© Attention :
“ Demi Kenyamanan Pengunjung kami rekomendasikan menggunakan
Browser ChromeTerima Kasih . . . . .”

PILAR – PILAR KEBUDAYAAN ISLAM

PERIODE MAKKAH - MADINAH

I.        PENDAHULUAN
Pada Abad keenam Masehi, Makkah adalah kota besar yang sedang berkembangan. Karena letak greografis yang srategis, Makkah menjadi tempat persinggahan para kafilah dagang yang datang dan pergi ke pusat perniagaan. Sejak lama di Makkah telah tersedia segala fasilitas perniagaan termasuk rumah-rumah penginapan bagi para saudagar yang singgah di sana.1
Komunitas penduduk Arab Makkah ketika itu menganut agama yang bermacam-macam antara lain yang terkenal adalah penyembahan terhadap berhala (paganisme). Namun demikian adapula yang masih menganut dengan agama Masehi dan Yahudi.
Agama Masehi ini banyak dianut oleh penduduk yang banyak berasal dari Yaman, Najran dan Syam. Sedangkan agama Yahudi banyak dianut oleh para imigran dari Yasrib. Di samping itu ada pula agama Majusi yang dianut oleh orang Persia.
Demikianlah keadaan bangsa Arab menjelang lahirnya Muhammad yang membawa ajaran Islam ditentang masyarakat yang biasa disebut dengan masyarakat zaman jahiliyyah, yaitu zaman kegelapan atau kebodohan dalam hal moral dan etika, bukan dalam hal lainnya seperti ekonomi perdagangan dan sastra. Sebab, dalam hal perekonomian dan sastra bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang pesat.
Makkah bukan saja menjadi pusat perdagangan lokal, tetapi menjadi jalur perdagangan dunia yang terpenting. yang menghubungkan antara Utara (Syam) dan selatan (Yaman) antara Timur (Persia) dan Barat (Abensia dan Mesir). Dalam bidang sastra, mereka sangat menaruh perhatian terhadap sastra, dan para sastrawan diakui kredibilitas oleh bangsa Arab ketika itu. [1]
II.     RUMUSAN MASALAH
Dari pendahuluan diatas dapat kami ambil beberapa permasalahan diantaranya:
1.      Bagaimana kondisi sosial bangsa arab pada periode Makkah - Madinah?
2.      Bagaimana kondisi perekonomian pada masa Rasullullah (Periode Makkah –Madinah)
3.      Bagaimana kondisi politik pada masa Rasulullah (Periode Makkah –Madinah)

