© Attention :
“ Demi Kenyamanan Pengunjung kami rekomendasikan menggunakan
Browser ChromeTerima Kasih . . . . .”

TINJAUAN TENTANG PENDIDIKAN RUHANI



I.        Pengertian Pendidikan Ruhani
Untuk memahami pengertian pendidikan ruhani dengan benar, terlebih dahulu diungkapkan makna dari pendidikan Islam, karena pendidikan ruhani memiliki korelasi yang kuat dengan konsep - konsep pendidikan Islam. Berikut akan diuraikan konsep - konsep tersebut dan berbagai pendapat para ahli.
Secara umum konsep pendidikan Islam mengacu kepada makna dan asal kata yang membentuk kata pendidikan itu sendiri dalam hubungannya dengan ajaran Islam. Dalam konteks ini akan dirunut hakihat pendidikan menurut pengertian secara umum. Acuan ini didasarkan pada sejumah istilah yang umum dikenal dan digunakan para pakar.
Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu at-tarbiyat, at-ta’lim dan at-ta’dib mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik yang di dalamnya sudah termasuk makan mengajar / allama .[1]Berangkat dari pengertian ini maka tarbiyatdidefinisikan sebagai proses bimbingan terhadap potensi manusia (jasmani, ruh dan akal) secara maksimal agar dapat menjadi bekal dalam menghadapi kehidupan dan masa depan.
Selanjutnya, Syed Naquib Al-Attas merujuk makna pendidikan dari konsep Ta’dib, yang mengacu kepada kata adab dan variatifnya. Berangkat dari pemikiran tersebut ia merumuskan definisi mendidik adalah membentuk manusia dalam menempatkan posisinya yang sesuai dengan susunan masyarakat, bertingkah laku secara proporsional dan cocok dengan ilmu serta teknologi yang dikuasainya. [2]
Lebih lanjut al Attas menyatakan, bahwa pendidikan Islam lebih tepat berorientasi pada ta’dib. Sedangkan tarbiyatdalam pandangannya mencakup obyek yang lebih luas, bukan hanya terbatas pada pendidikan manusia saja, tetapi juga meliputi dunia hewan, sedangkan ta’dib hanya mencakup pengertian pendidikan untuk manusia.
Berangkat dari pemahaman makna istilah yang digunakan dalam pendidikan Islam terlihat adanya perbedaan interpretasi, hingga memberi berbagai peluang bagi munculnya pengertian tentang pendidikan, padahal perbedaan itu disebabkan dari perbedaan sudut pandang dan bukan perbedaan prinsip. Sebab apabila tersebut masing - masing dikembalikan kepada asalnya, maka semua menyatu kepada sumber dan prinsip yang sama, yaitu pendidikan Islam,  bersumber dari Allah dan didasarkan pada prinsip ajarannya.
Baik al tarbiyat, al ta’lim maupun al tadib, merujuk Allah tarbiyat yang ditengarai sebagai kata bentukan dari kata rabb (رب) atau rabba(ربا) mengacu kepada Allah sebagai rabb al alamin. Sedangkan ta’lim yang berasal dari kata  ‘allama, juga merujuk kepada Allah sebagai dzat yang Maha Alim. Selanjutnya ta’dib seperti termuat dalam pernyataan Rasulullah saw. “Addabany rabby faahsana ta’diby” memperjelas bahwa sumber utama pendidikan adalah Allah. Rasul sendiri menegaskan  bahwa beliau dididik oleh Allah. Sehingga pendidikan yang beliau peroleh adalah pendidikan terbaik. Dengan demikian dalam pandangan filsafat  pendidikan Islam, Rasul merupakan pendidikan utama yang harus dijadikan teladan.
Menurut Dr. M. Fadhil al Jamaly, pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan mendorong, serta mengajak manusia lebih maju berdasarkan nilai - nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan. [3]
Selanjutnya Drs,. H. M. Chabib Thoha , MA , mendefinisikan Islam adalah pendidikan yang falsafah, dasar dan tujuan serta teori - teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek didasarkan nilai - nilai dasar Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan Hadits. [4]
Kemudian dalam konggres sedunia II tentang pendidikan Islam tahun 1980, misalnya telah dihasilkan suatu rumusan, dinyatakan bahwa pendidikan Islam ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan dan panca indra. Oleh karena itu pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia baik spritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, keilmuan bahasan, baik secara individu maupun kelompok, serta mendorong  aspek - aspek tersebut ke arah kebaikan dan pencapain kesempurnaan hidup. [5]
Dari penjelasan di atas memberikan gambaran tentang rangkaian pengerian dan ruang lingkup yang mendasari konsep pendidikan Islam. Secara garis besarnya pendidikan itu menyangkut tiga faktor utama, yaitu : 
1.       Hakihat penciptaan manusia, yaitu agar manusia menjadi pengabdi Allah yang taat dan setia.
2.       Peran dan tanggung jawab manusia sejalan dengan statusnya selaku Abd Allah , Al Basyir, Al Insan, Al Nas, Bani Adam maupun Khalifah Allah.
3.       Tugas utama yaitu membentuk akhlak yang mulia serta memberi rahmat bagi semua alam (rahmat li al alamin)
Ketiga faktor ini merupakan dasar berpijak  bagi perumusan pendidikan Islam, serta pendidikan ruhani. Dengan demikian pendidikan Islam dapat diartikan sebagai usaha pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai dengan statusnya, dengan pedoman kepada syari’at  Islam yang disampaikan oleh Rasulullah agar manusia dapat berperan sebagai pengabdi Allah yang setia dengan segala aktivitasnya guna tercipta suatu kondisi kehidupan Islami yang ideal, selamat, aman, sejahtera dan berkualitas, serta memperoleh jaminan hidup di dunia dan jaminan bagi kehidupan di akhirat.
Selanjutnya akan diuraikan beberapa definisi ruhani dari beberapa ahli, diantaranya sebagai berikut :

Menurut Muhammad Qutb, definisi kata ruhani dapat dilacak dari kata roh, roh adalah suatu kekuatan yang tidak terlihat dan tidak kita ketahui materi dan cara kerjanya, ia adalah alat untuk mengadakan kontak dengan Allah sesuai dengan fitrahnya yaitu alat yang membawa kita kepada Tuhan. Ia merupakan sebagian roh Allah yang telah diberikan kepada segumpal tanah. [6] Lebih lanjut Qutb menyatakan bahwa ruhani dalam pandangan Islam adalah pusat eksistensi manusia.

