© Attention :
“ Demi Kenyamanan Pengunjung kami rekomendasikan menggunakan
Browser ChromeTerima Kasih . . . . .”

MAKALAH MANUSIA MENURUT PANDANGAN IBNU KHALDUN



A.    BIOGRAFI IBNU KHALDUN

Mengkaji pemikiran seseorang tidak hanya berusaha untuk mengetahui gagasan-gagasan atau ide-ide yang dilontarkan, tetapi juga berusaha untuk mengetahui biografi kehidupannya. Karena, bagaimanapun juga biografi seseorang akan sangat membantu untuk memahami khazanah, ruang lingkup, dan pembentukan pemikirannya. Maka dalam skripsi ini penulis berupaya untuk memaparkan biografi kehidupan Ibnu Khaldun, dengan harapan mampu mengintegrasikan pemikirannya tentang konsepsi manusia. Sehingga mampu menghasilkan suatu analisis dan kesimpulan yang komprehensif.


1.   Latar Belakang Keluarga

Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada 1 Ramadlan 732 H. atau bertepatan 27 Mei 1332 M. Nama lengkapnya adalah Abu Zaid Abdu al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun Waliu al-Din at-Tunisi.[1] Dalam tulisan lain disebutkan, Wali ad-Din Abu Zaid Abd al-Rahman bin Muhammad Ibnu Khaldun al-Hadrami al-Ishbili.[2]
Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian berimigrasi ke Sevilla (Spanyol) pada abad ke-18, setelah semenanjung tersebut dikuasai oleh Arab Muslim. Keluarga yang dikenal pro-Umayyah ini selama berabad-abad menduduki posisi tinggi dalam politik di Spanyol, sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum Sevilla jatuh ke tangan penguasa Kristen pada 1248. Setelah itu mereka menetap di Tunisia. Di kota ini mereka dihormati pihak istana, diberi tanah milik Dinasti Hafsiah.
Masa kecil dan awal masa mudanya tidak diketahui secara rinci. Namun sebagai bagian dari keluarga elite, Ibnu Khaldun telah aktif dalam kegiatan intelektual di kota kelahirannya, di samping mengikuti politik dari dekat. Kakeknya pernah menjabat Menteri Keuangan Tunisia. Sedangkan ayahnya adalah seorang administrator dan perwira militer. Tapi kemudian mengundurkan diri agar dapat berkonsentrasi pada ilmu hukum, teologi, dan sastra sampai ia wafat karena penyakit menular yang dikenal dengan the black death pada 1349, pada saat Ibnu Khaldun berusia 17 tahun.[3]

2.   Ibnu Khaldun dan Karir Politik

Karir politik Ibnu Khaldun dimulai dalam lingkungan yang kacau. Kesulitan-kesulitan baru saja timbul di Tunisia akibat peperangan antara banu Hafs dan Banu Mar’in. Di sampimg itu ia baru saja kehilangan ayah, ibu, sekaligus sejumlah pelindungnya. Pada saat-saat pahit inilah ia mulai menjadi pegawai Sultan Banu Hafs, Abu Muhammad Ibn Tafrakin, sebagai sekretaris “pemberi paraf”, menggantikan Ibnu Umar yang diturunkan karena menuntut kenaikan gaji. Ketika itu ia berusia 20 tahun.
Pada gilirannya, Ibnu Khaldun kemudian meningalkan jabatannya setelah bekerja selama 6 bulan, ketika Ibn Tafrakin ditaklukan oleh Abu Zaid, Penguasa Konstatinopel. Ia kemudian bekerja sebagai sekretaris, mengurus surat menyurat pada Dinasti Rival, Sultan Abu Inan. Ibnu Khaldun mengaku menerima jabatan tersebut dengan setengah hati, sebab ia menganggap pekerjaannya sebagai kerja rendahan, dan tidak seorang pun leluhurnya melakukan pekerjaan ini. Meskipun ia mengaku mendapat penghargaan tinggi dari sultan, namun hasratnya untuk menjadi orang besar dan disegani, memaksanya untuk terjun ke dunia politik praktis dan bekerjasama dengan pihak lain untuk menggulingkan sultan.[4] Ia membantu Amir Abdullah Muhammad memperoleh kembali kekuasaannya, dengan syarat kalau usahanya berhasil ia diangkat sebagai perdana menteri. Namun Abu Inan mengetahui persekongkolan tersebut dan segera memerintahkan untuk menumpasnya. Ibnu Khaldun ditangkap dan dipenjara selama 2 tahun. Selama dipenjara inilah kabarnya ia merenungkan dan mempersiapakan Muqaddimah.[5]
Keluar dari penjara, Ibnu Khlaldun mendukung Abu Salim yang pada tahun 1359 menjadi penguasa Fez (Maroko) dan mengangkat Ibnu Khaldun sebagai sekretaris negara dan penasehatnya. Setelah Abu Salim meninggal, dan karena intrik-intrik pengadilan, Ibnu Khaldun meninggalkan Maroko. Pada tahun 1362 ia bergabung dengan pemerintahan Mohammad V dari Granada. Mengingat bantuan Ibnu Khaldun yang begitu besar, Mohammad V kemudian memberikan pelayanan yang sangat baik kepadanya. Ia mengutus Ibnu Khaldun sebagai duta besar menemui Pedro, si kejam dari Castila pada tahun 1364 untuk menandatangani perjanjian damai di antara dua negara. Penguasa Kristen bukan hanya menghormati Ibnu Khaldun, tetapi juga berusaha menggaetnya lewat tawaran manis dengan membuka kembali perkebunan keluarga Khaldun di Sevilla, namun Ibnu Khaldun menolak.
Setelah Pemerintahan Mohammad V ditaklukan oleh Abul Abbas, Ibnu Khaldun merasa pemerintah tidak mempercayainya dan memutuskan untuk berangkat ke Basra.[6] Di sana ia dipanggil oleh Amir Abu Hamu di Tlemen dan ditawari menjabat perdana menteri. Ibnu Khaldun menolak tawaran tersebut dan mengusulkan abangnya, Yahya sebagai penggantinya. Namun demikian Ibnu Khaldun tetap membantu pemerintahannya. Ia kemudian ditugaskan dalam berbagai misi diplomasi untuk mencari pengakuan dan dukungan dari suku-suku yang dianggap memiliki pengaruh besar untuk melawan Abul Abbas.
Bagian kehidupannya ini berlangsung selama delapan tahun. Pengaruhnya yang besar terhadap  suku-suku dan keberhasilannya menjadi negosiatormembuat penguasa Basra merasa tersaingi dan akhirnya merencanakan perbuatan yang tidak terpuji. Akhirnya Ibnu Khaldun meninggalkan Basra kerena tahu rencana tersebut. Ia kemudian istirahat dari dunia politik dan menetap di benteng kecil (pesanggrahan) Qal’at Ibn Salamah di daerah Banu Tujin selama empat tahun. Di sinilah ia memfokuskan diri pada karya Muqaddimahnya.[7]
Pada akhir empat tahun masa tenangnya (1378), ia terusik kembali untuk kembali pergi ke Tunisia. Ia mengatakan bahwa ia dipanggil oleh raja yang lebih sempurna dalam ilmu-ilmu sejarah.  Di Tunisa ia melanjutkan penulisan buku sejarahnya, terutama sejarah orang-orang Barbar. Tetapi kehidupan politik terus saja tegang di Maghribi Timur. Akhirnya ia meninggalkan Tunisia pada tahun 1382 menuju Aleksandria. Selanjutnya ia memutuskan untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Namun sebelumnya ia mampir di Kairo pada tahun 1383.
Di Kairo, Ibnu Khaldun meninggalkan karir politiknya dan mengambil jalur pendidikan. Ia mengajar di Halaqah Masjid, tempat para pelajar menuntut ilmu. Mereka sangat antusias dan terkesan dengan penjelasan Ibnu Khladun mengenai fenomena sosial.[8]
Sekembali dari Mekah ia kembali ke Kairo dan diangkat sebagai hakim. Ia menjadi seorang hakim yang jujur dan tulus. Namun kejujuran dan ketulusan yang ditunjukkannya dalam mengambil keputusan  ternyata membuatnya dimusuhi. Akhirnya ia meletakkan jabatan ini, setelah mendapat musibah yang sangat menyedihkan. Keluarganya meninggal dunia akibat kapal yang ditumpangi karam di pesisir Tripoli pada tahun 1384, dalam perjalanan untuk menemuinya.
Meskipun penderitaan dan kemalangan mewarnai kehidupan politiknya, namun ia tidak meninggalkan suka duka kehidupan politiknya tersebut. Bahkan di hari-hari tuanya, ia terlibat dalam peristiwa besar sejarah, yaitu ketika peristiwa penyerangan Timur Lenk (Tamerlane) dari Mongol terhadap Syiria dan Damaskus pada tahun 1400. Ia kembali sukses menjadi negosiator untuk meredam kekejaman Timurlank yang mau membunuh Sultan Faraj dari Mesir dan dirinya. Bahkan karena terkesan dengan sikap Ibnu Khaldun yang baik, kewibawaan dan kedalaman pengetahuannya, Timur Lenk meminta dirinya untuk bekerja padanya. Namun beliau menolak secara halus dan ia kembali lagi ke Kairo, memilih menjabat sebagai hakim untuk yang keenam kalinya, pada awal Maret 1406 hingga akhir hayatnya pada 16 Maret 1406 M/26 Ramadlan 808 H.
Demikian sekilas perjalanan dan kehidupan politik Ibnu Khaldun. Sebagai orang yang berkecimpung langsung dalam bidang politik, ia berhasil menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis dalam pemerintahan di beberapa dinasti Islam baik sewaktu ia berada di Afrika maupun di Spanyol. Kepintarannya dalam bidang diplomasi membuat dirinya dikagumi bukan hanya oleh rekan-rekan seagama tapi juga lawan politiknya dan kalangan non muslim.