III.  PEMBAHASAN
1.     Kondisi Sosial Bangsa Arab Pada Periode Makkah Madinah
a.    Sistem Keluarga Masyarakat Mekkah
Muhammad datang dan ditugaskan untuk menyeru masyrakat yang pada umumnya mengenal sistem keluarga patriarkhal yang sungguh kental, keluarga mereka terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya. Keluarga-keluarga ini bersatu untuk menghasilkan kerjasama yang saling menguntungkan yang biasanya berdasarkan nasab yang kemudian disebut dengan klan. Masyarakat Mekkah lebih tertarik dengan sistem kolektifitas dalam beberapa hal termasuk keamanan pribadi. Mereka relatif tidak mengenal konsep pribadi. Mereka sangat tergantung kepada klan masing-masing. Seorang individu bertanggung jawab atas klannya, penganiayaan terhadap seorang anggota klan berarti juga penganiayaan terhadap klan. Tidak ada balas dendam pribadi pada umumnya, tetapi pembalasan tindak aniaya dilakukan oleh klan. Seorang yang tidak bernaung di bawah sebuah klan tidak mendapat tempat di Mekkah.
Setiap klan biasanya dipimpin oleh seorang syaikh yang dianggap paling bijak, kaya dan banyak berderma. Biasanya setiap anggota klan yang ingin bertindak dalam beberapa bidang tertentu meminta saran pemimpin klan. Dari beberapa pernyataan ahli-ahli sejarah, kami berpendapat bahwa memang orang-orang Arab adalah orang yang mempunyai kesetiaan lebih tinggi kepada pemimpinnya dibanding dengan orang-orang selain mereka pada saat itu.[2]
Hukum tentang status keluarga dan pribadi tampaknya sudah mengakar kuat dalam masyarakat Mekkah, yang berasal dari sistem Arab purba.16 Sistem keluarga yang ada pada masyarakat Arab hanya berlaku untuk anggota klan. Hingga diantara klan-klan yang terjadi perselisihan biasanya diangkat seorang hakim. Klan yang bersengketa tersebut memberikan jaminan untuk menaati keputusan sang hakim, baik dengan jaminan materi ataupun dengan janji.[3]
Rasulullah saw. tidak bisa berbuat banyak untuk merubah keadaan ini ketika beliau berada di Mekkah, meski tentu saja dalam kalangan intern masyarakat muslim yang pada saat itu masih sangat sedikit sekali, prilaku-prilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam telah mulai ditinggalkan.
b.    Wanita Dalam Masyarakat
Pada umumnya, bukan hanya di Mekkah, wanita tidak diberi peran signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat. Mereka diperlakukan tidak seperti wanita pada masa modern ini. Tampaknya hal ini merupakan bias dari sistem patriarkhal yang dianut oleh masyarakat Arabia, dalam hal ini masyarakat Mekkah.[4] Kemungkinan besar, wanita tidak mendapatkan warisan dari ayahnya. Seorang ayah bisa saling bertukar putri dengan ayah lain untuk dinikahi.
Pelecehan terhadap wanita dalam masyarakat Mekkah tergambar jelas dalam prilaku sosial, pernikahan, pengontrolan harta dan pembunuhan bayi perempuan. Dalam pernikahan meskipun mereka mengenal mahar, tapi ternyata sang ayahlah yang menerima mahar tersebut, merupakan adat yang tidak tercela untuk mengawini wanita lalu menceraikannya dan mengawininya kembali dengan semena-semena, atau menikahi wanita sebanyak yang mereka suka.[5] Sedangkan dalam pengontrolan harta, wanita sama sekali tidak mempunyai hak. Meskipun harta tersebut merupakan milik pribadi si perempuan. Dehumanisasi perempuan yang paling jelas tergambar dalam pembunuhan bayi perempuan, karena anggapan bahwa mempunyai anak perempuan adalah aib.
Menurut Marshall Hodgson, di samping kondisi-kondisi di atas, ada juga beberapa trend yang berlaku dalam masyarakat wanita Mekkah, yakni kebiasaan memakai cadar sebagai simbol dari kehormatan wanita. Beberapa wanita yang tidak bisa diperlakukan seperti wanita lain, atau wanita yang ingin menyatakan dirinya sebagai wanita terhormat biasanya memakai cadar sebagai simbol.[6]
c.     Perbudakan
Memang ada beberapa trend yang sedang dipraktekkan oleh mayoritas bangsa diseluruh dunia. Selain polygami, mungkin perbudakan adalah hal yang lebih signifikan untuk disebutkan sebagai salah satu ciri peradaban manusia pada masa kuno. Baik di Asia, maupun Eropa perbudakan adalah hal yang sering ditemui.
Dalam masyarakat Mekkah, seorang yang tidak mempunyai klan akan dijadikan budak. Klan yang kalah dalam perang juga akan bernasib serupa.
Orang-orang yang mempunyai budak berkuasa penuh atas tenaga, hidup dan mati seorang budak. Budak wanita bisa diajak tidur oleh tuannya, tanpa memperdulikan hak-hak si wanita bahkan ketika ternyata mereka hamil karena hubungan intim tersebut. Anak seorang budak secara otomatis menjadi budak yang dimiliki oleh tuan yang memiliki ibu mereka.[7]
2.     Kondisi Perekonomian Pada Masa Rasulullah
Mayoritas masyrakat Mekkah pada masa Rasulullah saw. hidup dengan berdagang dan beternak, beberapa bagian kecil hidup dari hasil usaha lain seperti pengerajin patung dan sastra.
Masyarakat Mekkah, khususnya yang berdiam di pinggiran kota diakui sebagai masyarakat pastoral (pengembala), baik ternak piaraan milik sendiri ataupun menggembalakan ternak orang lain. Nabi Muhammad sendiri pada awalnya adalah seorang pengembala sebelum ia kemudian bertemud dengan Khadijah.
Sementara masyrakat kota lebih cenderung dengan usaha berdagang, mereka berdagang tidak hanya di kawasan Mekkah, tapi juga hingga ke negeri Syam yang saat itu merupakan area perdagangan internasional. Abu Sufyan dan Abdullah b. Abdul Muthalib adalah dua orang pedagang yang sering berpergian keluar kota.
Dalam bidang ekonomi, bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang pesat. Mekah bukan saja merupakan pusat perdagangan lokal melainkan sudah menjadi jalur perdagangan dunia yang sangat penting saat itu, yang menghubungkan antara Utara (Syam), Selatan (Yaman), Timur (Persia) dan Barat (Mesir dan Abbessinia). Keberhasilan Mekkah menjadi pusat perdagangan internasional ini karena kejelian Hasyim7, tokoh penting suku Quraisy yang merupakan kakek buyut Muhammad saw, dalam mengisi kekosongan peranan suku bangsa lain di dalam bidang perdagangan di Mekkah sekitar abad keenam Masehi.[8]
Salah satu bidang yang mendapat perhatian besar dari Nabi dan layak disebutkan disini adalah perdanganan. Seperti disebutkan sebeelumnya bawha Mekkah adalah kota yang memikat bagi para pedagang dari banyak penjuru Arabia maupun luar Arabia. Masyarakat Mekkah diakui sebagai pedagang eceran yang handal dibandingkan dengan masyarakat lain kala itu. Perdagangan menjadi sangat esensial dan diberi apresiasi lebih oleh masyarakatnya.
Perdagangan di Mekkah memang berkembang dengan pesatnya. Hal inilah yang kemudian sangat berpengaruh kepada kebijakan-kebijakan Muhammad pada masa kepemimpinannya di Madinah, di kala beliau mempunyai akses dan kekuasaan yang lebih untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Pada masa selanjutnya, yakni di Madinah, banyak peraturan yang ditetapkan dalam maslah ini meskipun tidak terperinci, tapi merupakan semangat moral dalam berdagang. Pengharaman riba yang sekilas tampak serupa dengan jual-beli adalah merupakan semangat moral untuk tidak menindas dan mengambil keuntungan dari penderitaan dan kesempitan seseorang.
3.     Dinamaika Politis Pada periode Makkah Madinah
Kekuasaan yang diakui di masyarakat Mekkah terbagi kepada dua macam, kekuasaan ekonomi dan politis dan kekuasaan keagamaan. Kontrol atas ekonomi dan politis ini dipegang oleh klan Umayyah, meskipun tentu saja termodifikasi oleh klan-klan lain, sementara kontrol atas agama dipegang oleh Bani Hasyim.