Sedangkan Al Ghazali memberi makna roh dalam dua arti, pertama, benda lembut seperti udara yang dibawa darah hitam sumbernya adalah rongga hati jasmani. Dengan perantara pembuluh darah, ia menebar ke bagian bagian tubuh dan mengalir di dalam tubuh sehingga melimpahkan cahaya kehidupan kedua, luth, yang mengenali dan mengetahui dalam diri manusia. [7]

Dari Naquib Al Attas, menyatakan bahwa sesungguhnya jiwa, ruh, hati dan nafs merupakan istilah - istilah yang merujuk hal yang sama, yakni pada dimensi jiwa atau ruhani secara umum. Hanya saja karena keadaan dan fungsi jiwa itu berubah ubah, maka kita memerlukan banyak istilah yang berbeda untuk nenandai perubahan keadaan dan fungsinya itu. Lebih lanjut Al Attas menyatakan bahwa ketika jiwa mengorientasikan pandangannya ke tempat asalnya, dunia ruhani, maka ia disebut ruh. Ketika jiwa melakukan suatu pemikiran rasional atau penalaran diskursif, maka ia disebut akal. Dan ketika ia memperoleh pencerahan dari Allah pada saat terjadinya mukasyafah (disingkapnya hijab), maka ia disebut hati dan ketika ia beradapan dengan tubuh, maka ia disebut jiwa. [8]

Jadi al Attas, keempat istilah tersebut sebenarnya mengadu kepada empat fungsi yang berbeda - beda dari satu substansi yang secara umum disebut “jiwa”

Dengan berbagai pandangan di atas, dapat ditarik kesimpulan, definisi pendidikan ruhani adalah satu usaha untuk memperkuat hubungan antara ruhani manusia dengan sang pencipta,[9] yaitu Allah swt melalui jalan menyembah dan merendahkan diri kepadanya serta taat dan tunduk kepada syariatnya untuk mencapai kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah,[10] dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. [11]

Pada prinsipnya pendidikan ruhani itu mengajarkan kepada kita bagaimana ruhani kita bisa mencapai tangga tertinggi Illahi Rabbi dengan jiwa tetap seimbang selama di dunia untuk mencapai kesempurnaan insani di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu pendidikan ruhani merupakan media strategis dalam menghantarkan peserta didik untuk meraih kebahagiaan tidak hanya di negeri akhiat, tetapi juga tidak melupakan masalah - masalah duniawi.

II.     Dasar Dasar Pendidikan Ruhani.
Menurut Prof. Umar Muhammad al Tomy al Saibany menyatakan bahwa dasar pendidikan Islam identik dengan dasar tujuan Islam keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu al-Qur'an dan hadits. Pemikiran yang serupa, juga dianut oleh para pemikir pendidikan Islam. [12]Atas dasar tersebut, maka para ahli didik dan pemikir pendidikan muslim mengembangkan pemikiran mengenai pendidikan Islam dengan kedua sumber utama ini, dengan bantuan berbagai metode dan pendekatan seperti qiyas, ijma’, iktihad dan tafsir. Berangkat dari sini kemudian diperoleh suatu rumusan pemahaman komprehensif tentang alam semesta, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan dan akhlak. [13]Hasil pemikiran tersebut kemudian menjadi titik awal dari kajian tentang pendidikan dalam Islam. Sebab dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, kelima unsur tersebut berkaitan erat dengan permasalahan pendidikan.
Pendidikan Islam menempatkan manusia sebagai mahluk ciptaan Allah. Dengan demikian manusia sebagai obyek sekaligus sebagai subyek pendidikan tidak bebas nilai. Hidup dan kehidupannya diikat oleh nilai - nilai yang terkandung dalam hakikat pencipatanyya, maka apabila dalam menjalani kehidupan, sikap dan perilakunya sejalan dengan hakihat itu, manusia akan mendapatkan kehidupan yang bahagian dan bermakna. Sebaliknya jika tidak sejalan dengan prinsip tersebut, manusia akan menghadapi berbagai permasalahan yang rumit, yang apabila tidak terselesaikan akan membawa pada kehancuran.
Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa segala dorongan yang menjadi dasar pertimbagan manusia untuk melakukan sesuatu kegiatan pada hakikatnya selalu mengacu kepada suatu tujuan, yaitu mencapai kebahagiaan hidup. Kebahagiaan merupakan sesuatu yang abstrak. Karena itu kebahagiaan bersifat relatif. Setiap orang, masyarakat atau bangsa mempunyai penilaian yang berbeda dalam mengartikan kebahagiaan. Masing - masing memiliki kriteria penilaiannya sendiri tentang kebahagiaan dalam hidup.
Edward Spranger seorang ahli psikologi kepribadian, sebagaimana dikutip Prof. Dr. H. Jalaluddin menilai kebagiaan hidup itu dengan menggunakan pendekatan yang didasarkan pada pandangan hidup seseorang, dalam penilainannya, bahwa manusia akan merasakan suatu kebahagiaan, apabila  sukses yang dicapainya sejalan dengan pandangan hidup yang dimilikinya. Berdasarkan hal tersebut Edwar membagi manusia menjadi enam tipe,[14]yaitu:
1.       Manusia ekonomi, adalah mereka yang menilai bahwa kekayaan harta benda sebagai sumber kebahagiaan hidup. Dengan demikian menurut manusia tipe ini, kebahagiaan hidup ditentukan oleh tingkat kekayaan materi.
2.       Manusia sosial, adalah mereka yang menilai bahwa bakti dan pegabdian untuk kepentingan sosial sebagai puncak kebahagiaan hidup. Makin tinggi tingkat pengabdiannya kepada kepentingan sosial, akan semakin bahagialah hidupnya.
3.       Manusia estetis, adalah mereka yang menilai bahwa kebahagiaan bersumber dari segala yang dapat memenuhi kepuasan akan masa indah dan keindahan. Penghayatan dan kreativitas yang dirasakan sebagai bentuk kebahagiaan oleh manusia estetis.
4.       Manusia kuasa, adalah mereka yang menilai bahwa kebahagiaan sebagai kepemilikan terhadap kekuasan. Menjadi orang yang  berkuasa akan memberi kebahagiaan bagi mereka.
5.       Manusia ilmu, adalah mereka yang menilai bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan mengembangkan kemampuan nalar semaksimal mungkin. Memuaskan diri dengan memproduksi karya otak berupa berupa temuan temuan teoritis akan mendatangkan kebahagiaan bagi manusia ilmu.
6.       Manusia susila. Adalah mereka yang menilai bahwa kebahagiaan akan diperoleh melalui cara hidup yang susila dan saleh, terlebih - lebih yang sesuai dengan agama. Menyesuaikan diri dengan cara hidup yang susila dalam tingkat yang setinggi mungkin akan mendatangkan rasa bahagia.
Sejalan dengan pandangan pendidikan, bahwa manusia merupakan obyek dan sekaligus subyek pendidikan, maka dalam pendidikan Islam demikian juga pendidikan ruhani, manusia dinilai menempati titik sentral namun demikian dalam statusnya selaku hamba Allah, mahluk maupun selaku khalifahnya, manusia tidak hidup sendiri. Selain hidup dalam lingkungan jenisnya sebagai sesama manusia, mahluk inipun hidup tergantung dari kemampuan mengembangkan diri serta memanfaatkan lingkungan alam sekitarnya. Karena itu pemikiran dasar pendidikan Islam juga pendidikan ruhani erat kaitannya dengan prinsip - prinsip hidup manusia dalam kaitannya dirinya, masyarakat serta lingkungan alam.