3.   Pendidikan dan Karya-karyanya

Pengaruh yang paling kuat pada masa muda Ibnu Khaldun bukan pengaruh seorang teolog, sufi, maupun yuris, tetapi pengaruh seorang pakar logika, yang berarti juga seorang rasionalis. Ilmuwan yang paling kuat mempengaruhinya adalah filosof al-Abbeli, yang ia akui dan kagumi dengan cara menyebutnya sebagai “guru besar ilmu-ilmu yang berdasarkan pada akal”.[9]
Ibnu Khaldun kecil adalah termasuk anak yang cerdas dan memiliki minat belajar yang tinggi terhadap semua ilmu pengetahuan. Saat usianya baru sembilan tahun, ia sudah dapat menghafal al-Qur’an. Setelah hafal al-Qur’an ia kemudian mendalami ilmu leksikografi, tata bahasa dan sintaksis, ilmu jarak dan syair, etimologi dan sifat-sifat relatif kalkulus serta ilmu hitung. Pada usia empat belas tahun, ia mulai belajar astronomi, astrologi, perdukunan dengan tanpa landasan yang kuat, geometri euklides, amalgeste menurut berbagai metode yang berbeda dari guru-guru aliran Basrah dan Yunani modern, India, Yunani Kuno dan Babilonia. Sejak usia empat belas sampai sembilan belas tahun ia belajar fiqh, hadits dan al-Qur’an. Pada usia 32 tahun, karena pendidikannya terus berlangsung, ia belajar bahasa-bahasa, di mana tiga kitab wahyu, yaitu Pentateuk, syair Mazmur, dan Injil ditulis. Ia juga belajar logika, kedokteran, matematika yang sangat tinggi, ekonomi, politik dan akhirnya ilmu ghaib.[10]
Ibnu Khaldun memperoleh ilmu pengetahuan dan pengalaman dari sejumlah gurunya antara lain Muhammad bin Sa’ad bin Burral al-Anshari, Muhammad bin al-Arabi al-Hushyari Muhammad bin Abdil Muhaimin al-Hadlrami, seorang Imam Muhaddis dan ahli Nahwu di Maghribi. Ibnu Khaldun belajar Hadis, Musthalah Hadis, biografi dan ilmu bahasa padanya. Kemudian Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abili, ia mempelajari ilmu-ilmu logika, metafisika, ilmu-ilmu matematika, fisika, dan falak.[11]
Di antara guru-gurunya dua orang yang sangat berpengaruh terhadap pembentukannya dalam bidang keilmuan syari’at, bahasa dan filsafat, adalah Muhammad bin Abdillah Muhaimin bin Abdil Muhaimin al-Hadramy, seorang imam muhaditsin dan ahli nahwu di Maghribi. Kemudian Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abily dalam bidang ilmu filsafat, hukum, logika, metafisika, fisika, falak dan musik.[12]
Dari sekian banyak gurunya, tempat menimba ilmu pengetahuan serta begitu banyak buku yang sudah dipelajarinya, maka jelas bahwa ia adalah seorang pecinta berbagai ilmu pengetahuan, sehingga ia mendapat tempat di kalangan penguasa dan selalu mendapat tempat yang cukup strategis.
Dalam dunia pendidikan, Ibnu Khaldun memiliki peranan yang besar. Ia pernah memberikan ceramah dan mengajar di Universitas Qashabah. Kemudian ketika singgah di Mesir pada tahun 784 H, ia diangkat menjadi guru Madrasah al-Qhomhiyyah yang dibangun Sultan Salahuddin al-Ayubi, penganut madhab Maliki.[13] Tahun 788 H, Ibnu Khaldun diangkat menjadi guru besar Fiqh Malikiah di perguruan al-Zahiriah al-Barquqiah. Kemudian pada bulan Muharram tahun 791 H, Ibnu Khaldun diangkat sebagai guru besar Hadis di Perguruan Sharghatmusy.[14]
Setelah Ia menunaikan ibadah haji yang sempat tertunda beberapa tahun, ia menduduki jabatan sebagai Kursiyyul Hadits, disamping diangkat sebagai Presiden Institut Baybars di Mesir.[15] .
Ibnu Khaldun memang jenius, terlihat dari ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Adapun jasa-jasa beliau antara lain :
1)     Pembina ilmu ijtima’ dan sosiologi
2)     Pemuka dan pembaru ilmu sejarah dan historigrafi
3)     Pemuka dan pembaru dalam bidang otobiografi
4)     Pemuka dan pembaru dalam bidang sastra dan karang-mengarang
5)     Pemuka dan pembaru dalam bidang pendidikan dan pengajaran
6)     Ahli dalam ilmu hadits (kitab Musthalah dan Rijalul Hadits)
7)     Ahli dalam bidang fiqh Maliky
8)     Ahli dan ilmuwan dalam berbagai ilmu pengetahuan lainnya.[16]
Karya-karya Ibnu Khaldun, antara lain :
1)      Kitab al-I’bar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar Fii Ayyam al-‘Arab wu  al-‘Ajam wa al-Barbar, wa Man ‘A-shara-hum Min Dzawi al-Sulthan al-Akbar.
Kitab ini biasanya lebih dikenal dengan nama kitab al-‘Ibar, yang berisi tentang sejarah alam semesta.
Ibnu Khaldun membagi kitab ‘Ibar-nya kedalam sebuah pendahuluan dan tiga buah kitab. Pada bagian pendahuluan, ia menerangkan keutamaan ilmu sejarah, aliran-alirannya, serta menyebutkan letak kesalahan para sejarawan di dalam menulis sejarah.
Sedangkan di dalam kitab bagian pertama dibahasnya masyarakat manusia, watak-watak raja, sultan, mata pencaharian, mata penghidupan, pabrik, ilmu pengetahuan, dan tentang sebab akibat. Di dalam kitab bagian kedua, berisi tentang berita bangsa Arab, beserta generasi-generasinya dan disebutkan pula secara ringkas bangsa dan negara-negara terkenal pada masa itu. Sedang pada bagian ketiga dari sejarah alam semestanya al-‘Ibar, berisi tentang sejarah bangsa Barbar dan bangsa lain yang masuk bagiannya beserta para pemimpin dan generasi-generasinya.[17]