Ada sebuah persaingan antara kedua klan besar Mekkah ini, klan Umayyah tidak akan mau tunduk dalam kontrol Bani Hasyim dan sebaliknya. Adalah hal yang wajar bila kemudian Muhammad ditentang secara habis-habisan oleh klan aristokarat Mekkah, hal ini dapat dijelaskan bahwa Muhammad memang berasal dari Bani Hasyim. Hal ini pulalah yang akan menjelaskan bagaimana kemudian pada peristiwa penaklukkan Mekkah, Muhammad saw. memberikan jaminan keamanan bagi orang yang berlindung di rumah Abu Sufyan yang saat itu merupakan pemimpin klan Umayyah.
Tapi hal itu tentu saja tidak bisa menjelaskan bagaimana kemudian kerabat Nabi sendiri malah menentang ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Sepertinya, penentangan yang dilakukan oleh kerabat nabi ini hanya merupakan pengaruh dari ketakutan akan kehilangan kuasa kontrol agama yang dimiliki oleh Bani Hasyim, selain juga tentu saja mereka akan sangat malu kepada nenek moyang mereka.
Beberapa pergolakan politis terjadi pada masa Islam priode Mekkah, karena memang kelompok Muhammad telah berubah menjadi dan dipandang sebagai kekuatan politik baru yang masih berkembang. Kekuatan politik yang telah ada, seperti Bani Umayyah tentu saja harus menemukan cara untuk memusnahkan atau menghambat perkembangan kekuatan baru tersebut. Dalam usaha itu, usaha untuk membunuh pemimpin kekuatan politik tersebut sering dilakukan meskipun gagal, boikot, penolakkan massal terhadap Rasul dan lain sebagainya.
Perkiraan mereka bahwa dengan menekan aktivitas dan kehidupan pemimpin tersebut akan menghambat laju pertumbuhan kekuatan politis tersebut. Pada saat mereka sadar bahwa penekanan individual itu ternyata tidak terlalu membuahkan hasil yang memuaskan, merekapun beralih kepada penekanan yang lebih menyeluruh terhadap semua kelompok masyarakat. Dalam sejarah kita sering mendapatkan fakta sejarah tentang boikot kaum Quraisy terhadap kaum muslimin, boikot politis ini juga berimplikasi terhadap munculnya boikot ekonomi dan sosial seperti larangan bertransaksi dengan pengikut Muhammad dan larangan menikah dengan mereka.
Puncak pergolokan politis ini kemudian mengakibatkan kelompok Muhammad harus meninggalkan Mekkah untuk beberapa saat lamanya. Hijrah ini tidak hanya tercatat sekali saja, akan tetapi beberapa kali dan hingga kelompok Muhammad akhirnya setuju dan memutuskan untuk meninggalkan Mekkah menuju Madinah untuk membangun sebuah kekuatan baru dan segar di tanah Madinah.
Tidak beberapa lama orang-orang Madinah non Muslim berbondong-bondong masuk agama Islam. Untuk memperkokoh masyarakat baru tersebut mulailah Nabi meletakkan dasar-dasar untuk suatu masyarakat yang besar, mengingat penduduk yang tinggal di Madinah bukan hanya kaum muslimin, tapi juga golongan masyarakat Yahudi dan orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang, maka agar stabilitas masyarakat dapat terwujudkan Nabi mengadakan perjanjian dengan mereka, yaitu suatu piagam yang menjamin kebebasan beragama bagi kaum Yahudi.  Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Di sanping itu setiap masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan musuh. Adapun dasar-dasar tersebut adalah[9]:
1. Mendirikan Masjid
Setelah agama Islam datang Rasulullah SAW mempersatukan seluruh suku-suku di Madinah dengan jalan mendirikan tempat peribadatan dan pertemuan yang berupa masjid dan diberi nama masjid “Baitullah”. Dengan adanya masjid itu, selain dijadikan sebagai tempat peribadatan juga dijadikan sebagai tempat pertemuan, peribadatan, mengadili perkara dan lain sebagainya.
2. Mempersaudarakan antara Anshor dan Muhajirin
Orang-orang Muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta akan tetapi membawa keyakinan yang mereka anut. Dengan itu Nabi mempersatukan golongan Muhajirin dan Anshor tersebut dalam suatu persaudaraan dibawah satu keyakinan yaitu bendera Islam.[10]
3. Perjanjian bantu membantu antara sesama kaum Muslim dan non Muslim
Setelah Nabi resmi menjadi penduduk Madinah, Nabi langsung mengadakan perjanjian untuk saling bantu-membantu atau toleransi antara orang Islam dengan orang non Islam. Selain itu Nabi mengadakan perjanjian yang berbunyi “kebebasan beragama terjamin buat semua orang-orang di Madinah”.
4 Melaksanakan dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru Dengan terbetuknya masyarakat baru Islam di Madinah, orang-orang kafir Quraisy bertambah marah, maka terjadi peperangan yang pertama yaitu perang Badar pada tanggal 8 Ramadlan, tahun 2 H. Kemudian disusul dengan perang yang lain yaitu perang Uhud, Zabit dan masih banyak lagi.[11]