Al Syaibany menyatakan ada lima prinsip dasar yang menjadi acuan dalam penyusunan dasar pendidikan Islam. Mengacu kepada lima prinsip utama ini, maka Prof. Dr. Hasan Langgulung menjadikannya sebagai landasan pemikiran filsafat Islam.[15] Kelima prinsip itu menurut Hasan Langgulung adalah manusia, alam, masyarakat, pengetahuan dan akhlak, berangkat dari sudut pandang dan pemahaman ini pula filsafat pendidikan Islam dan ruhani dirumuskan, kelima prisip itu akan diuraikan sebagai berikut :

1.       Dasar Pandangan Terhadap Manusia
Sebagian obyek dan sekaligus subyek pendidikan, maka manusia menempati akses pertama dan utama. Manusia memiliki sejumlah potensi untuk berkembang dan dikembangkan.dalam kaitan ini pendidikan ruhani menilai manusia didasarkan atas prinsip - prinsip pemikiran bahwa  :
a.       Manusia adalah ciptaan Allah yang paling mulia. Manusia diciptakan allah yang paling mulia, manusia diciptakan pada hakihatnya adalah untuk mengabdi kepada Allah.
b.       Manusia dalam hidupnya diamanatkan untuk menjadi hamba Allah dan sekaligus khalifah guna memakmurkan kehidupan di bumi.
c.       Manusia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, kemampuan untuk belajar dan mengembangkan diri
d.      Manusia adalah makluk yang memiliki dimensi jasmani, rohani, ruh (fitrah ketauhidan)
e.       Manusia bertumbuh dan berkembang oleh potensi bawaan dan  pengaruh lingkungannya.
f.        Manusia memiliki sifat fleksibeldan memiliki kemauan untuk  mengubah dan mengembangkan diri.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka dalam menyusun konsep dan sistem pendidikan ruhani, prinsip - prinsip dimakud harus terakomodasi. Bila prinsip - prinsip ini diabaikan, akan samalah artinya dengan mengubah keberadaan nilai - nilai hakiki dan wujud fitrah manusia.
2.       Dasar Pandangan Terhadap Masyarakat
Manusia dalam  konsep al Nas adalah makluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri, dengan mengabaikan keterlibatannya dengan kepentingan pergaulan antara sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hubungan manusia dengan masyarakat, terjadi interaksi aktif. Manusia dapat mengitervansi masyarakat lingkungannya, dan sebaliknya masyarakatpun dapat memberi pengaruh pada manusia sebagai warga negara. Oleh karena itu dalam pandangan Islam, masyarakat memiliki karakteristik tertentu.
Prinsip - prinsip ini harus dijadikan dasar pertimbangan dalam penyusuan sistem pendidikan ruhani, masyarakat merupakan lapangan pergaulan antara sesama manusia. Pada kenyataannya masyarakat juga juga dinilai ikut memberi pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan dan perilaku anggota masyarakat tersebut. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemikiran tentang masyarakat mengacu pada penilaian bahwa :
a.       Masyarakat merupakan kumpulan individu yang terikat oleh kesatuan dari berbagai aspek seperti latar belakang budaya, agama, tradisi, kawasan lingkungan dll.
b.       Masyarakat yang terbentuk dalam keragaman adalah sebagai ketentuan Allah, agar dalam kehidupan terjadi dinamika sosial, dalam bentuk interaksi antara sesama manusia yang menjadi warganya.
c.       Setiap masyarakat memiliki identitas sendiri yang secara prinsip berbeda satu sama lain.
d.      Masyarakat merupakan lingkungan yang dapat memberi pengaruh pada pengembangan potensi diri.
3.       Dasar Pandangan Terhadap Alam Semesta
Dalam statusnya sebagai khalifah Allah, manusia diamanatkan untuk menciptakan kemakmuran diciptakan Allah untuk dimanfaatkan manusia atas petunjuk penciptaanya. Jadi ada nilai - nilai tertentu yang menjadi pengikat. Antara manusia dan alam semesta. Pemikiran tersebut menjadi bagian dari pertimbangan dasar pendidikan ruhani. Berdasarkan pandangan ini maka pemikiran tentang alam semesta mengacu pada prinsip bahwa :
a.       Lingkungan alam, baik berupa lingkungan sosial maupun lingkungan fisik (benda budaya dan benda alam mempengaruhi pendidikan, sikap dan akhlak manusia.
b.       Lingkungan alam termasuk juga jagat raya adalah bagian dari ciptaan Allah.
c.       Setiap wujud di alam semesta terbentuk dari dua unsur yaitu unsur materi dan non materi, nyata dan ghaib dunia dan akhirat.
d.      Alam senantiasa mengalami perubahan menurut ketentuan hukum yang diatur oleh penciptanya
e.       Alam terwujud dalam dinamika gerak yang teratur dan terkendali oleh suatu tatanan yang menyatu pada sunah Allah,
f.        Alam merupakan sarana yang diperuntukkan bagi manusia sebagai upaya meningkatkan kemampuan diri sejalan dengan potensi yang dimilikinya.