2)  Muqaddimah
Pada mulanya Muqaddimahmerupakan muqaddimah dari kitabal-‘Ibar, yang berisi pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia. Di dalam Muqadimmahtercermin usaha Ibnu Khaldun untuk menyingkap ilmu baru yang dikenal sekarang dengan ilmu ijtima’ atau sosiologi. Muqaddimah inilah yang membuat Ibnu Khaldun menjadi terkenal dan ia tetap dibicarakan hingga dewasa ini.
Muqaddimah berisi tentang :
Pertama, pembukaan yang disebut khutbat al-kitab, atau iftitahiah. Di dalamnya menguraikan berbagai bahasan, aliran-aliran, dan kekurangtelitian ahli sejarawan sebelumnya dalam membahas dan mengambil kesimpulan dari peristiwa-peristiwa sejarah. Ibnu Khaldun juga menerangkan alasan-alasannya mengarang kitab ini sambil menerangkan metode dan pembagian-pembagiannya.
 Kedua, “Pendahulauan tentang keutamaan sejarah, verifikasi aliran-alirannya, pembahasan tentang kesalahan, kekeliruan, dan keraguan para ahli sejarah dan sebab-akibatnya”  adalah judul kedua Muqadimmah.
Ketiga, isi pada bagian ini berjudul “Kitab Pertama tentang tabiat manusia dalam kejadian dan yang tercangkup di dalamnya dari bangsa Badawi, orang berbudaya (hadlar), kalah-mengalahkan, mata pencaharian, penghidupan, produksi, ilmu, dan lainnya”. Bagian ini merupakan bagian yang paling penting, dan inilah yang dikenal sekarang dengan nama Muqadimmah Ibnu Khaldun.
Isi bagian ini adalah :
1)     Kata pengantar, di dalamnya diterangakan tentang sejarah, tema, dan objek pembahasannya, serta sebab-sebab timbulnya kekeliruan dalam meriwayatkan peristiwa sejarah.
2)     Enam pembahasan pokok dan utama yang mempelajari fenomena-fenomena masyarakat manusia (sosial) adalah :
a.      Tentang masyarakat  manusia pada umumnya.
b.      Tentang masyarakat pengembara, suku yang berpindah-pindah, dan golongan manusia liar.
c.      Tentang negara-negara secara umum, raja, khilafah, dan tingkatan-tingkatan kesultanan.
d.      Tentang balad, nagari, kota, dan seluruh yang disebut tempat kediaman.
e.      Pembahasan kelima dan keenam adalah tentang penghidupan dengan segala seginya : mata pencaharian, produksi, serta hal-hal yang ada hubungan dengannya. Kesemuanya membicarakan bebagai cabang ilmu pengetahuan, seni, kesusastraan, teori-teori pedagogi, dan lain sebagainya.[18]
Menurut Gaston Bouthoul, dalam karyanya Ibnu Khaldun Sa Philoshopie Sociale, Muqaddimah memuat hal-hal berikut :
a.      Esensi tentang sejarah.
b.      Penjelasan umum tentang fenomena-fenomena sosial.
c.      Kajian tentang perkembangan sosial dan politik.[19]
3)  Al-Ta’rif bi Ibni Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan
Karyanya ini dipandang sebagai autobiografi (riwayat hidup sendiri). Ibnu Khaldun adalah ahli sejarah dari Arab yang telah menulis riwayat hidup sendiri dengan gaya penulisan yang menarik menukik pada detail-detail kecil yang pernah dialaminya sejak lahir hingga beberapa waktu sebelum meninggal. Oleh karena itu autobigrafi ini dikenal dengan nama pengakuan diri.
Dalam al-Ta’rif, Ibnu Khaldun tidak hanya meriwayatkan kehidupan dirinya sendiri akan tetapi banyak melibatkan riwayat-riwayat hidup beberapa orang penting yang erat hubungannya dengan riwayat hidupnya. Karyanya ini lalu diikutkan pada kitabnya al-‘Ibar. Ia menuliskannya di dalam satu bab berjudul al-Ta’rif bi-Ibni Khaldun Muallifu Haadza al-Kitaab.[20]
4)  Lubab al-Muhashshal fi Usul al-Din
Kitab ini merupakan hasil ikhtisar, ringkasan dari kitab Muhashshal Afkaaril Mutaqaddimin wa al-Mutagakhkhiriin, karangan Imam Fakhruddin al-Razi. Ikhtisar ini memberi perhatian pada permasalahan ilmu tauhid, teologi.
Di dalam Muqadimmah-nya, Ibnu Khaldun menerangkan bahwa dia belajar kitab al-Muhashshal dari gurunya dan syekhnya, cendikiawan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abili. Melihat pembicaraan di dalam kitab tersebut bertele-tele, Ibnu Khaldun merevisi dan meringkasnya dengan dilengkapi pandangan dan pendapat-pendapat imam besar Nashiruddin al-Thusi dan sedapat mungkin ditambah pemikirannya sendiri.[21]
5)  Syifa’ al-Saali lit-Tahdziib al-Masaill
Karya ini oleh para ilmuwan diragukan, apakah benar-benar karya Ibnu Khaldun atau bukan. Karena dalam kitab al-Ta’rif, tidak disebutkan bahwa Ibnu Khaldun pernah menulis kitab tersebut. Akan tetapi banyak juga para ahli yang mengukuhkan kalau kitab tersebut adalah hasil karyanya. Seperti dikemukakan oleh Ustad Muhammad Ibnu Tawit al-Thanji, guru pada Fakultas Ilahiyyat di Ankara. Ia memberi keterangan panjang lebar, membuktikan bahwa kitab tersebut karangan Ibnu Khaldun. Adapun isi dari kitab tersebut adalah pembahasan tentang ruang lingkup ilmu tasawuf.[22]

Secara umum kehidupan Ibnu Khaldun dapat diklasifikasikan menjadi empat tahap :

Pertama: Fase studi hingga berusia dua puluh tahun, atau dari tahun 732 H hingga 752 H. Fase ini ia lalui di Tunis.

