, buah-buahan dan harta perniagaan. Pada setiap harta benda emas dan perak zakatnya 2,5 %, 40 ekor kambing zakatnya 1 ekor, 30 sapi zakatnya 1 anak sapi umur 2 tahun, tanaman zakatnya 5 % kalau diairi dan 10 % kalau airnya tadah hujan.[33]
4.    Puasa
Puasa secara etimologi artinya “Menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang, secara istilah puasa itu artinya :
Menahan nafsu syahwatnya dan menceraikan nafsu-nafsu itu dari kebiasaanya, dan menyederhanakan kekerdilan (supaya bersiaplah jiwa untuk menuntut kebahagiaan dan kenikmatannya dan menerima keheningan batin yang membawa kesenjangan jiwa supaya patahlah keruncingan lapar dan keganasannya serta menginsafkan jiwa terhadap nasib peruntungan manusia yang lapar) dan buat mengekang anggota dari melepas kekangnya kepala hukum tabi’at yang membencanakan kelak.[34]
Perintah puasa tertera dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 183 yang berbunyi :
ياايهالذين امنواكتب عليكم الصيام كماكتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون.
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. [35]

Pembagian puasa menurut hukumnya ada dua kelompok yaitu “ puasa fardhu dan puasa sunnah (tatawu’)”.[36] Puasa fardhu atau puasa wajib ialah puasa yang dipandang durhaka bagi yang meninggalkannya, sedangkan puasa sunnah adalah puasa yang tidak difardukan yang tidak di hukum durhaka bagi yang meninggalkannya.
Puasa wajib pada bulan ramadhan selama 29 hari atau 30 hari berturut-turut. Puasa sunah meliputi “puasa 6 hari di bulan Syawal, puasa Arafah, puasa Senin Kamis dan puasa sebagian hari-hari bulan Sya’ban”.[37]
Syarat wajib syahnya puasa terdiri dari :
1.    Islam
2.    Balig
3.    Berakal, mampu kuat berpuasa
4.    Mumayyiz
5.    Suci dari hadas haid dan nifas serta dalam waktu yang diperbolehkan”.[38]
Perkara yang dapat membatalkan puasa :

1.    Makan, minum dengan sengaja
2.    Muntah dengan sengaja
3.    Bersetubuh
4.    Keluar darah haid dan nifas
5.    Gila, keluar mani dengan sengaja”.[39]
Bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan boleh berbuka atau tidak berpuasa, tetapi wajib qada pada hari – hari yang lain. Allah telah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 185 :
....... ومن كان مريضااوعلى سفرفعدة من ايام اخر
Artinya : “ …… dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari – hari yang lain ……….”.[40]

Begitu juga bagi orang-orang yang lemah boleh berbuka/tidak berpuasa tapi wajib membayar fidyah ¾ kg beras tiap hari kepada fakir miskin. Sesuai firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 184 :
.... وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين قلى فمن تطوع خيرا فهوخيرله
Artinya : “….. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah yaitu memberi makan kepada fakir miskin. Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu yang lebih baik baginya”.[41]

Sunnah – sunnah puasa dan hal-hal yang memakruhkannya :
1.    Sunnah – sunnah puasa
Di dalam puasa pada bulan ramadhan ada beberapa sunnah yaitu ;
a.    Makan sahur meskipun sedikit
b.    Mengakhirkan makan sahur sebelum terbit fajar ( sampai waktu imsak kira-kira sepuluh menit sebelum subuh )
c.    Menyegerakan berbuka apabila nyata-nyata telah masuk maghrib
d.    Membaca doa ketika berbuka
e.    Menjauhi dari ucapan-ucapan yang tidak senonoh
f.     Memperbanyak amalan kebajikan, bersedekah membaca Al Qur’an dan sebagainya
g.    Memperbanyak iktikaf di masjid [42]
Hal – hal yang memakruhkan puasa
Ada beberapa hal yang boleh dikerjakan pada waktu puasa bulan ramadhan tetapi makruh hukumnya yaitu :
a.    Berkumur – kumur yang bersangatan
b.    Mencoba rasa ( mencicipi ) makanan
c.    Berbekam, cacar dan suntik
d.    Bersiwak, bersikat gigi setelah tergelincir matahari
5.    Haji
Tentang pengertian haji ini dapat ditinjau melalui dua segi: yaitu segi bahasa dan istilah:
Menurut bahasa berarti menyengaja untuk mengunjungi. Sedangkan pengertian haji menurut istilah adalah menyengaja mengunjungi ka’bah (rumah suci) untuk melakukan beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat yang tertentu serta beberapa kewajiban nya dan mengerjakannya pada waktu tertentu [43]
Ibadah haji wajib bagi muslim yang mampu, satu kali dalam hidupnya, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 97 :
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا.........
Artinya : “ Allah mewajibkan haji ke rumah suci ka’bah atas semua manusia yang kuasa pergi ke sana. [44]