4.       Dasar Pandangan Terhadap Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil rekayasa manusia, sedangkan kemampuan rekayasa itu menurut pandangan Islam bersumber dari potensi illahiyat. Maka atas dasar pemikiran ini status manusia hanya sebagai pengemban amanat dalam rekayasa Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), bukan pemilik dan pencipta mutlaknya. Oleh sebab itu dalam pengembangan dan pemanfaatannya, manusia harus tunduk dan mematuhi segala ketentuan pemilik mutlaknya, yaitu Allah. Dalam hubungan ini, maka Iptek seyogyanya terikat pada nilai - nilai illahiyat. Pendidikan ruhani tidak membiarkan Iptek dikembangkan dan dimanfaatkan secara bebas nilai.
Adapun pemikiran yang dijadikan dasar pandangan ini meliputi prinsip - prinsip sebagai berikut :
a.       Pengetahuan merupakan pengembangan dari kemampuan nalar manusia yang potensi dasarnya bersumber dari anugerah Allah.
b.       Pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui usaha belajar, meneliti atau (eskperemen) atau melalui penyucian diri serta pendekatan kepada Allah. Pengetahuan diperoleh dari kesungguhan usaha disebut ilm al kasb. Sedangkan yang diperoleh dari pendekatan diri hingga  memperoleh bimbingan Allah disebut  ilmu laduni.
c.       Pengetahuan merupakan potensi manusia yang dapat dimanfatkan untuk meningkatkan kehidupan diri maupun masyarakat.
d.      Pengetahuan terbentuk melalui nalar dan penginderaan.
e.       Pengetahuan manusia memiliki kadar dan tingkatan yang berbeda sesuai dengan obyek, tujuan dan metode yang digunakan
f.        Pengetahuan yang paling utama adalah pengetahuan yang berhubungan dengan Allah, perbuatannya serta makluknya.
g.       Pengetahuan manusia pada hakikatnya adalah hasil penafsiran dan pengungkapan kembali, segala bentuk permasalahan yang berkaitan dengan hukum - hukum Allah dan ciptaanya.
h.       Pengetahuan yang hakiki adalah pengetahuan yang didasarkan oleh kaidah - kaidah dan nilai akhkak, karena akan mendatangkan ketentraman batin. Sehubungan dengan hal itu maka pengetahuan yang bernilai, adalah pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia lahir dan batin sesuai dengan petunjuk Allah.
5.       Dasar Pandangan Terhadap Akhlak
Pernyataan al-Qur'an bahwa Rasulullah saw, adalah sosok pribadi pemilik akhlak yang agung. Beliau menegaskan tugas utama yang dimanfaatkan kepada dirinya, adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Membentuk suatu kehidupan masyarakat manusia yang warganya terdiri dari individu yang berakhlak mulia.
Berangkat dari kedua pernyataan itu, maka filsafat pendidikan ruhani memandang akhlak merupakan faktor penting dalam pendidikan. Keutamaan akhlak dinilai dari sebagai puncak dalam pendidikan ruhani. Namun demikian agar arah sasaran pencapaian target tersebut dapat dipenuhi, maka perlu dirumuskan prinsip - prinsip yang menjadi dasar pandangan terhadap akhlak.
Prinsip prinsip tersebut meliputi dasar pandangan bahwa :
a.       Akhlak merupakan faktor yang diperoleh dan dipelajari
b.       Akhlak lebih efektif dipelajari dan dibentuk melalui teladan dan pembiasaan yang baik.
c.       Akhlak dipengaruhi oleh faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi masyarakat, serta adat istiadat, dan cita - cita atau pandangan hidup. Ahklak tidak selalu terpelihara. Kebaikan dan keburukan, berpengaruh bagi pembentukan akhlak.
d.      Akhlak sejalan dengan fitrah dan akal sehat manusia, yaitu cenderung kepada yang baik
e.       Akhlak mempunyai tujuan akhir yang identik tujuan akhir ajaran Islam, yaitu untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
f.        Akhlak yang mulia merupakan realisasi dari ajaran Islam
g.       Akhlak berintikan bertanggung jawab terhadap amamat Allah, sehingga dinilai berdasarkan tolok ukur yang diisyaratkan Allah dalam ajaran Islam.
Kelima dimensi pandangan ini, yaitu pandangan terhadap manusia, masyarakat alam semesta, ilmu  pengetahuan, dan akhak dijadikan dasar filosofis pendidikan ruhani dasar filosofis yang mengacu kepada informasi wahyu ini, selanjutnya dijadikan acuan dasar bagi pembentukan sistem pendidikan ruhani. Dari sudut pandangn ini pula, maka para ahli didik cenderung mengatakan, bahwa pendidikan ruhani didasarkan pada  filsafat perenialis (wahyu sebagai sumber abadi).
III.  Tujuan Pendidikan Ruhani
Tujuan pendidikan ruhani dirumuskan dari nilai - nilai yang kerangka dasarnya termuat dalam filsafat pendidikan Islam. Seperti halnya dasar pendidikan maka pendidikan ruhani juga identik dengan tujuan Islam itu sendiri. Sebagaimana dikatakan M. Natsir, bahwa Islam itu bukan hanya agama yang membuat ajaran yang bersifat doktrinal,. Tetapi Islam merupakan bentuk ajaran agama yang operasional. Maksudnya ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Illahi itu dapat dibumikan dalam kehidupan dan peradaban manusia.[16]
Sejalan dengan tujuan tersebut, maka filosofi pendidikan ruhani bertujuan sesuai dengan hakikat penciptaan manusia, yaitu agar manusia menjadi pengabdi Allah yang patuh dan setia.[17]