Kedua : Fase berkecimpung di bidang politik. Fase ini berlangsung lebih dari dua puluh tahun, yaitu dari tahun 752 H hingga 776 H.

Ketiga : Fase pemikiran dan kontemplasi di Benteng Ibnu Salamah milik Banu ‘Arif. Fase ini berlangsung selama empat tahun hingga akhir tahun 780 H.

Keempat : Fase bergerak di bidang pengajaran dan pendidikan. Fase ini berlangsung dari tahun 784 H hingga tahun 806 H, yakni ketika ia meninggal dunia.[23]


B. KONSEPSI MANUSIA IBNU KHALDUN

1.   Pengertian dan Hakekat Manusia

Kata “manusia” dalam bahasa Arab (al-Qur’an) disebut dengan al-basyar, al-insan (an-nas) danal-Ins. Ketiganya dianggap sinonim, meskipun jika dipahami lebih dalam terdapat perbedaan makna.
Dalam pembahasan ini, pengertian manusia difokuskan pada al-insan. Manusia dalam definisi “al-insan” adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki kemampuan berpikir, pandai berbicara dan memiliki ilmu dan cara penerapannya dalam menghadapi ujian untuk memilih antara yang baik dan yang buruk.[24]
Sedangkan hakekat mengandung pengertian sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Menurut Hadari Nawawi hakekat manusia adalah kondisi sebenarnya atau intisari yang mendasar tentang keberadaan makhluk yang berasal dari keturunan Adam dan Hawa, sebagai penghuni bumi.[25]
Manusia perlu mengenal dan memahami hakekat dirinya agar mampu mewujudkan eksistensinya. Al-Qur’an menunjukkan gagasan ini dalam beberapa ayat. Pengenalan dan pemahaman ini akan mengantarkan manusia pada kesediaan mencari makna dan arti kehidupan sehingga hidupnya tidak sia-sia. Menjalankan hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah dan sebagai Khalifat Allah fi al-Ardli.
Manusia disebut dengan istilah yang bermacam-macam seperti “Homo Sapiens”, artinya makhluk yang mempunyai budi (akal), “Animale Rasional” yaitu binatang yang berpikiran. Revesz menyebut manusia  “Homo Loquen” yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa, menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun. Bergson menyebut manusia sebagai “Homo Faber” yaitu makhluk yang “tukang”, dia pandai membuat alat perkakas. Aristoteles sendiri mengatakan manusia “Zoon Politicon” atau “Animal Ridens”, makhluk yang bisa humor. “Homo Economicus” yaitu manusia itu makhluk pada undang-undang ekonomi dan dia bersifat  ekonomis, “Homo Religious” yaitu manusia pada dasarnya beragama.[26]
Murtadha Muthahari menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk paradoks. Pada dirinya terdapat sifat-sifat baik dan jahat sekaligus, tetapi sifat-sifat itu hanyalah hal-hal yang potensial.[27]  Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukan alam. Namun bisa juga mereka merosot menjadi yang lebih rendah dari segala yang rendah. Oleh karena itu manuisa sendirilah yang harus menentukan sikap dan nasib akhir mereka. Dalam al-Qur’an manusia berulangkali diangkat derajatnya dan berulangkali pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam, surga, bumi, bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahanam sekalipun.[28]
Ibnu Khaldun ketika berbicara tentang hakekat manusia tidak terlalu menekankan segi kepribadian. Ia lebih banyak berbicara tentang hakekat proses dan interaksi antar manusia. Sebagian besar dalam bentuk kelompok serta implikasi dari interaksi-interaksi itu. Dalam konteks ini ia sering disebut sebagai seorang pendiri sosiologis-antropologis.[29] Asumsi-asumsinya mengenai manusia diperoleh dari derivikasi ajaran-ajaran Islam, baik al-Qur’an maupun hadits melalui gejala dan aktivitas manusia.
Islam berpandangan bahwa manusia merupakan pertalian antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung oleh yang lain. Islam secara tegas menyatakan bahwa kedua substansi tersebut merupakan substansi alam yang di ciptakan oleh Allah SWT.
Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh manusia, dan inilah yang membedakan manusia dengan hewan, karena tuhan tidak meniupkan ruh pada hewan. Maka hakekat pada manusia adalah ruh. Sedangkan jasadnya hanyalah alat yang digunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh yang primer, karena ruh tanpa jasad yang material tidak dinamakan manusia, begitu juga sebaliknya.
Menurut Ibnu Khaldun, manusia terdiri dari dwi matra, yaitu jasmani dan rohani. Matra pertama, manusia berserikat dengan binatang. Sedangkan matra kedua, manusia berserikat dengan malaikat. Dalam kehidupannya, manusia berhubungan dengan realitas-realitas atas dan bawah. Melalui realitas bawah, jiwa manusia berhubungan dengan raga, dan lewat raga berhubungan dengan dunia fisik. Sedangkan melalui realitas atas, jiwa manusia berhubungan dengan dunia ruhaniah (spiritual word). Itulah yang disebut dengan “dunia malaikat”. Esensi dunia kemalaikatan adalah persepsi murni dan akal absolut.
Jiwa, menurutnya berfungsi sebagai alat untuk mempersiapkan perubahan atau pertukaran sifat kemanusiaan untuk menjadi sifat kemalaikatan. Dengan demikian walaupun sesaat, melalui jiwa manusia bisa menjadi makhluk malaikat. Proses dan keadaan menjadi malaikat ini, oleh Ibnu Khaldun dinamakan “pengalaman transendental manusia”. Dalam proses itu, yang mengalami adalah jiwa manusia yang memiliki persiapan untuk lepas dari kemanusiaannya ke alam malaikat agar benar-benar menjadi bagian dari malaikat pada satu waktu, dan pada saat yang sama kemanusiaannya pun kembali lagi. Ini, biasanya dialami oleh para nabi, di mana mereka memiliki predisposisi ini, seakan-akan menjadi sifat alami bagi mereka. Dalam jiwa malaikat, mungkin jiwa manusia menerima tugas-tugas yang harus disampaikan kepada sesamanya. Inilah arti wahyu dan pembicaraan yang disampaikan oleh malaikat. Dalam pelepasan alam kemanusiaan mereka untuk masuk ke alam malaikat, biasanya mereka mengalami kesusahan dan berbagai perasaan yang meletihkan. Kemudian ketika kembali ke alam kemanusiaan, ilmu mereka tidak terpisah, sebab telah melekat padanya dalam kondisinya semula. Hal tersebut berulang-ulang dialaminya, sehingga bimbingan yang disampaikan menjadi sempurna. Konsep Khaldun ini didasarkan pada ayat :
“Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya”. (QS. 41:6).[30]