Syarat wajib haji meliputi :
1.    Islam
2.    Berakal
3.    Balig
4.    Merdeka
5.    Kuasa. [45]
Pengertian kuasa yang dimaksud mampu atau kuasa ialah
-          Cukup bekalnya untuk pulang pergi serta cukup pula nafkah yang ditinggalkan, dan jika berhutang segalanya hutangnya telah dibayar
-          Ada kendaraan bagi orang yang datang dari luar kota Mekkah sesuai dengan keperluannya dan aman.[46]
Rukun dan Wajib Haji
Rukun Haji ada enam perkara yaitu :
1.    Ihram yaitu berpakaian ihram, dan niat ihram dan haji
2.    Wukuf, di arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah ; yakni hadirnya seseorang yang berihram untuk haji, sesudah tergelincir matahari yaitu pada hari yang ke sembilan Dzulhijjah
3.    Towaf, yaitu towaf untuk haji (towaf ifadoh)
4.    Sa’I yaitu lari-lari kecil antara sofa dan marwah tuju kali
5.    Tahallul artinya mencukur atau menggunting rambut sedikitnya tiga helai untuk kepentingan ihram
6.    Tertib yaitu berurutan [47]
Wajib Haji
Perkataan wajib dan rukun biasanya sama artinya, tetapi dalam urusan haji berbeda :
1.     Rukun yaitu sesuatu perbuatan apabila tidak dilakukan menyebabkan tidak sah hajinya perbuatan itu tidak boleh diganti dengan dam
2.     Wajib yaitu sesuatu yang perlu dikerjakan, tetapi sahnya haji itu tidak tergantung atasnya karena boleh di ganti dengan dam (denda), yaitu menyembelih binatang.[48]
Kewajiban Haji
Beberapa kewajiban haji yang harus dilakukan :
1.    Ihram dari miqad, yaitu memakai pakaian ihram (tidak berjahit), di mulai dari tempat-tempat yang sudah ditentukan, terus menerus sampai selesainya ibadah haji
2.    Bermalam di Muzdalifah sesudah wukuf, pada malam tanggal 10 Dzulhijjah. Bermalam di tempat itu sesudah tengah malam walaupun sebentar.
3.    Bermalam di Mina selama dua atau tiga malam, pada hari tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah )
4.    Melempar jumroh aqobah 7 kali dengan batu, pada tanggal 10 Dzulhijjah. Waktu melempar jumroh itu dilakukan setelah lewat tengah malam 9 Dzulhijjah dan setelah mengerjakan wukuf.
5.    Melempar jumroh ketiga-tiganya, yaitu jumroh ula, wustho, dan aqobah pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah dan melemparkannya tuju kali tiap-tiap jumroh. Waktu melempar jumroh di mulai sejak tergelincir matahari hingga terbenamnya sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Pelaksanaannya di mulai dari jumroh ula, wustho dan aqobah.
6.    Meninggalkan segala yang diharamkan karena ihram
Sunnah Haji meliputi :
1.    Ifrad yaitu mendahulukn urusan haji terlebih dahulu baru mengerjakan atas umrah
2.    Membaca talbiyah sebagai berikut
لبيك اللهم لبيك, لا شريك لك لبيك, ان الحمدوالنعمة لك, والملك لا شريك لك.
Artinya : Aku menyambut panggilanMu, Aku menyambut panggilanMu, tiada sekutu bagimu aku menyambut panggilanMu, segala puji dan segala nikmat bagiMu, juga sekalian kekuasaan. Tiada sekutu bagiMu.