Tujuan ini tidak mungkin dicapai secara utuh, secara sekaligus. Perlu proses dan pentahapan. Tujuan ini hanya dijadikan dasar dalam merumuskan tujuan pendidikan ruhani, hingga secara operasional akan diperoleh tujuan acuan secara kongkret. Dari tujuan utama ini diderivasikan (dijabarkan) kepada hal - hal yang lebih operasional.
Imam Al Ghazali menggarisbawahi bahwa tujuan akhir dari pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan kepada Allah, kedua, kesempurnaan insani yang  bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.[18] Tujuan ini sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan, yaitu membimbing manusia agar berakhlak mulia. Kemudian akhlak mulia dimaksud, diharapkan tercermin dari sikap dan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan semasa makhluk Allah, serta lingkungannya.
Dari sudut pandang ini, maka tujuan pendidikan ruhani memiliki karakteristik yang ada kaitannya dengan sudut pandang tertentu. Secara garis besar tujuan pendidikan ruhani dapat dilihat dari tujuan dimensi utama, yaitu : pertama, dimensi hakikat penciptaan manusia, kedua dimensi tauhid, ketiga, dimensi moral keempat, dimensi perbedaan individual kelima, dimensi sosial. Keenam, profesional ketujuh dimensi ruang dan waktu.[19]Selanjutnya akan diuraikan ketujuh dimensi tersebut sebagai berikut :
1.       Dimensi hakihat penciptaan manusia
Dari sudut pandang ini, pendidikan ruhani bertujuan untuk membimbing perkembangan peserta didik secara optimal agar menjadi pengabdi kepada Allah yang setia. Berangkat dari tujuan ini, maka aktivitas pendidikan diarahkan kepada upaya membimbing manusia agar dapat menempatkan diri dan berperan sebagai individu yang taat dalam menjalankan ajaran agama Allah. Jadi dimensi ini diarahkan pada pembentukan pribadi yang bersifat taat asas terhadap pengabdian kepada Allah.
Oleh karena itu indikator dari keberhasilan pencapaian dimaksud, adalah pada sejauh mana tingkat ketaatan optimal peserta didik terhadap pemenuhan tuntutan Allah swt. Mampukah ia merealisasikan ketaatan tersebut dalam sikap dan perilaku kesehariannya secara konsisten, dan berlangusng sepanjang hidupnya.
2.       Dimensi Tauhid
Mengacu kepada dimensi ini, maka tujuan ruhani diarahkan kepada upaya pembentukan sikap taqwa. Dengan demikian peradaban ditujukan kepada upaya untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik secara optimal agar dapat menjadi hama Allah yang taqwa. Di antara ciri yang taqwa adalah beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rizki anugerah Allah, beriman kepada al-Qur'an dan kitab - kitab samawi sebelum al-Qur'an serta keyakinan adanya kehidupan akhirat. (QS. 2 :3 )
Dalam kaitannya dengan ciri yang bertaqwa, KH. Toto Tasmara memaknai dan menerjemahkan kata taqwa sebagai bentuk rasa tanggung jawab yang dilaksanakan dengan rasa cinta kasih dan menunjukkan amal prestatif di bawah semangat pengharapan ridha Allah. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa taqwa bukanlah sesuatu yang misterius atau mengawang awang. Bagaimana batas langit yang terasa sangat jauh, sehingga tidak memberi motivasi yang kuat bagi kita untuk berbuat secara nyata karena ia kurang memberikan gambaran, inspirasi dan dorongan yang bersifat motivatif.
Bagi Toto Tasmara taqwa merupakan indikator kecerdasan ruhaniyah yang terangkum dalam delapan ciri utama, yaitu pertama, mereka memiliki visi, kedua, mereka merasakan kehadiran Allah, ketiga mereka berzikir dan brdoa, keempat, mereka memiliki kualitas sabar, kelima, mereka cenderung kepada kebaikan, keenam, mereka memiliki empati, ketujuh, mereka berjiwa besar, kedelapan bahagia melayani.[20]
Kepatuhan kepada Allah swt dalam dimensi tauhid ini dinyatakan sebagai kepatuhan yang mutlak, dengan menempatkan Allah sebagai dzat yang tunggal. Hanya kepadanya tempat memohon dan pertolongan (QS.1:5).[21]  Prinsip tersebut menjadi kerangkan acuan dalam bertindak dan bertingkah laku, baik secara lahir dan batin.
3.       Dimensi Moral
Dalam dimensi ini manusia dipandang sebagai sosok individu yang mempunyai potensi fitriyah. Maksudnya bahwa sejak lahir, pada diri manusia sudah ada sejumlah potensi bawaan yang diperoleh secara fitrah. Menurut Dr. M. Quraish Shihab, potensi ini mengacu kepada tiga kecenderungan utama, yaitu benar, baik, indah, manusia pada dasarnya cenderung untuk senang dengan yang benar, yang baik dan yang indah.[22]
Dalam hubungan dimensi moral ini, maka pelaksanaan pendidikan ditujukan kepada upaya pembentukan manusia sebagai pribadi yang  bermoral. Tujuan pendidikan dititikberatkan pada upaya pengenalan terhadap nilai - nilai yang baik dan kemudian menginternalisasikannya, serta mengaplikasikan nilai - nilai tersebut dalam sikap dan prilaku melalui pembiasaan. Sumber utama dari  nilai - nilai dimaksd adalah ajaran wahyu.
Dimensi moral dinilai berguna dalam pembentukan kepribadian peserta didik akan selaras dengan fitrahnya. Melalui pendidikan yang didasarkan pada niai - nilai ajaran moral, peserta didik disadarkan akan nilai - nilai asasi kemanusiaan yang dimilikinya, yaitu  sebagai makluk yang bermoral. Mahluk yang dapat membedakan yang baik dari yang buruk, serta mampu mempertahankan nilai - nilai tersebut secara konsiten.