IV.  KESIMPULAN
a)     Kondisi atau dinamika sosial masyarakat makkah
·         Sistem Keluarga Masyarakat Mekkah masih kental dengan sistem keluarga patriarkhal,  Keluarga-keluarga ini bersatu untuk menghasilkan kerjasama yang saling menguntungkan yang biasanya berdasarkan nasab yang kemudian disebut dengan klan. Masyarakat Mekkah lebih tertarik dengan sistem kolektifitas dalam beberapa hal termasuk keamanan pribadi. Mereka relatif tidak mengenal konsep pribadi
·         Wanita Dalam Masyarakat
Wanita tidak diberi peran signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat. Mereka diperlakukan tidak seperti wanita pada masa modern ini. Tampaknya hal ini merupakan bias dari sistem patriarkhal yang dianut oleh masyarakat Arabia, dalam hal ini masyarakat Mekkah Kemungkinan besar, wanita tidak mendapatkan warisan dari ayahnya.
·         Perbudakan
Memang ada beberapa trend yang sedang dipraktekkan oleh mayoritas bangsa diseluruh dunia. Selain polygami, mungkin perbudakan adalah hal yang lebih signifikan untuk disebutkan sebagai salah satu ciri peradaban manusia pada masa kuno. Baik di Asia, maupun Eropa perbudakan adalah hal yang sering ditemui.
b)                      Ekonomi mayoritas masyrakat Mekkah  pada masa Rasulullah saw. hidup dengan berdagang dan beternak, beberapa bagian kecil hidup dari hasil usaha lain seperti pengerajin patung dan sastra.masyarakat mekkah, khususnya yang berdiam di pinggiran kota diakui sebagai masyarakat pastoral (pengembala), baik ternak piaraan milik sendiri ataupun menggembalakan ternak orang lain.
c)                       Sikap Politik untuk perdamaian ddan kehidupan oarang islam dan non muslim dengan perjanjian dan di sanping itu setiap masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan musuh. Adapun dasar-dasar tersebut adalah:
1. Mendirikan Masjid
2. Mempersaudarakan antara Anshor dan Muhajirin
3. Perjanjian bantu membantu antara sesama kaum Muslim dan non Muslim
4 Melaksanakan dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru Dengan terbetuknya masyarakat baru Islam di Madinah
  
DAFTAR PUSTAKA

Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,Jakarta: Logos, 1997  
Abdul Azis Dahlan, et. al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta; Ichtiar Baru van Hoeven, 1999
Budhy Munawwar Rachman, Islam Pluralis ,Jakarta; Paramadina, 2001
Abdul Nashir, Polygami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial Dan Perundang-undangan, terj. Chadijah Jakarta; Bulan Bintang, 1976
Ahmad Syalabi, Islam DalamTimbangan,, terj. Abu Laila ,Bandung: Ma’arif, 1982
Al-Buthy, Muhammad Said Ramadhani.Sirah Nabawiyah Terjemah.Robbani Press.Jakarta:1999

Tiada ulasan:

Catat Ulasan