Roh manusia tidak dapat dilihat, tetapi bekas-bekasnya bisa dilihat pada tubuh. Ini dapat dilihat dari tubuh maupun bagian-bagian dari tubuh manusia yang digerakkan oleh roh dan kekuatan-kekuatannya. Kekuatan roh tersebut antara lain: Pertama, gerak (al-failiyah), seperti memukul dengan tangan, berjalan dengan kaki, berbicara dengan mulut, dan gerak tubuh lainnya. Kedua, pengertian (al-mudrikah), meliputi berbagai kecakapan yang meningkat hingga pada tingkatan yang paling tinggi, yakni pemikiran (al-mufakkirah).
Ibnu Khaldun juga memandang manusia dalam segi fitrahnya. Menurut teori fitrahnya, manusia lahir membawa bakat-bakat (potensi dasar). Manusia secara fitrah adalah baik, interaktif, dan berakidah tauhid. Namun dia juga berpendapat bahwa manusia diberi kecenderungan pada kebaikan dan kejelekan. Allah SWT telah meletakkan baik dan buruk ke dalam tabiat manusia. Dalam al-Qur’an Allah berfirman : “Dan telah kami tunjukkan dua jalan” (QS. 90:10). Firman-Nya lagi: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan” (QS. 91:8). Kecenderungan itu akan diarahkan ke mana, tergantung pada kebiasaannya, menurut kadar pengaruh pertama kali dari salah satu sifat tersebut. Apakah kebiasaan berbuat kebajikan masuk pertama kali ke dalam jiwa orang yang baik, dan jiwanya terbiasa dengan kebajikan, maka orang tersebut akan menjauhkan diri dari perbuatan buruk. Demikian juga sebaliknya, jika seseorang dibiasakan melakukan keburukan sebagai pengaruh pertama kali, maka dia akan terbiasa melakukan keburukan.[31]
Menurut Ibnu Khaldun, pada dasarnya manusia lebih cenderung kepada sifat-sifat yang baik daripada sifat kejahatan, sebab kejahatan yang ada dalam dirinya merupakan akibat dari adanya kekuatan-kekuatan kebinatangannya (animal power) dalam diri manusia, dan karena dia sebagai manusia, dia lebih cenderung kepada kebajikan dan sifat-sifat yang baik.[32]
Manusia juga fitrah, artinya ia dalam keadaan bersih dan tidak ternoda oleh pengaruh-pengaruh yang datang kemudian, yang akan menentukan seseorang dalam mengemban amanat sebagai khalifah-Nya, siap menerima kebajikan maupun kejahatan yang datang dan melekat padanya.[33] Sebagaimana sabda Nabi Muhammad :
“Setiap bayi dilahirkan menurut fitrah. Maka ibu-bapaknyalah yang menjadikannya sebagai seorang Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi”[34].

Manusia juga beraqidah tauhid sebagaimana firman Allah SWT.:
فا قم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التي فطر الناس عليها لا
 تبد يل لخلق الله ذلك الدين القيم و لكن اكثر الناس لايعلمون.
(الروم : 30)
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia  tidak mengetahui”. (QS. Ar-Rum: 30).[35]

Ayat ini menunjukkan bahwa manusia menerima Allah sebagai Tuhannya, atau dengan kata lain manusia itu dari asal kejadiannya memiliki kecenderungan berakidah atau beragama, sebab agama itu merupakan fitrahnya.
Agama menurut Ibnu Khaldun mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial, yaitu sebagai kekuatan penekan, penyatu, dan pengutuh masyarakat. Lain halnya dengan ashabiyah yang hanya berfungsi sebagai pengutuh dan integratif  bagi krisis-krisis dalam masyarakat, suku, dan etik.
Namun bila agama dan ashabiyah tidak beriringan, maka kekuatan besarnya akan sirna. Lain halnya bila antara ashabiyah dan agama ada proses timbal-balik, maka peranannya untuk mendapatkan kekuatan politik akan semakin besar.[36]
Manusia juga diberi fitrah-fitrah lain, seperti kecenderungan untuk bekerjasama, yang merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pencapaian kelangsungan hidupnya, yang tidak bisa dilakukan secara individual, melainkan secara bersama-sama.[37]

2.   Eksistensi Manusia
Eksistensi berarti keadaan aktual, yang terjadi dalam  ruang dan waktu. Ia menunjuk pada suatu benda yang ada di sini dan sekarang. Terminologi eksistensi di sini mengandung pengertian bahwa manusia diakui keberadaanya atau hidupnya.[38] Bagi kaum eksistensialis kata kerja “to exis“ memiliki isi yang lebih positif dan lebih kaya daripada kata kerja “to life“, kadang orang mengatakan bahwa ia hidup kosong dan tanpa arti, bahwa “ia tidak hidup, ia hanya ada”. Kelompok eksistensialis mengubah kalimat itu dan mengatakan “orang itu tidak ada, ia hanya hidup”. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh, tangkas, sadar, tanggung jawab dan berkembang.[39]
Terminologi eksistensi dalam pembahasan ini digunakan untuk menunjuk pada pengertian komposisi yang memperlihatkan keberadaan manusia dalam suatu totalitas, yang secara faktual terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu komposisi yang menunjuk pada keberadaannya.
Manusia menempati kedudukan unik, karena manusia memiliki seperangkat potensi yang tidak dijumpai pada mahkluk lain. Manusia terjadi dari dua bagian, jasmani (korporeal) dan rohani (spiritual).[40] Masing-masing dilengkapi dengan potensi-potensi lewat indera-indera. Indera-indera ini disebut dengan indera dalam (internal sense) dan indera luar (external sense).

1)  Indera dalam (internal sense).
Indera dalam diistilahkan oleh Ibnu Khaldun dengan rasa batiniyah. Kekuatan indera dalam dan indera luar sering bekerjasama dalam hubungannya dengan dunia luar. Induk dan kekuatan pertama dari semua indera dalam adalah akal. Maka ia juga bersifat rohaniyah, yang juga berhubungan dengan dunia maujud yang hidup. Roh manusia tidak dapat dilihat, tetapi indikasi-indikasi (bekas-bekasnya) dapat diamati pada tubuh. Tubuh dan bagian-bagian yang lain, baik satu per satu maupun keseluruhannya adalah bagaikan mesin yang digerakkan oleh roh dan kekuatan-kekuatannya.[41]
Di antara kekuatan-kekuatan indera dalam adalah: Pertama, gerak (al-fa’iliyah), seperti memukul dengan tangan, berjalan dengan kaki, berbicara dengan lidah, dan seluruh gerakan badan. Kedua, pemahaman (al-mudrikah), yang mencakup berbagai kemampuan dan meningkat pada kekuatan yang paling tinggi, yakni pemikiran (al-mufakkirah).[42]
Ibnu Khaldun menambahkan bahwa kekuatan-kekuatan lahiriyah dengan alat inderanya, mubsirah(penglihatan), ma’sumah (pendengaran), malmusah (peraba), dan lain-lain, dapat meningkat pada rasa-rasa batiniyah.
Rasa batiniyah yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun antara lain:
a.      Al-hiss al-musytarak (rasa umum), yang secara simultan dapat memahami benda-benda yang dapat ditangkap oleh indera, baik yang dapat dilihat, didengar, dipegang, atau lainnya.
b.      Al-husnu al-khayal (rasa khayal), yakni rasa yang dapat membawa pada benda-benda yang kelihatan, karena benda-benda tersebut dapat disimpulkan dari unsur-unsur yang ada di luar.
Kedua kekuatan ini –umum dan khayal– alat kerjanya adalah menggunakan rongga pertama otak. Bagian muka otak adalah untuk rasa umum dan bagian belakang adalah untuk rasa khayal.
c.      Al-wahimah (kekuatan memprediksi) dan al-hafizhah (kekuatan mengingat). Kekuatan khayal membawa kepada kekuatan al-wahimah dan al-hafizhah. Kekuatan al-wahimah ini dapat menangkap pengertian-pengertian yang berhubungan dengan orang, seperti kasih sayang. Kekuatan al-hafizhah bagaikan peti yang meyimpan semua pengertian, baik yang dikhayalkan maupun tidak, yang sewaktu-waktu dapat diproduksi apabila dibutuhkan. Alat badaniyah bagian kedua kekuatan terakhir ini adalah rongga belakang otak. Bagian depan rongga itu untuk kakuatan al-wahimah dan bagian belakang untuk kekuatan al-hafizah.[43]
Semua kekuatan ini membawa kepada kekuatan fikir yang alat badannya adalah rongga tengah otak. Dengan perantaraan otak inilah proses angan-angan dan pikiran berjalan. Oleh karena itu Ibnu Khaldun menandaskan bahwa manusia mampu melahirkan ilmu dan teknologi. Dengan kemampuan berfikir, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tapi juga menaruh perhatian terhadap bergbagai cara untuk mempeoleh makna hidup.