4.       Dimensi Perbedaan Individu
Manusia merupakan mahluk ciptaan yang  unik secara umum manusia memiliki sejumlah persamaan. Namun di balik itu sebagai individu, manusia juga memiliki berbagai perbedaan antara inividu, manusia juga memiliki berbagai perbedaan antara inidividu yang satu dengan yang lainya, bahkan perbedaan tersebut juga ditemui pada mereka yang dilahirkan secara bayi kembar identik.
Sehubungan denan kondisi itu, maka tujuan pendidikan diarahkan pada usaha membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, dengan tidak mengabaikan adanya faktor perbedaan individu, serta menyesuaikan pengembangan dengan karir kemampuan dari potensi yang dimiliki masing - masing.
Sejalan dengan adanya perbedaan individu  tersebut, maka selain adanya faktor kadar kemampuan yang berbeda, pada diri peserta didikpun terdapat irama perkembangan yang berbeda - beda pula. Oleh karena itu dalam kaitan dengan dimensi segala faktor yang menyangkut perbedaan ini perlu diperhatikan antara lain tahap perkembangan, hukum - hukum perkembangan, serta irama perkembangan yang tidak sama pada setiap individu. Dengan demikian dalam memberikan pendidikan kepada peserta didik, perlakuan terhadap setiap indivu harus pula didasarkan atas pertimbangan perbedaan ini.
5.       Dimensi Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang memiliki dorongan untuk hidup berkelompok oleh karena itu dimensi sosial mengacu kepada kepentigan sebagai makhluk sosial, yang disandarkan pada pemahaman bahwa manusia hidup bermasyarakat. Dalam masyarakat manusia mengenal sejumlah lingkungan sosial, dari bentuk satuan terkecil hingga yang paling kompleks, yaitu rumah tangga hingga kelingkungan yang paling luas seperti negara.
Dalam kaitan dengan kehidupan bermasyarakat tujuan pendidikan diarahkan pada pembentukan manusia sosial yang memiliki sifat taqwa sebagai dasar sikap dan perilaku. Kehidupan bermasyarakat merupakan kenyataan yang tak dapat dihindarkan, karena manusia adalah mahluk sosial sejalan dengan konsep al Anas. Walaupun demikian kehidupan bermasyarakat tidak seharusnya meleburkan kodrat individu demi  kepentingan sosial sepenuhnya. Sebagai anggota masyarakat manusia perlu pula menyadari eksistensi sebagai makhluk indivu. Jadi dengan demikian harus ada batasan antara keduanya.
Memang Rasululah telah memberikan semacam kriteria tentang kualitas manusia dalam kehidupan dalam bermasyarakat, yaitu berupa nilai manfaat. Manusia yang terbaik adalah mereka yang paling banyak memberi manfaat bagi orang banyak. Manusia dicptakan dan berkembang biak, dan mampu mempertahankan kelanjutannya, adalah dari adanya pasangan suami isteri. Dari sini berkembang menjadi terbentuk kehidupan sosial yang luas. Namun di tengah kehiduapn sosial tersebut bagaimanapun jati diri setiap individu harus tetap dipelihara,. Wahai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari orang laki - laki dan seorang wanita, dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku -suku agar kamu  saling mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang bertaqwa. (QS. 49 : 13)[23]
Pertanyaan al-Qur'an tersebut menggambarkan bagaimana seharusnya peran manusia selaku makhluk sosial dan kaitannya dengan keharusan mempertahankan jati diri individu, yaitu ketaqwaan. Manusia sebagai mahluk sosial tingkat kemuliaanya ditentukan oleh derajat ketaqwaan singkatnya tujuan pendidikan ruhani dalam dimensi ini, adalah berupa usaha untuk memanusiakan peserta didik, agar mampu berperan dalam statusnya sebagai al nas (mahluk sosial), abd Allah (hamba Allah), dan sekaligus sebagai khalifah Allah.
6.        Dimensi Profesional
Setiap manusia memiliki kadar kemampuan yang berbeda. Berdasarkan pengembangan kemampuan yang  dimiliki itu, manusia diharapkan dapat menguasai ketrampilan profesional.maksudnya dengan ketrampilan yang dimiliki itu ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketrampilan sebagai sebuah keahlian yang dapat diandalkan untuk digunakan dalam mencari nafkah hidup.
Adanya perbedaan dalam bidang kemampuan tersebut, menyebabkan profesi manusia menjadi beragam. Manusia yang memiliki bakat seni, mungkin akan memilih profesinya sebagai seniman. Demikian pula mereka yang memiliki bakat dagang, bahasa, intelektual, teknik mungkin memilih profesi sebagai pedagang, ahli bahasa, ilmuan, dan teknisi. Kemampuan khusus dalam bidang tertentu ini, pada puncaknya akan berkembang menjadi kemampuan profesional.
Dalam hubungan dengan dimensi profesional ini pendidikan ruhani juga mempunyai tujuan tertenu. Tujuannya diarahkan kepad upaya untuk membimbing dan mengembangkan potensinya peserta didik, sesuai dengan bakatnya masing - masing, dengan demikian mereka diharapkan dapat memiliki ketrampilan yang serasi dengan bakat yang dimiliki,  hingga ketrampilan itu dapat digunakan untuk mencari nafkah sebagai penopang hidupnya. Hanya saja perlu diperhatikan, bahwa kemampuan profesional yang dimiliki harus diarahkan kepada dua nilai pokok yaitu keimanan dan aktivitas yang bermanfat  iman dan amal shaleh.
7.       Dimensi Ruang dan Waktu
Selain dimensi yang dikemukakan di atas, tujuan pendidikan ruhani juga dapat dirumuskan atas dasar pertimbangan dimensi ruang dan waktu, yaitu dimana dan kapan. Dimensi ini sejalan dengan tataran pendidikan ruhani yang prosesnya terentang dalam lintasan ruang dan waktu yang cukup panjang. Dengan demikian garis besarnya tujuan yang harus dicapai pendidikan ruhani harus merangkum semua tujuan yang terkait dalam rentang waktu meliputi fase (alam), kehidupan manusia, yaitu pertama, kehidupan alam roh; kedua, kehidupan alam rahim; ketiga, kehidupan alam dunia; keempat, kehidupan alam kubur, kelima, kehidupan alam barzah; dan  keenam kehidupan alam akherat. Keenam alam ini mempunyai karakteristik kehidupan tersendiri. Namun masing - masing alam kehidupan ini merupakan rangkaian yang berkesinambungan.
Sejalan dengan petunjuk al-Qur'an, bahwa dalam kaitan dengan dimensi ruang dan waktu ini, secara garis besarnya pendidikan ruhani diarahkan untuk dua tujuan utama, yaitu upaya untuk memperoleh keselamatan hidup di dunia dan kesejahteraan hidup di akhirat. (QS.2:201)[24]
Beranjak dari kerangka acuan ini, maka pendidikan ruhani merupakan usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik secara optimal agar mereka mampu menopang keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia sesuai dengan perintah syariat Islam. Kehidupan yang konseisten dengan syariat Islam ini diharapkan akan memberi dampak yang sama dalam kehidupan di akhirat yaitu kesejahteraan dan keselamatan.