3.    Thawaf Qudum, yaitu thawaf yang dilakukan ketika permulaan datang di tanah haram. Thawaf ini dikerjakan oleh seorang yang mengerjakan haji ketika di Mekkah sebelum wukuf di Arafah.
4.    Shalat sunnah ihram dua rakaat sesudah selesai wukuf, lebih utama dikerjakan di belakang makam Ibrahim.
5.    Bermalam di Mina pada malam 10 Dzulhijjah
6.    Thawaf wada’ yakni thawaf yang dikerjakan setelah selesai ibadah haji untuk memberi selamat tinggal bagi mereka yang keluar dari Mekkah
7.    Berpakaian ihram dan serba putih
8.    Berhenti di masjid Haram pada tanggal 10 Dzulhijjah
E.   Hubungan Antara Pengetahuan Ibadah Mahdhah Dengan Pengamalannya
Pengamalan itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses untuk memperoleh pengetahuan. Sebagai syarat psikologi pengamalan merupakan proses lanjutannya yang telah di dapat seseorang. Oleh karena itu pengamalan tidak akan terjadi kalau tidak ada pengetahuan.
Seseorang yang telah memiliki pengetahuan ibadah mahdhah akan timbul reaksi untuk mengamalkannya, tetapi itu tergantung pada tiga faktor yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan terhadap pengetahuan yang diperolehnya itu.[49] Tanpa adanya tiga faktor itu maka pengetahuan tidak akan diamalkan dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari.
Usaha untuk mewujudkan tiga faktor menjadi media dari pengetahuan dilakukan dengan berbagai cara melalui proses interaksi antar manusia yaitu : “ Imitasi, sugesti, identifikasi, simpati, [50] dan sosialisasi.[51]
Imitasi adalah proses seseorang mengikuti pandangan, sikap, ide, tingkah laku dan adat istiadat orang lain. Sementara sugesti ialah sikap seorang menerima suatu cara penglihatan atau tingkah laku dari orang lain tanpa kritik lebih dulu. Sugesti itu timbul karena otoritas lalu mayoritas.[52]
Sugesti otoritas terjadi di mana seseorang cenderung menerima pandangan atau sikap dan tingkah laku tertentu dari orang-orang yang dianggap ahli atau orang-orang yang dianggap mempunyai prestise tinggi, misalnya guru teladan di sekolah, orang tua yang dihormati anak-anaknya. Sedangkan sugesti mayoritas timbul karena suatu pendapat dan tingkah laku ini dilakukan oleh orang banyak.
Faktor identifikasi adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi seperti orang lain tanpa disadari lebih dulu. Biasanya hal ini terjadi karena rasa kagum pada orang yang diidentifikasikan.
Simpati adalah rasa tertarik seseorang kepada orang lain dengan diiringi kesadaran dalam proses tertarik tersebut. Pada identifikasi dorongan utamanya ingin mengikuti jejak, mencontoh dan belajar tetapi pada simpati dorongan utamanya ialah ingin mengerti dan bekerja sama dengan orang yang menjadi sasaran simpatinya.[53]Sosialisasi ialah suatu proses peralihan nilai-nilai sikap dan tingkah laku individu yang satu kepada yang lain.
Proses –proses tersebut kalau dihubungkan dengan pengetahuan ibadah mahdhah supaya dapat diamalkan perlu usaha sosialisasi, imitasi, sugesti dan identifikasi sehingga menimbulkan perhatian, pengertian dan penerimaan. Usaha itu dapat dilakukan melalui penerangan, penyukuhan, pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh tokoh agama, guru, orang tua dan anggota masyarakat secara umum.
Semakin tinggi frekuensi dan intensitas sosialisasi, sugesti, imitasi, dan identifikasi siswa mengenai informasi pengetahuan ibadah mahdhah maka semakin tinggi pula tingkat pengamalan ibadah mahdhahnya.