2)  Indera luar (external sense)
Indera luar terdiri dari:
a.      Penglihatan, rangsang yang dekat dengan ini adalah gelombang cahaya.
b.      Pendengaran, gelombang suara adalah sebagai rangsang yang dekat dengannya.
c.      Pengecap, rangsang yang dekat dengannya adalah larutan cair.
d.      Peraba, ada beberapa jenis rangsang yang dapat diterima. Yaitu rangsang mekanis, misalnya pukulan, rangsang thermis (misalnya suhu panas atau dingin), rangsang khemis, elektris, dan lain-lain.
e.      Pembau, rangsang yang diterima berupa hawa atau bau-bauan melalui udara.
Di samping kelima komponen indera luar terdapat indera-indera lainnya:
a.      Kinasesthesis yang memungkinkan kita untuk mengetahui posisi anggota-anggota tubuh kita.
b.      Indera keseimbangan, penginderaan ini akan terasa jika berada dalam posisi jatuh, karena pada saat itu timbul goyangan tubuh untuk mengadakan keseimbangan.
c.      Indera vital, penginderaan ini sulit diterangkan secara filosofis, karena tidak jelas rangsangannya, reseptor, dan pusatnya. Ia menyangkut rasa lesu, segar, dingin, dan lain-lain.
Pengenalan dunia riil adalah dengan alat indera. Pintu gerbangnya adalah pengamatan dan selanjutnya diolah dalam alam pikiran (akal). Dalam proses belajar, keterlibatan kedua komponen inderawi ini sangat menentukan. Namun demikian terdapat kekhususan tersendiri bagi masing-masing sesuai dengan tingkatan kemanusiaan.[44]
Sebagaiamana uraian di atas, bahwa manusia terdiri dari dwi matra. Menurut Ibnu Khaldun, dwi matra, jiwa dan raga manusia mempunyai fungsi dan cara yang berbeda secara esensial. Jiwa, berfungsi sebagai alat untuk mempersiapkan perubahan atau pertukaran sifat kemanusiaan untuk menjadi sifat kemalaikatan. Melalui fungsi jiwa, manusia bisa menjadi makhluk malaikat, itulah yang disebutnya “pengalaman transenden manusia“.
Selanjutnya, menurut Ibnu Khaldun jiwa manusia terbagi dalam 3 golongan :
1)  Jiwa yang tidak sanggup menurut qodratnya sendiri sampai kepada kepahaman kerohanian.
Golongan ini hanya sampai pada pemahaman yang dicapai oleh panca indera, khayal, dan menghimpun pengertian, serta kekuatan mengira-ngira dan mengingat, sesuai dengan hukum yang tetap dan peraturan-peraturan yang berlaku. Dengan melakukan proses ini, orang-orang yang termasuk golongan ini mencapai ilmu pengetahuan yang induktif dan deduktif. Dalam bidang inilah sebenarnya ahli-ahli pengetahuan bekerja dan pada bidang inilah pengetahuan itu terbatas.
2)  Terdiri dari orang-orang yang pikirannya bergerak ke arah pemikiran yang murni dan pengertian, yang karena susunannya, secara esensi tidak membutuhkan alat-alat badan. Dengan demikian dapat melampaui prinsip golongan pertama dan bergerak ke ruang kenyataan-kenyataan batiniyah (al-musyahadat al-bathiniyyah), yang merupakan kesadaran (wijdan) yang murni dan tidak terbatas. Dan inilah pengertian yang khusus bagi para wali dan ulama.
3)  Terdiri dari orang-orang yang memiliki sifat sedemikian rupa, sehingga mereka meninggalkan sifat-sifat mereka sebagai manusia, baik sifat badaniah maupun sifat rohaniah menuju tingkat malaikat yang lebih tinggi. Mereka itulah para nabi yang dikaruniai keistimewaan-keistemewaan tertentu. Penerima isi wahyu dari langit, kemudian menuangkannya  ke dalam tutur bahasa manusia, agar dapat dipahami setiap manusia.[45]
Manusia, dalam pandangan Ibnu Khaldun mempunyai dua kecenderungan, yakni kebaikan dan kejelekan. Dua kecenderungan ini selalu tarik menarik dan terjadi ketegangan. Konflik dan ketegangan inilah justru keunikannya manusia. Manusia pada hakekatnya lebih cenderung kepada kebaikan karena fitrah dan kekuatan rasionya, sebagaimana dikatakannya :
“Ketahuilah bahwa Allah –Maha Suci Dia– telah meletakkan baik dan buruk ke dalam tabiat manusia. Demikianlah, dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman : “Dan telah kami tunjukkan dia dua jalan”.(QS 90:10). Juga firman-Nya : “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (QS 91:8).[46]

Melihat disposisi natural dan kekuatan pikir logisnya, menurut Ibnu Khaldun , manusia lebih cenderung kepada sifat-sifat yang baik daripada sifat-sifat yang jelek, sebab kejahatan yang ada dalam dirinya merupakan akibat dari adanya kekuatan-kekuatan kebinatangan (animal powers) di dalam diri manusia, dan karena dia sebagai manusia, dia lebih cenderung kepada kebajikan dan sifat-sifat yang baik.[47]  Namun Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa menurut kadar pengaruh pertama kali dari salah satu di antara kedua sifat (baik-buruk) tersebut, jiwa menjauh dari satu sifat lainnya dan sukar untuk memperolehnya. Apabila kebiasaan berbuat kebajikan masuk pertama kali ke dalam jiwa orang yang baik, dan jiwanya terbiasa dengan kebajikan, maka orang tersebut akan menjauhkan diri dari perbuatan buruk dan sukar menemukan jalan ke sana. Demikian juga dengan orang yang jahat.[48]
Bagi Ibnu Khaldun, yang akan menentukan “siapa manusia itu” bukanlah sifat atau wataknya, tetapi kebiasaan yang dilakukan sehari-sehari. Dia menyatakan :
“Manusia adalah anak dari kebiasaan-kebiasaannya sendiri dan anak segala sesuatu yang ia ciptakan. Dia bukanlah produk dari tabiat dan temperamennya. Kondisi-kondisi yang telah menjadi kebiasaannya, hingga menjadi sifat, adat dan kebiasaannya, turun menduduki kedudukan tabiat. Apabila seseorang mempelajari hal ini pada diri anak adam, dia akan mendapatkannya banyak, dan akan menemukan observasi yang besar”.[49]