Sedangkan rumusan tujuan pendidikan ruhani scara lebih operasional adalah sebagai berikut :
1.       Agar setiap peserta didik merasakan adanya ma’iyatullah (kebersamaan Allah) dimanapun ia berada, dan berinteraksi atas dasar ma’liyah ini.
2.       Ikhlas dalam setiap tindakan, kata - kata, dan langkah - langkah hanya untuk Allah swt. Semata, mengharap ridhanya, membersihkan dirinya dari berbagai tujuan selain Allah.
3.       Selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak berdzikir dalam setiap kesempatan, memelihara ibadah, mengingat akhirat, memperbaruhi taubat, dan tawarru’  (menghidar) dari hal - hal yang syubhat dan haram.
4.       Selalu bersungguh - sungguh untuk mendapatkan ridha Allah, dan bertawakal kepadanya dalam segala urusan, mencintai, dan takut hanya kepada Nya.
5.       Sensitif (eka atau mudah merasa) dan selalu mengevaluasi diri setiap hari.
6.       Berhasrat untuk mati syahid di jalan Allah, dengan cara senantiasa menyertakan niat jihad di dalam hatinya, beramal sesuai dengan tuntutan aqidah, qadha, dan qadar.[25]
Dalam pandangan Ihwanul Muslimin, sebagai kelompok pergerakan Islam di Mesir, realisasi spiritual ini merupakan dasar kehidupan nurani manusia dan kebangkitan perasaanya. Kemampanannya dalam jiwa akan membangkitkan sifat - sifat sosial dan kemanusiaan yang tinggi. Misalnya kasih sayang, memberi yang terbaik, dan berusaha menegakkan nilai - nilai Akhlaqul Karimah di bumi. Oleh karena itu setiap orang harus melakukan pendidikan kepribadiannya, secara ruhiyah, agar dalam menjalani kehidupan  di dunia ini, hatinya terjaga dan senantiasa terhubung dengan Allah SWT.
IV.  Fungsi Pendidikan Ruhani
Dengan memperhatikan tujuan pendidikan ruhani di atas, dapatlah dirumuskan fungsi pendidikan ruhani sebagai berikut : 
1.       Agar setiap individu (peserta didik) beriman kepada Allah sebagai pembuat syariat, dzat yang disembah dan ditaati.
2.       Agar peserta didik yakin dengan keyakinan yang shahih kepada kitab -kitab langit (samawi) para nabi, wahyu, mukziyat, dan segala yang ghaib, kepada qadha dan qadar. Hari akhir dengan segala yang terjadi di dalamnya.
3.       Berkeyakinan dengan keyakinan yang shahih terhadap eksistensi manusia, alam, kehidupan dan nilai - nilai.
4.       Yakin bahwa pengajaran nilai, peraturan dan perundang - undangan masyarakat harus didasarkan kepada sumber ilahiah saja, yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw.
5.       Membebaskan diri secara total dari segala bentuk peribadatan dan ketaatan dari selain Allah, dan orang - orang yang mentaatinya.
6.       Membebaskan loyalitasnya agar hanya untuk Allah, Rasulnya, dan orang - orang yang beriman. Ia harus loyal dari segala komunitas yang menentang Islam.
7.       Agar ia bersemangat mendalami aqidahnya, bekerja keras untuk merealisasikan, dan mensosialisasikannya dengan penuh kesabaran, ketabahan,  dan ketekunan.[26]
V.     Pengaruh Pendidikan Ruhani
Tidak diragukan lagi bahwa pendidikan ruhani dalam Islam dapat memberikan daya bangkit dan daya kekuatan pada diri seseorang maupun terhadap keluarga dan masyarakat, di antara pengaruhnya sebagai berikut :
1.      Secara Individu
a.       Membersihkan seseorang dan menjernihkan jiwanya dari sifat keraguan, was - was dan rasa khawatir.
b.       Membiasakan seseorang mencitai kebaikan dan memprioritaskan kebenaran karena jiwanya telah bertaubat dengan Allah SWT. Sikap ini merupakan karakter penting yang akan memperkokoh kehidupan kemanusiaan secara menyeluruh dan mengarahkan menuju kebaikan.
c.       Menjadikan seseorang berpegang teguh pada metode yang telah dipilih Allah swt sebagai agama untuk seluruh manusia. Jika seseorang telah berpegang teguh pada manhaj Allah, ia akan mendapatkan hikmah besar berupa kesiapan untuk mewujudkan kehidupan mulai bagi diri sendiri dan orang - orang sekelilingnya.
d.      Pendidikan ruhani mendorong manusia untuk saling mencitai dan berkasih sayang dengan sesamanya. Ia juga memberi motivasi untuk selalu mencintai kebaikan dan berkhidmat demi kepentingan umum
e.       Pendidikan ruhani ini merupakan sarana bagi seseorang untuk memperoleh taufik dalam segala perilakunya, baik perkataan maupun perbuatan. Karena, jiwa orang tersebut telah memiliki kesiapan menerima dan melaksanakan segala perintah Allah sehingga ia mencintainya.
f.        Pendidikan ruhani ini mengajar seseorang agar tidak melakukan kesalahan dan tidak melanggar ketentuan Islam, baik berupa hukum, syarat maupun etika.
g.       Pendidikan ini membiasakan ruhani seseorang untuk mencintai kebaikan dan memberi keburukan, sehingga selalu siap melakukan amar makruf dan nahi mungkar, yaitu sebuah kewajiban yang telah dijelaskan syarat - syarat dan tata cara pelaksanaannya oleh syariat Islam.
2.      Secara Kolektif (Keluarga dan Masyarakat)
a.       Membentuk keluarga muslim dalam kerangka dasar dan landasan yang benar sejak permulaan.
b.       Pengasuhan anak dalam lingkup keluarga secara Islami dapat mengantarkan pertumbuhan generasi muda dalam kehidupan lingkungan keluarga yang baik, yaitu berdasarkan kecintaan dan mengutamakan kebaikan.
c.       Di saat ruhani seseorang telah terdidik dengan tarbiyah pendidikan Islam maka manfaatnya akan membias ke segenap anggota keluarga – keluarga dan masyarakat dalam bentuk interaksi sosial yang baik menuju keridhaan Allah. Karena Allah telah menyeru kebaikan dalam setiap pergaulan.
d.      Mewajibkan terealisasinya hukum - hukum Islam, sistem dan etika, Islam dan segala hal, meliputi sandang, pangan, papan, perabot ruham tangga, penghuni tamu, tetangga dan semua yang berkaitan dengan tata cara serta etika dalam keluarga.
e.       Pendidikan ini medorong seluruh keluarga untuk bertetangga dengan baik sebagaimana diwasiatkan oleh Rasulullah saw.
f.        Pendidikan ruhani dalam Islam memberi andil yang besar dalam menyeru keluarga agar berpartisipasi aktif dalam berbagai proyek yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya, desa atau kota. Seperti memelihara sarana sarana umum, menjaga lingkungan dari polusi dan lain – lain.
g.       Selain pengaruh sosial, pendidikan ruhani dalam Islam juga mempunyai pengaruh ekonomi terhadap individu individu dalam masyarakat, sehingga mereka dapat tumbuh bekembang dalam nilai - nilai berikut :
1.        Cinta kesederhanaan dalam berbelanja, makan, pakaian, tempat tinggal.
2.        Suka menabung untuk mengantisipasi kebutuhan yang tidak terduga.
3.        Menhindari pemborosan
4.        Mewujudkan sikap saling membantu antar beberapa keluarga atau individu.[27]