[1] Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1995, hal. 991
                [2] Prof. Zakiah Darajat, Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hal. 30  
            [3] Al Qur’an Surat al Mujadalah Ayat 11, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya” Departemen Agama,  2000, hlm. 910  
            [4] Ihya ‘Ulumuddin, CV Diponegoro, Bandung, 1975, hlm 17
            [5] Al Qur’an Surat At Taubah Ayat 122, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya” Departemen Agama, 2000, hlm.  302
            [6]  Al Qur’an Surat An Nahl Ayat 125, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya” Departemen Agama, 2000, hlm.  421
            [7] Ihya’ UlumuddinOp. Cit, hlm. 22
            [8] W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hlm 224
            [9] Prof. Dr. Zakiah Darajat, Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 30
            [10] Prof. Dr. Zakiah Darajat, Pendidikan Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 39
                [11]  Al Qur’an Surat An Nuur Ayat 55, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya” Departemen Agama, 2000, hlm.  553.
            [12] Imam Jamaluddin Abdul Rahman Abi Bakar as Syuyuthi, al Jamius Shogir, Darul Ihyail Kutub al Arabiyah Indonesia, hlm. 272
            [13] Dr. Athiyah Al Abrosyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 10
            [14] Drs. Syarifuddin Anshori, M.A, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Islam dan Umatnya, Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 27
            [15] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqie, Kuliah Ibadah, Bulan Bintang, Jakarta, 1954, hlm. 87
            [16] Ibid, hlm. 88
[17] H. Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, CV. Toha Putra, Semarang, 1978, hlm.46
            [18] Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 222, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya” Departemen Agama, 2000, hlm.54
[19] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, At-Tahiriyah, Jakarta, 1976, hlm. 29
[20] Ibid, hlm. 36-37
            [21] Prof. Dr. T.M. Asbi Ash-Siddiqie, Al Islam, jilid II, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 60
            [22] Ibid, hlm. 133-153
            [23] Ibid, hlm. 74-79
            [24] Drs. H. Moh. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, CV Toha Putra Semarang, 1978, hlm. 85-91
[25] Drs. H. Moh. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Ibid, hlm. 116-127
            [26] Sulaiman Rasyid, Op. Cit, hlm. 105-107
            [27] Ibid, hlm. 119
            [28] Sidi Gazalba, Op. Cit, hlm. 133
                [29] Drs. H. Moh. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Op. Cit, hlm. 346
                [30] Ibid, hal. 347
                [31] Al Qur’an Surat At Taubah Ayat 60, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya” Departemen Agama, 2000, hlm. 288
            [32] Sidi Gazalba, Op. Cit, hlm. 133
[33] Ibid
            [34] Prof. Hasbi Ash-Siddiqie, Op. Cit, hlm. 143-149
[35] Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 183, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya” Departemen Agama, 2000, hlm.44  
            [36] Prof. Dr. Hasbi Ash-Siddiqie, Op. Cit, hlm. 190-191
            [37] Drs. Nor Maddawam, Op. Cit, hlm. 151
            [38] Sulaiman Rasyid, Op. Cit, hlm. 45
            [39] Ibid, hlm. 225-227
                [40] Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 185, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya” Departemen Agama, 2000, hlm.45  
                [41] Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 184, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya” Departemen Agama, 2000, hlm.44  
                [42]  Drs. H. Moh. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Loc Cit. hlm330-334
            [43] Prof. R.H.A. Soenaryo, S.H. dkk, Op. Cit, hlm. 92
                [44] Al Qur’an Surat Al Imron Ayat 97, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya” Departemen Agama, 2000, hlm.92  
[45]  Drs. H. Moh. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Loc. Cit, hlm. 375
[46]  Drs. H. Moh. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap Ibid
                [47] Ibid hlm. 378
                [48] Ibid 
            [49] Mar’at Op. Cit, hlm. 30
            [50] W.A. Garungan, Psikologi Sosial, Presco, Bandung, 1983, hlm. 62-67
            [51] Mar’at, Op. Cit, hlm. 15
            [52] W.A. Garungan, Op. Cit, hlm. 69-70
            [53] Ibid, hlm. 74

Tiada ulasan:

Catat Ulasan