Di tinjau dari segi sosial, menurut Ibnu Khaldun manusia tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang dikatakannya : “Organisasi masyarakat menjadi suatu keharusan bagi manusia (al-ijtima’ dharuriyyun li an-naw’i al-insani ). Tanpa organisasi itu eksistensi manusia tidak akan sempurna. Keinginan Tuhan hendak memakmurkan dunia dengan makhluk manusia, dan menjadikan mereka khalifah di muka bumi ini tentulah tidak terbukti”.[50]
Tugas manusia ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya agar tetap survive dan untuk mencapai kebutuhannya, tidak bisa diselesaikan seorang diri, tetapi harus bersama-sama. Kebersamaan ini menimbulkan solidaritas sosial, baik dari tingkatan rendah (hanya berdasarkan pertalian darah) hingga tingkat solidaritas kelompok. Proses interaksi antar manusia yang tercipta berdasarkan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup di luar keluarga inilah yang disebut oleh Ibnu Khaldun dengan masyarakat, yang merupakan suatu keharusan.

3.   Kesempurnaan Manusia
Kesempurnaan manusia (al-Insan al-Kamil) terdiri dari dua kata: al-Insanyang berarti manusia, dan al-Kamil berarti sempurna. Menurut Murtadha Muthahari istilah sempurna di sini tidak identik dengan kata tammun (lengkap), kendati keduanya berdekatan dan mirip. Kata lengkap mengacu pada sesuatu yang disiapkan menurut rencana, seperti rumah atau masjid. Bila suatu bagiannya belum selesai maka bangunan itu tidak lengkap atau kurang lengkap. Akan tetapi sesuatu mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi, satu atau beberapa tingkat , itulah yang kamil (sempurna).[51]
Bila istilah sempurna diterapkan pada manusia maka akan bisa mengacu pada dua sisi, sisi fisik dan sisi rohaniah. Namun pada sisi rohaniahlah istilah ini paling sering digunakan, sementara pada sisi fisik yang paling sering dipakai adalah istilah lengkap, karena fisik telah disiapkan dalam suatu model tertentu. Sebagai contoh, di sekitar kita ada orang yang masih utuh fisiknya dan ada yang cacat. Meskipun orang cacat adalah orang yang tidak lengkap anggota atau organ tubuhnya, kita tidak boleh memandangnya sebagai sesuatu yang tidak sempurna dalam kemanusiaannya.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa kesempurnaan manusia yang sebenarnya adalah terletak pada kepribadiannya, bukan pada fisiknya. Dalam hal ini Muthahari mengutip sebuah pemeo: “Betapa mudahnya menjadi sarjana dan betapa sukarnya menjadi manusia“, sebab menjadi manusia membutuhkan kualitas kepribadian yang tidak sedikit, karena kualitas itulah yang akan memancarkan nilai manusia, ketinggian nilai itu akan menjadikan seseorang menjadi manusia sempurna.[52]
Islam mengisyaratkan kesempurnaan diri manusia sebagaimana tertera dalam firman Allah SWT.:
لقد خلقنا الانسان فى احسن تقويم . ثم رددنه اسفل سافلين. الا الذين امنوا وعملواالصلحت. (التين :2-4)
Artinya : “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baik kejadian. Kemudian kami kembalikan ia ke derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan melakukan amal shaleh.”. (Q.S. al-Tiin : 2-4)[53].

Manusia sempurna, menurut Ibnu Khaldun harus mempunyai kesadaran rohani, yakni keimanan pada agama dan kemampuan akal pikiran yang tajam sebagai puncak ilmu. Tegasnya manusia yang sempurna menurut Ibnu Khaldun adalah manusia yang beriman dan  berilmu, sebagai suatu kewajiban agama. Konsekuensi beriman dan berilmu adalah beramal, yakni keterpaduan kata hati dengan perbuatan.[54]
Kelengkapan dan kesempurnaan manusia dalam kacamata Ibnu Khaldun tidak lahir begitu saja, melainkan melalui proses tertentu, proses tersebut dewasa ini dikenal dengan evolusi. Dalam al-Qur’an surat al-A’laa ayat 1-3 :
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Paling Tinggi, Yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar (masing-masing), dan memberi petunjuk”.(Q.S. 87:1-3)

Ini menunjukkan bahwa semua ciptaan Illahi tumbuh dan berkembang (berevolusi) setapak demi setapak dari tingkatan yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi menuju kesempurnaan yang secara alamiah. Evolusi ini merupakan evolusi kreatif dalam wujud fisiknya.
Konsep evolusi Ibnu Khaldun berbeda dengan Charles Darwin (1809-1882) yang melihat proses kejadian manusia sebagai hasil evolusi makhluk-makhluk organik.[55] Ibnu Khaldun menghubungkan kejadian manusia (sempurna) dalam perkembangan dan pertumbuhan alam semesta. Seluruh totalitas di alam semesta ini berhubungan satu sama lain dan terpadu, artinya seluruh alam realitas satu dengan yang lainnya tidak statis melainkan dinamis. Dinamis inilah yang merupakan teori evolusi Ibnu Khaldun.
Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya, baik binatang maupun malaikat adalah kemampuan akalnya yang mampu berpikir. Manusia adalah makhluk yang berpikir. Menurut Ibnu Khaldun, berpikir adalah penjamahan bayang-bayang di balik perasaan dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat analisa dan sintesa. Menurutnya, kerja pikir yang demikian disebut af’idah (jamak dari fuad), sebagaimana yang tersinyalir dalam firman Allah SWT.:
“Dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan akal”.[56]

Menurut Ibnu Khaldun, kesempurnaan manusia dapat dicapai dalam kerangka ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan Ibnu Khaldun, bahwa pada kondisi semula, sebelum mencapai tamyiz manusia adalah materi seluruhnya, karena dia tidak mengetahui pengetahuan apapun. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan (ilm) yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri. Dengan cara ini, kamanusiaannya mencapai kesempurnaan eksistensi.[57]
Teorinya tentang pencapaian kesempurnaan manusia tersebut didasarkan pada firman Allah SWT.:
“Bacalah, dan Tuhanmu maha mulia, yang telah mengajar manusia dengan pena (qolam). Mengajarkan manusia apa-apa yang tidak ia ketahui”. (QS. 96:1-5).