[1] Dr. Ahmad Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, Cet I, 1992, hlm. 109
[2] Dr. Syed Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Islam, Mizan, Bandung, Cet I hlm. 110, tentang konsep dan implementasi pendidikan al Attas dapat dilihat dalam Karya Prof Dr. Wan MH NR Mwan Daud, Falsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed  M. Nauib Al Attas, Terj. Hamid Fahmy,  (Et Al), Mizan, Bandung, Cet I, 2003, 552 Halaman.
[3] Dr. Muhammad Fadhil Al Jamaly, Filsafat Pendidikan Dalam Al-Qur'an, Terj. Zainal Abidin Ahmad, Pepera, Jakarta, 1986, hlm. 3
[4] Drs. H. M. Chabib Thoha, MA., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet I, 1996, hlm. 99
[5] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 16
[6] Muhamad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj, Drs. Salman Harun, Bandung Al Ma’Arif, t, th,. hlm. 56
[7] Imam Ghazali, Pilar - Pilar Ruhani, Petunjuk Praktis dalam Menempuh Spiritual, Terj. Irwan Kurniawan, Jakarta, Lentera, Baritama, Cet II, 2000, hlm. 40 -41
[8] Dikutip dari Dr. Mulyadi Kertanegara, Sketsa Ruhani Insani, Akal, Jiwa dan Ruh, dalam Menyinari Relung Relung Ruhani, Mengembangkan EQ Dan SQ Cara Sufi, Jakarta, Iman dan Hikmah, Cet I, 2002, hlm. 28
[9] Dr. Utsman Adul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik, Ikhwanul Muslimin, Era Intermedia, Solo, Cet I, 2000, hlm. 494
[10] Dr. Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, Gema Insani Press, Jakarta, Cet I, 2000, hlm. 64
[11]. Dr. H Abuddin Nata MA, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet II, 2001, hlm. 86
[12]Lihat Dr. H. Abuddin Nata, MA., Pemikiran Tokoh Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam) Raja Grafindo Persada, Cet II, 2001, 224 Halaman
[13]Prof. Umar Muhamad Al Toumy Al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979
[14]Prof. Dr. H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Raja Grafinso Persada, Jakarta, Cet I, 2001, hlm. 83
[15]Prof. Dr. Hasan Langgulung, Asas – Asas Pendidikan Islam, Al Husna, Jakarta, 1987
[16]M. Natsir,  Capita Selekta, Bulan Bintang, Jakarta, Et I, 1971
[17]Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku, Departemen Republik Indonesia, Al-Qur'an Dan Terjemahannya, CV. Al Waah, Semarang, Edisi Baru Revisi , 1993, hlm. 862
[18]Dr. H. Abuddin Nata, MA, Op. Cit, hlm. 86
[19]Diadaptasi dari Karya Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit, hlm. 91 - 99
[20]Disarikan dari Karya Drs. KH Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniyah (Transcendental Intelligence) Membentuk Kepribadian Yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, Gema  Insani Press, Jakarta, Cet I, 2001, hlm. 1 - 44
[21]Departeman Agama RI, Op. Cit, hlm. 6
[22]Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, Mizan, Bandung, Cet I,1992
[23]Depag RI, Op. Cit, hlm. 847
[24]Departeman Agama RI, Op. Cit, hlm. 49 dan diantara mereka ada yang berdoa: “ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan periharalah kami dari siksa neraka.
[25]Dr. Ustman Abdul Mu’is Ruslam, Op. Cit, hlm. 494-495
[26] Ibid, hlm. 492
[27]Dr. Abdul Halim Mahmud, Op. Cit, hlm. 201 - 206

Tiada ulasan:

Catat Ulasan