Disinilah kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya, baik binatang maupun malaikat, yaitu kemampuan akalnya berpikir. Manusia adalah makhluk yang berpikir. Menurut Ibnu Khaldun berpikir adalah penjamahan bayang-bayang di balik perasaan dan aplikasi di dalamnya untuk membuat analisa dan sintesa. Kesanggupan manusia berpikir, menurutnya ada beberapa tingkatan, yaitu :
Pertama, pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tata yang berubah-ubah, dengan maksud supaya dia dapat mengadakan seleksi dengan kemampuannya sendiri. Bentuk pemikiran semacam ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi. Inilah akal pembeda (al-aql ut-tamyizi).
Tingkatan kedua adalah pikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang bawahannya dan mengatur mereka. Pemikiran semacam ini kebanyakan berupa appersepsi-appersepsi, (tasdiqat) yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya. Inilah yang disebut dengan akal eksperimental (al-aql at-tajribi).
Tingkatan ketiga, pikiran yang memperlengkapi manusia dengan pengetahuan (ilm) atau pengetahuan hipotesis (dzann) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Inilah akal spekulatif (al-aql an-nadzari). Ia merupakan persepsi dan appersepai (tasawwur dan tashdiq), yang tersusun dalam tatanan khusus, sesuai dengan kondisi khusus, sehingga membentuk pengetahuan lain dari jenisnya yang sama, baik perseptif atau apperseptif. Kemudian semua itu bergabung dengan hal-hal lain, lalu membentuk pengetahuan yang lain lagi.
Akhir dari proses ini adalah supaya terlengkapi persepsi mengenai wujudsebagaimana adanya, dengan berbagai genera, diferensia, dan sebab-akibatnya. Dengan memikirkan hal-hal ini, manusia mencapai kesempurnaan dalam realitasnya, dan menjadi intelek murni serta memiliki jiwa perseptif. Inilah makna realitas manusia (al-haqiqatu al-insaniyah).[58]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dengan kapasitas berpikirnya merupakan sumber bagi segala kesempurnaan, puncak segala kemuliaan dan ketinggian di atas segala makhluk lain. Dengan akal pula manusia menempati posisi teristimewa tersebut. Al-Qur’an menegaskan hal ini di banyak tempat. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna atau sebaik-baik susunan (QS. 95:4). Manusia juga diberi mandat oleh Allah sebagai khalifah Allah di bumi (QS. 2:30). Bahkan Allah telah menundukkan bumi untuk manusia (QS. 67:15). Manusia diberi kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri melalui potensi yang ada pada dirinya sendiri (QS.13:11).
Kesempurnaan manusia juga dicapai melalui kerangka sosial, seorang manusia tidak dapat hidup sendirian dan eksisitensinya tidak akan terlaksana, kecuali dengan kehidupan bersama. Dia tidak akan mampu menyempurnakan eksistensi dan mengatur kehidupannya dengan sempurna secara sendirian, jadi benar-benar sudah menjadi wataknya apabila manusia butuh bantuan dalam memenuhi kebutuhannya.[59]


[1] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, (terj. Mansuruddin dan Ahmadie Thaha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989, hlm. 9.
[2] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu Khaldun dalam pandangan Penulis Barat dan Timur, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 11.

[3] Ibid,hlm. 11-12.
[4] Fuad Baali dan Ali Wardi, Op. Cit., hlm. 9-10.
[5] Gaston Bouthoul, Teori-teori Filsafat Ibnu Khaldun, (terj. Yudyan W. Asmin), Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1998, hlm.17
.
[6] Fuad Baali dan Ali Wardi, Op. Cit., hlm.11. Dalam tulisan lain ada yang menyebutnya kota Biskra. (Lihat, Gaston Bouthoul, Op. Cit. hlm. 15)
[7] Ibid, hlm. 11-12.

[8] Lihat Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibid,  hlm. 12.
[9] Gaston Bouthoul, Op. Cit., hlm. 30.
[10] Ibid.
[11] Ali Abdul Hamid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, PT. Grafiti Press, Jakarta, 1985, hlm. 12.
[12]Marasudin Siregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun Suatu Analisa Fenomenologi,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 22.
[13] Ibid,hlm. 28-29.
[14] Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, (terj. Ahmad Rofi’ Utsmani), Pustaka, Bandung, 1987, hlm. 17-18.
[15] Ahmad Syafii Maarif, op.cit, hlm.18.

[16] Ali Abdul Hamid Wafi, Op. Cit, hlm. 79.
[17]Ibid, hlm., 143-145.
[18]Ibid, hlm. 81-84.
[19]Gaston Bouthoul, Op. Cit., hlm. 35-36.
[20]Ali Abdul Hamid Wafi, Op. Cit. hlm. 149-150.

[21]Ibid, hlm. 174-175.
[22]Ibid, hlm. 176.
[23]Zainab al-Khudairi, Op.Cit., hlm. 20.
[24] Aisyah Bintu Syathi, Manusia dalam Perspektif al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta,1999, hlm. 7.
[25] Hadari Nawawi, Hakekat Manusia Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1992, hlm. 64.
[26] Syahid Mu’ammar Pulungan, Manusia Dalam al-Qur’an, Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 15-16.
[27] Murtadha Muthahari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 123.
[28] Ibid, hlm. 117.
[29] Fachry Ali, Realitas Manusia : Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun, (dalam M. Dawam Raharjo, Insan Kamil : Konsepsi Manusia Menurut Islam), Grafitti Pers, Jakarta, 1987, hlm. 154-155.

[30] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (terj. Ahmadie Thaha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hlm. 531-532.
[31] Ibid,hlm. 145.
[32] Ibid., hlm. 171.
[33] Ibid., hlm. 145.
[34]Lihat Imam Abi Husain Muslim Ibnu Hajjaj, Shahih Muslim, Juz IV, Darul al-Khutub, Beirut, t.th., hlm. 2047.
[35] R.H.A. Soenarjo, dkk., al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra, Semarang, 1989, hlm. 645.

[36] Ibnu Khaldun, Op., Cit., hlm. 321.
[37] Ibid,. hlm. 228.
[38] Harold, H. Titus, dkk. Persoalan-persoalan Filsafat, terjemahan HM. Rasyidi,   Bulan Bintang, Jakarta, 1984,  hlm. 384.
[39] Ibid.
[40] Ibnu Khaldun, Op. Cit., hlm.518.
[41] Ibid, hlm. 115-116.

[42] Ibid, hlm. 116.
[43] Ibid, hlm. 117
[44] Ibid
[45] Ibid, hlm. 118-119
[46] Ibid, hlm. 150.
[47] Ibid,  hlm. 171.
[48] Ibid, hlm. 145.
[49] Ibid, hlm. 147.
[50] Ibid, hlm. 73.
[51] Yunasir Ali, Manusia Citra Ilahi; Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili, Paramadina, Jakarta, 1997, hlm.4.
[52] Ibid., hlm. 5.
[53]R.H.A. Soenarjo, dkk., Op. Cit., hlm. 1076.
[54]Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 81.
[55] Evolusi Organik adalah proses evolusi makhluk hidup dari makhluk lain yang telah ada. Lihat T.Jacob, Evolusi Manusia Dan Konsepsi Islam, Risalah, Bandung, 1984, hlm. 36.
[56] Lihat (QS.67:23) yang lengkapnya berbunyi : “Katakanlah: “Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati”., (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur”. Dalam R.H.A. Soenarjo, dkk., al-Qur’an dan Terjemahnya, kata af’idah diterjemahkan dengan “hati” yang bersumberkan akal atau otak. Lihat Ibnu Khaldun, Op. it., hlm. 522.
[57] Ibid, hlm. 533.
[58] Ibid,  hlm. 522-523.
[59] Ibid, hlm. 526.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan